Revolusi Mental: suara Jokowi
disuarakan ulang dalam tulisan oleh Bambang ardiantoro
Dalam diskusi Radio Elshinta Jakarta FM:90.00 pada Kamis 8 Mei 2014 sekitar jam 6 sore WIB, terdengar sayub tiga pesan dalam Revolusi Mental (ReMen) yang digagas Jokowi mencakup tiga hal: dalam kaitan dengan perubahan moral, perubahan sikap, perubahan perilaku (biasa dikenal sebagai “mind-set, culture-set, and behavior-set”). Dalam tanya-jawab dengan penyiar radio sebagai pembawa acara tersebut, belum sempat dirinci apa saja uraian ketiga perubahan; karenanya, kita menunggu apa saja yang dimaksud oleh Jokowi dengan Remen dalam kaitan dengan tiga perubahan. Maka, sambil menunggu penjelasan dari penggagasnya yang asli, bolehlah kita memulainya; sebab, Jokowi sendiri pun memberi pesan bahwa masyarakat perlu berkurban dalam revolusi, diartikan dengan kurban waktu dan pikiran untuk menerjemahkan gagasan agar bukan milik kemauan Jokowi sendiri. Juga, yang harus berkurban selayaknya ya dimulai dari para pimpinan yang sudah berkelebihan (pejabat elit), bukan cuma harus dari warga kawula alit.
Perubahan dalam mind-set, culture-set, and behavior-set
Dalam ilustrasi awal, marilah kita mulai dengan suatu kejadian yang menurut saya pribadi dulu pasti benar, ini terbukti dalam hasil survei tidak resmi: 1) setiap orang yang dapat mengendarai sepeda, saya jamin pasti orang tersebut pernah jatuh dari sepeda; 2) setiap orang yang sekolah, saya jamin pasti orang tersebut pernah mencontek; dan 3) setiap orang pasti orang pernah berbohong. Nah, itu semua manusiawi, toh? Yang penting kemudian, bagaimana kita mengambil hikmahnya. Jika ada ketidakpatutan, yang kita perbaiki saja dengan menguranginya bahkan menghilankannya sama-sekali kelak di kemudian hari. Bisakah? Ya bisa saja, asalkan kita mau!
ReMen dapat dimulai dengan perubahan pikiran dan niat (mind-set). Misalnya, dalam mengubah keinginan untuk mencontek saat ujian dalam belajar, sekolah, atau kuliah maka hal tersebut tidaklah sulit jika kita mau! Caranya, mulai dari guru harus menanamkan nilai bahwa hasil pikiran sendiri lebih penting daripada pura-pura pandai padahal hasil mencontek. Niscaya murid, siswa, atau mahasiswa akan tekun belajar untuk menunjukkan tingkat pemahamannya, jikalau hasil masih jelek maka tugas guru atau mahaguru yang kembali memberi pemahaman, bukan cuma menghukum dengan memberi nilai jelek. Siswa atau mahasiswa yang rajin hadir dan melaksanakan tugas, tidak akan mendapat nilai minus sehingga tak lulus; sebaliknya hanya siswa yang curang—misal mencontek—yang diberi peringatan dan bimbingan ulang secara seksama. Lembaga pendidikan menjadi tempat mendidik, bukan tempat menghukum siapa pun. Saya dulu saat menjadi pengajar di S2 dan kursus atau diklat selalu menekankan bahwa jika karya sendiri tanpa curang maka akan mendapat nilai minimal lulus, dan sebaliknya jika hasil karya jiplakan atau contekan akan bernilai nol alias diulang saja. Menulis pun tak perlu lebih dari lima halaman, sebab dengan lima halaman sudahlah cukup mencari pemikiran dasar sang penulis. Sedemikianlah pemikiran, bahwa berharta sedikit namun wajar dan legal (baca: halal) itu jauh lebih terhormat daripada hasil mencontek alias korup. Terlebih lagi, kelakukan koruptif saat ini sangat mudah terlacak, dengan bukti sudah banyak koruptor tertangkap, tersangka, terdakwa, hingga terpidana. Kita tak mau menyusul mereka yang demikian toh? Kecuali mereka saja yang tak mau sadar, tak tersadarkan, dan memang sudah tertutup hati dan pikiran untuk berubah! Berubahlah niat dan pikiran, sekarang juga, untuk menjadi lebih baik dengan STOP hal-hal yang tak layak.
