Mohon tunggu...
Bambang Bang
Bambang Bang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Mahasiswa Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Antara Lahan Parkir dan Ladang di Kampung, Ambang Kebingungan Juru Parkir Tua di Pajak Petisah

20 Oktober 2024   11:55 Diperbarui: 20 Oktober 2024   11:58 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi pekerja kasar di usia yang tidak lagi muda bukanlah hal yang mudah. Keadaan fisik yang tidak lagi sebugar dulu beserta sejumlah problematika yang mesti dihadapi pada masa ini merupakan hambatan paling besar bagi setiap individu, terutama bagi salah seorang nenek tua berusia 68 tahun yang kami temui di Pajak Petisah.

Opung Sianipar, begitu beliau kerap disapa oleh orang-orang sekitar yang mengenalnya. Usianya terbilang sudah cukup tua dan semestinya mendapat kehidupan senja yang layak tanpa harus bekerja dari pagi hingga sore dengan penghasilan yang tidak menentu. Namun apa mau dikata, keadaan mengharuskannya tetap bekerja menjadi seorang juru parkir di Pajak Petisah dalam kondisi yang tidak baik. Beliau merupakan salah seorang yang sudah mendedikasikan dirinya sebagai juru parkir selama 20 tahun.

Dahulunya beliau adalah seorang penjual pakaian yang beralih menjadi juru parkir melalui bantuan dari kenalannya setelah suaminya meninggal dunia dua puluh tahun lalu. Beliau tinggal seorang diri dengan mengontrak di salah satu rumah kontrakan yang berada di daerah Helvetia dan berusaha menghidupi dirinya dengan bertahan sebagai juru parkir selama bertahun-tahun, sedang anak-anaknya berada di kampung halaman dan bermata pencaharian sebagai petani di ladang milik keluarga mereka.

Melalui beliau pula kami menemukan fakta terkait keadaan juru parkir yang tengah diambang kebingungan setelah diresmikannya sistem barcode bagi juru parkir yang dijanjikan penghasilan tetap dari pemerintah. Sayangnya, sejak diberlakukan sistem barcode, beliau belum menerima kepastian gaji yang menjadi haknya. Sistem barcode membatasi setiap juru parkir untuk mengambil keuntungan fisik berupa uang dari pelanggan yang datang, sedang gaji yang dijanjikan pemerintah untuk juru parkir tidak juga dipenuhi.

Selain itu, masih terdapat suatu Ormas yang menguasai lahan parkir dan mengharuskan para juru parkir menyetorkan uang setiap harinya. Bagi Opung Sianipar yang untuk memenuhi penghasilan perharinya melalui lahan parkir saja kesulitan, seringkali hal ini merugikan beliau yang tidak mendapat sepeserpun uang yang masuk ke kantongnya dalam sehari. Hal tersebut menjadi poin utama yang sangat beliau keluhkan, ditambah kedua anaknya kerap kali meminta bantuan finansial dari beliau meski memiliki pekerjaan harian. Sementara saat ini Opung jarang sekali mampu memenuhi batas setoran uang parkir kepada ketua Ormas yang mengatur seluruh juru parkir di Pajak Petisah dan kesulitan memenuhi batas setoran itu setelah diberlakukannya sistem barcode bagi parkir di berbagai wilayah di Kota Medan.

Bertemu langsung dengan Opung Sianipar sejak kali pertama pada Selasa (17/09/2024) membuat kami dapat melihat kondisi fisiknya yang renta sebab tubuhnya yang sulit bergerak. Terlebih satu matanya mengalami katarak berat sehingga memerlukan operasi secepatnya sebelum kondisinya semakin parah dan dapat mengalami kebutaan. Mirisnya beliau tampak tetap bekerja meski sedang diterjang sakit hingga menggigil kedinginan. Selain itu kami menyadari ia tidak dapat mencukupi makan sehari-harinya dengan layak disertai kebutuhan sandang seperti pakaian juga jauh dari kata baik apabila mengingat beliau terus memakai pakaian yang sama setiap kami bertemu dengannya. Situasi semacam ini akan sangat memengaruhi kesehatan fisiknya dari dalam maupun luar.

Satu pertanyaan mendarat di kepala kami, ‘mengapa beliau masih memilih tinggal di Medan sementara terdapat lahan pertanian yang dapat ia kembangkan di kampung halamannya bersama kedua anaknya yang menetap di kampung?’ Melalui beberapa kali pertemuan dan terjalinnya komunikasi terbuka dengan Opung Sianipar, kami menemukan secercah pernyataan sebagai jawaban.

Penyakit katarak pada sebelah matanya dan keadaan tubuh yang lemah menjadi penghalang untuk Opung kembali ke kampung halamannya sebab adanya ketidakcocokan beliau terhadap cuaca di kampung halaman yang sangat dingin. Yang tak kalah penting pula, penjadwalan operasi katarak yang beliau telah ajukan sejak Agustus lalu terus diundur dengan alasan ketiadaan lensa sehingga perlu menunggu lensa datang dari pusat di Jakarta. Namun, terdapat ketidakwajaran sebab melihat surat hasil pemeriksaan milik Opung, penundaan yang dilakukan pihak rumah sakit sudah terlampau sangat lama. Beliau menyatakan, apabila kondisinya sudah jauh lebih kondusif ada niatan kuat untuk kembali melanjutkan hidup di kampung halaman.

Terdapat pernyataan yang mempunyai peranan besar dibalik kuatnya Opung Sianipar tetap bertahan menjadi juru parkir di usianya yang sudah mencapai 68 tahun. Beliau mengakui adanya bantuan dari orang-orang yang bersedekah di waktu-waktu tertentu kerap menjadi celah bala bantuan dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari sehingga menyebabkan beliau terlampau nyaman atas bantuan tersebut. Hal semacam ini akan menumpulkan semangat individu dalam upaya hidup secara mandiri. Sudah ada ketergantungan yang memerlukan penyadaran bahwa tidak selamanya beliau bisa terus mengharapkan bantuan dari sekitar saja.

Oleh karena itu, perlu penyadaran pada individu bersangkutan untuk secara intensif mengajukan kembali penjadwalan operasi pada jangka waktu secepatnya. Guna mencapai fase penyembuhan dan kembali sehat, Opung harus diberi kesadaran akan pentingnya hidup secara mandiri dengan usaha yang bisa dilakukan. Melihat kondisi di kampung halamannya yang ternyata memiliki lahan dan cukup untuk dibudidayakan, kepulangan Opung ke kampung untuk kembali bertani bersama keluarga dapat menjadi solusi dari permasalahan yang beliau hadapi. Keahlian beliau diharapkan mampu membantu anak-anaknya yang masih kesulitan mencukupi kehidupan di sana. Tidak sembarang menyimpulkan, bagi kami faktor usia, kondisi tubuh hingga keluh kesah individu akan ketidakjelasan penghasilan pada pekerjaannya sebagai juru parkir di Pajak Petisah pada saat ini telah memerlukan jalan tengah demi kebaikan individu bersangkutan dalam bertahan hidup dengan kemandirian mencukupi penghidupan.

Penulis: Fatimah Roudatul Jannah, Elisa Br.Siagian, Windy Lastri Manurung, Bambang Sugiarto, Hairani Siregar                                         Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial, Perpustakaan dan Sains Informasi Universitas Sumatera Utara 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun