Kita tentu sering mendengar kalimat “Bocah kok urung jawa!” atau “wong ora jawa, bojone lara malah ditinggal main remi”. Tentu kita bisa dengan mudah menebak arti dari kata jawa dari kalimat diatas. Jawa bermakna mengerti, paham. Paham apa? Tentunya paham akan kebaikan, akan kebenaran kehidupan, paham akan adab (norma tingkah laku). Dalam sejarah kelahiran huruf jawa ha na ca ra ka, Aji Saka bersenjatakan udheng ketika mengahadapi dewatacengkar (manusia yang kehilangan sifat kemuliaan tuhan). Udheng berarti mudheng yang bermakna paham, mengerti. Maka sebagai orang jawa harus jawa (paham).
Jalan yang ditempuh adalah melalui Tepa Sarira, sukur kalau dilanjutkan dengan mulat sarira, sembari menghindari sifat nandhing sarira (membanding-bandingkan diri dengan orang lain), menuju puncak laku Mulat Sarira. Instrumen yang digunakan adalah rasa. Kitabnya adalah adalah Kitab Teles (kehidupan itu sendiri). Rasa menjadi satu hal yang sangat dijaga orang jawa. Lha iya, ketika saya di tempeleng, ternyata rasanya sangat sakit, berartiorang lain ketika saya tempeleng juga akan begini rasa sakitnya. Lha iya, ketika keburukan saya dipergunjingkan, sakitlah rasa hati saya, berati orang lain juga akan sakit hati kalau saya pergunjingkan. Lha iya, ketika istri saya diganggu orang, sakitlah hati saya, berarti orang lain akan merasa sakit ketika istrinya saya ganggu. Maka batallah kemudian segala maksud jahat untuk menyakiti sesama. Itulah tepa sarira, menimbang nimbang rasa sesama dengan rasa sendiri untuk kemudian dijaga seperti menjaga rasanya sendiri. Sikap nandhing sarira dihindari jauh-jauh, sebab sikap seperti itu akan mengarahkan kita jatuh kedalam sikap jumawa, iri, drengki, srei, jahil methakil atau rasa rendah diri dan pesimis. Kata narima menemukan makna hakikinya didalam konteks ini. Jadi narima ing rasa, rasa selalu dijaga agar tetap lapang dan lega, penuh sukur, apapun keadaan yang menimpa kita sembari selalu melakukan darmaning agesang (kwajiban orang hidup) sebaik-baiknya. Sayang narima kebanyakan diartikan sebagai sikap pasif , mati gaya, tanpa daya yang berkonotasi negatif.
Timbullah berikutnya sikap prayitna, berhati-hati dilengkapi dengan sikap eling. Frasa sak bejo bejane uwong kang lali, isih bejo wong kang eling lan waspada (semujur-mujurnya orang lupa, masih mujur orang yang selalu ingat dan waspada) sangat jamak diketahui oleh orang jawa. Berhat-hati dalam bertindak dan bersikap agar tidak melukai kebaikan, dan disaat yang sama selalu ingat akan Gusti, Tuhan, Allah. Gusti yang tidak pernah tidur yang selalu mengawasi, Ingkang Maha Wikan (Yang Maha Tahu).
Orang jawa sangat menjaga harmoni dengan alam disamping menjaga harmoni dengan sesama serta dengan Tuhan sendiri. Bagi orang jawa alam ini telah memberikan beribu kebaikan, menyokong kehidupan manusia tanpa pilih kasih. Sehingga diamatilah alam sedetail-detailnya lalu muncullah ilmu Pranata Mangsa. Ketika tanaman padi hendak berbuah dilakukanlah selamatan sawah, sebagai acara ritual yang mengikat hatinya kuat-kuat akan kebutuhan pertolongan tuhan agar tanamannya tumbuh baik. Dan setiap ada waktu luang selalu di endhangi sambil mendendangkan tembang-tembang mantram agar Tuhan menjauhkan tanaman dari hama penyakit.
..........Sehingga orang (yang) Jawa selalu terlibat dengan Tuhan dalam setiap tindakan....
Salam budaya;
Ponorogo, 19 Oktober 2010
Bambang Satrio Jawi
http://www.facebook.com/berikucinta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H