Harga produk karet kian merosot akibat persoalan lokal dan kondisi perdagangan global, petani diharapkan tetap menjaga kualitas produk.
Di Dusun Paling Kecamatan Sanggau Ledo Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat harga karet kian merosot hingga mencapai Rp. 11.000 per kilogram.
Tuyung (47) seorang pedagang pengepul karet di Dusun Paling Kecamatan Sanggau Ledo (10/6) mengukapkan harga karet di Dusun Paling Kecamatan Sanggau Ledo kian merosot. Menurutnya dia tidak asing lagi dengan fluktuasi harga yang sering terjadi pada jenis produk perkebunan rakyat ini.
“ Selama ini sudah biasa, ada beberapa factor yang bisa mengakibatkan harga karet kian merosot—bisa karena kondisi perdagangan terutama pada jenis hasil perkebunan ini mengalami fluktuasi secara nasional bahkan dunia,” kata Tuyung.
Beberapa factor itu misalnya karena gudang penuh, produksi melimpah sementara permintaan turun atau secara lokal terkadang juga berkaitan dengan kualitas produk karet itu sendiri. Namun harga yang merosot tajam sekarang sepertinya lebih diakibatan oleh faktor yang dipengaruhi pasar secara nasional dan global.
Tuyung mengungkapkan kondisi ini memang biasa dan tidak terlalu mempengaruhi kondisi perekonomian dalam jangka waktu yang lama, karena dalam dalam hitungan seminggu kedepan harganya sudah normal kembali. Harga normal karet biasanya pada kisaran Rp. 20.000 per kilogram.
Karena harganya yang relatif stabil, maka masyarakat di Kecamatan Sanggau Ledo banyak yang berkebun karet. Namun berdasarkan trend perkembangan ekonomi secara global pada 25 Mei 2012, Harian Kompas mengungkapkan harga produk ini mengalami penurunan ditengah permintaan akibat krisis hutang Eropa mengakibatkan kekhawatiran melambatnya permintaan dunia terhadap produk tersebut.
Selain itu ekonomi China salah satu tujuan ekspor produk karet dari Indonesia juga tengah mengalami perlambatan akibat melemahnya penjual produk otomotif dari negera tirai bambu tersebut sebesar I,3 persen dalam empat bulan terkahir hingga menurunkan permintaan karet sebagai salah satu bahan pembuatan ban. (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/05/25/16090949/Harga.Karet.Menurun.karena.Kekhawatiran.Permintaan)
Selain itu, tantangan ke depan menurut Tuyung, karena banyaknya lahan perkebunan yang dialihfungsikan oleh beberapa pemodal lokal untuk perkebunan monokultultur seperti sawit, maka lahan perkebunan masyarakat semakin sempit. “Sekarang ada beberapa orang pemodal lokal yang gencar membeli tanah pertanian warga untuk perkebunan kelapa sawit, sayangnya masyarakat mau saja menjual tanah mereka itu, memang bukan tanah bersertifikat hak milik, tapi biasanya lahan bekas ladang,” ungkap Tuyung.
Tuyung melanjutkan, selain itu terkait dengan produk karet, pengepul juga mendapatkan tantangan yang pelik misalnya berkaitan dengan produk petani yang tidak sesuai standar karena diolah atau dicampur dengan bahan yang tidak semestinya.
Misalnya latek yang harusnya di olah menggunakan cuka semut justru dicampur dengan bahan lain seperti pupuk urea, pupuk TSP dan tawas, memang praktik itu akan mempengaruhi berat timbangan karet tetapi juga membuat kualitas produknya menurun. Praktik lain untuk menambah berat timbangan tersebut adalah dengan menambahkan materi seperti residu bahan produksi lain yang mestinya tidak perlu dilakukan. Selain itu harga lokal juga dipengaruhi oleh kebiasaan petani menjual produk karet basah atau setengah kering.
“Semestinya, apalagi dalam kondisi harga produk yang tidak menentu seperti sekarang, mestinya petani sadar dengan melakukan praktik produksi yang kurang baik akan berakibat langsung pada kualitas produk, hal ini justru semakin menurunkan harga jual,” kata Tuyung mengingatkan.
Tuyung juga mengisahkan dibandingkan dengan dua puluh tahun yang lalu kualitas produk karet lokal secara umum di wilayah Sanggau Ledo masih sangat baik, masyarakat menjual produk karet berkualitas sesuai standar, bahkan karet di wilayah ini waktu itu, masih bisa bersaing dengan Malaysia dan masih bisa langsung dijual ke perbatasan melalui Jagoi Babang – Indonesia ke Bau’ – Malaysia Swrawak, namun sekarang mengapa orang kampung tidak berlajar dari kondisi tersebut..?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H