Kedua, mengubah budaya menjadi lebih baik. Seperti perubahan niatan, lama-kelamaan akan mengubah budaya tentunya. Budaya tindak mencontek, tidak korup, tidak menyela dalam antrian, tidak menyerobot di lampu antrian lalu-lintas, dan seterusnya akan menjadikan kehiupan lebih tertib, teratur, aman, hingga nyaman. Budaya yang baik menjadi buah dari olah pikir dab budi pekerti yang luhur. Kini memang budaya terbaik warga masyarakat dan bangsa kita tergerus oleh budaya “instan” ingin cepat sendiri, ingin menang sendiri, ingin wah sendiri, ingin dianggap hebat sendiri—kesemuanya dengan mengorbankan kepentingan pihak lain. Contoh, korupsi pun kini dilakukan oleh berbagai pihak yang bukanlah orang-orang yang berkekurangan, melainkan oleh mereka yang sungguh bahkan berkelebihan namun memang punya sifat, sikap, dan budaya yang rakus, tamak, penumpuk harta tak berkah yang akhirnya bagaimana? Mereka pun sunnnguh tak menikmati hasil sama-sekali. Sesal kemudian tiada berguna. Budayakan kebenaran, budayakan kejujuran, dan budayakan kebaikan! Takkan rugi menjadi orang baik, menjadi orang jujur, menjadi orang benar; bahkan sungguh sangat indah kala sempat direnungkan hasil dibandingkan dengan orang yang nilai rapor bagus atau orang dengan harta melimpah namun hasil curang. Ubahlah budaya ke arah yang semakin baik, sekarang juga!
Dan ketiga, perubahan sikap dan perilaku. Wujud dari niatan dan pikiran, serta budaya yang telah berubah membaik kemudian terwujudlah perubahan sikap dan perilaku dalam keseharian setiap kita. Bisakah? Bisa! Setiap siswa dan mahasiswa bisa mengubah perilaku dari mencontek ke jujur, lurus, dan benar hingga baik. [Jadi ingat, tidak sedikit sampai jenjang gelar akademik tertinggi pun ada yang plagiat loh!] Setiap kita pun bisa menghindari perilakuk koruptif ke jujur, lurus, dan benar hingga baik dalam hal timbangan berniaga atau berdagang, apalagi kita bisa jujur, lurus, dan benar hingga baik dalam bekerja dengan menghindari korup: caranya ya tidak nyogok ke atas sebab juga tidak nggorok ke bawah. Bisakah? Bisa! Mulai saja! Toh pada saatnya, suatu waktu akan menjadi sikap yang teguh dan tergar, pada gilrannya akan menjadi perilaku terpuji di mana pun. Kita mulai perunahan sikap dan perilaku dari diri sendiri, pelan namun pasti akan menular ke keluarga inti, lingkunga sekitar hingga masyarakat dan negara. Di negara maju sekalipun, sudah terkandung niat jujur, budaya patuh, dan terkikis perilaku buruk yang korup! Coba ingat-ingat bagi kolega yang pernah melancong ke Singapura, Jepang, USA, atau Eropa bagaiman mereka orang-orangnya? Birokrasinya? Sistemnya? Apakah kita tidak malu budaya dan perilaku kita kini? Lalu, kemudian kita ingin meniru yang baik-baik? Bisakah? Ya, jawabannya pasti bisa, bukankah kita ini manusia yang berubah. Cuma belum tentu kita mau. Kuncinya ya kemauan itu saja. Mau mengubah sikap dan perilaku, wujud perubahan budaya ke arah lebih baik, dan hasil dari pikiran dan niat untuk menjadi lebh baik setiap saat ke depannya.
Semangat Remen kini, hendaknya ditanamkan lalu dilakukan dalam wujud nyata di setiap kehidupan. Ayolah kita mulai, tidak sulitlah itu, bilamana kita mau memulai dari diri sendiri, mulai dari hal-hal paling kecil sekalipun, mulai sekarang juga di mana pun dalam keadaan apa pun.
Tangerang, 11 Mei 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H