Macapat termasuk dalam tembang cilik (tembang kecil), dan memiliki derivasi irama yang kaya. Secara garis besar tembang macapat terdiri atas (berurutan sesuia dengan fase kehidupan manusia):
1.MIJIL
2.MASKUMAMBANG
3.SINOM
4.ASMARADANA
5.GAMBUH
6.DURMA
7.KINANTHI
8.DHANDHANGGULA
9.PANGKUR
10.MEGATRUH
11.POCUNG
Masing-masing jenis tembang diatas memiliki aturan baku sendiri-sendiri seperti berapa jumlah gatraI (baris)nya dalam satu pupuh (bait), Guru lagu serta guru wilangannya.
Namun maksud tulisan ini bukanlah membahas tentang semua hal teknis per-macapat-an, melainkan lebih kepada kajian filosofi dari nama-nama tembang macapat diatas. Seperti biasa bagi JAWA semua hal dan bentuk budaya adalah pasemon (pralambang) dari nilai agung kehidupan itu sendiri.
Mari kita mulai satu demi satu:
1.MIJIL, ber-citarasa sedih.
Mijil bermakna lahir/keluar, yaitu lahirnya si jabang bayi dari kandungan sang ibu. Pada saat kelahiran, semua saudara sanak keluarga serta tetangga memberikan doa-doa keselamatan, menyambut dengan suka cita. Bayi dilimputi oleh rahsa, ketika haus atau lapar, bisanya hanya menangis, belum mampu berpikir.
2.MASUMAMBANG, ber citarasa Sedih, getun (menyesal)
MASKUMAMBANG bermakna emas yang mengambang., menggambarkan kondisi bayi yang sudah tumbuh dengan tingkah lakunya yang menyenangkan semua yang melihat, sehingga semua orang berhasrat menggendongnya.
3.SINOM, ber citarsa Prasaja (sederhana)
SINOM bermakna sang pemuda, menggambarkan keadaan manusia yang sudah memasuki alam akil baligh. Pada masa ini terasa semakin berat tugas mendidik bagi orang tua. Nafsu Panca inderanya sudah sempurna, sehingga perlu bimbigan ketat agar tidak kesasar.
4.ASMARADANA, bercita-rasa Sengsem (cinta/suka), sedih.
Menggambarkan saat manusia sudah mulai mengerti rasa cinta terhadap lawan jenis, juga sudah mulai memiliki rasa penasaran secara seksual
5.GAMBUH, ber citarasa Agak senang
GAMBUH bermakna sudah manunggal, laki-laki perempuan sudah bertekad untuk bersatu di alam pernikahan.
6.DURMA, bercitarasa Galak
DURMA bermakna kwajiban, pegangan hidup dipegang erat-erat, membangun keluarga sendiri lepas dari orang tua. Susah senang, sehat-sakit, hidup-mati ditanggung bersama.
7.KINANTHI, ber citarasa Suka, gandrung (jatuh cinta)
KINATHI bermakna disertai, menggambarkan rumah tangga yang rukun damai, bersama-sama mengurai berbagai kesulitan, disertai kesabaran dan beningnya hati. Hingga masanya dianugerahi anak sebagai amanat Yang Maha Kuasa yang wajib selalu disukuri melalu I pengasuhan yang sebaik-baiknya.
8.DHANDHANGGULA, bercitarasa Luwes, mathuk (tepat)
DHANDHANGGULA bermakna Burung gagak dan gula, menggambarkan dua keadaan yang selalu mengiringi hidup manusia, pahit-manis, senang-susah, sakit-sehat, tawa-airmata, baik-buruk. Jangan sampai lepas dari pengetahuan dan kesadaran akan dua keadaan tersebut diatas, sehingga tetap tabah, sabar menghadapinya.
9.PANGKUR, bercitarasa gembira, suka
PANGKUR bermakna mungkur (membelakangi “keduniaan”), menggambarkan keadaan hidup manusia yang sudah harus meninggalkan bara hawa nafsu, karena sudah puas mengumbar kesenangan pada tahap kehidupan sebelumnya. Yang dicari adalah mensucikan batin, mengumpulkan bekal untuk kehidupan abadi
10.MEGATRUH, bercita rasa sedih
MEGATRUH bermakna megat ROH (menceraikan ROH, karena sudah memasuki alam kasedan jati (kematian)
11.POCUNG, bercitarasa sembrana (sesuka hati), lucu
POCUNG bermakna dipocong-I (dikafani), menggambarkan keharusan kehidupan untuk meerasakan kematian dan jasad kita dikubur dalam tanah.
Senada dengan gambaran diatas, Prof.Dr. DAMARJATI SUPAJAR, seorang ahli falsafah dan budaya JAWA membagi fase hidup manusia menjadi tiga bersekala 20-an berdasarkan usia, yakni FASE 20-1, yakni masa remaja/muda yang harus dinamis, kemudian FASE 40-2 merupakan fase persiapan untuk laku pembersihan batin, dan yang terakhir FASE 60-3 yang merupakan fase mungkur, yaitu total kepada kehidupan batin.
Demikianlah sekeping catatan tentang budaya JAWA, budaya kita sendiri yang wajib kita kenali, kita rasa, kita kembangkan. Lalu kenapa kita tidak bangga MENJADI JAWA???
Salam Budaya!!
Malo-Ponorogo, 28 Nopember 2010
Referensi:
- FILOSOFI JAWA, terbitan FORUM KOMUNIKASI TOLERANSI SPIRITUAL BUDAYA PONOROGO,
- MAWAS DHIRI, karangan Prof. Dr. DAMARDJATI SUPADJAR.
…Thank’s to my beloved wife for the inspiration…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H