Mohon tunggu...
bambang hermawan
bambang hermawan Mohon Tunggu... -

Penikmat Budaya,, Alumnus UII Jogjakarta 2001

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

LHA IYA….

13 November 2010   13:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:38 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nusa jawa gelap gulita, terangnya budaya jawa meredup, tersembunyi dibalik awan, laksana bulan tertutup kabut malam. Jalan-jalan dipenuhi orang-orang berjubah berjidat hitam. Telunjuknya selalu siagauntuk menuding. Fatwa-fatwa sepihak menggantung rendah di bibir mereka, siap segera meluncur menghakimi; BID’AH!!!, SESAT!!! SYIRIK!!!. (Mimpi Togog dimalam yang resah..)

Togog geragapan, terbangun dari mimpinya. Segera dia berjalan ke kamar mandi membasuh muka, kemudian duduk di teras rumahnya. Pikirannya berbicara sendiri; “Lha iya, sudah sangat jelas, manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenali, menghargai dan saling mengambil pelajaran. Lha iya Kanjeng Nabi Muhammad SAW menyarankan untuk belajar walau harus sampai ke negeri Cina, artinya di Cina atau di bangsa lain terdapat sesuatu yang baik untuk dipelajari, tidak hanya terkungkung di tanah arab saja”. “Lha iya!, orang jawa sudah sejak dulu melakukan pendidikan budi pekerti melalui budaya hidup sehari-hari. Ajaran-ajaran untuk menghormati orang tua, para guru dan semua manusia melalui ajaran anggah ungguh, tepa salira. Bahasa yang digunakan orang jawa pun bertingkat-tingkat, ada bahasa jawa ngoko, krama, krama inggil yang kesemuanya merupakan pendidikan penghormatan”. “Lha iya!, orang jawa juga sudah lama mengenal Gusti, meyakini bahwa hidup didunia ini hanya sebentar, mung mampir ngombe, yang kekal adalah ketika nanti di alam kelanggengan, yakni alam akhirat. Sehingga lahirlah ajaran eling lan waspada, nastiti lan ngati-ati, hidup yang berhati-hati dan berusaha selalu ingat kepada Gusti Alah. Semua yang terjadi merupakan kehendak Gusti sehingga ada ungkapan ngAlah luhur wekasane. Ngalah yang tidak kalah, melainkan ngAlah yang menempatkan diri sumendhe kepada Gusti Allah”. Lha iya, kalau beras dihukumi halal, apakah mungkin nasi goreng jadi haram?, kue lemper dilarang?”. Togog termangu-mangu, ada sedikit rasa nyeri mengingat mimpinya barusan, dimana budaya dan ajaran leluhurnya dihujat-hujat, dihakimi dengan dalail-dalil agama yang sepihak.

“Dhuh Gusti…apakah semua ajaran budaya itu menyalahi ajaran Kanjeng Nabi Muhammad?, bukankah Kanjeng Nabi mengajarkan budi pekerti luhur? Bukankah Kanjeng Nabi Muhammad mengajarkan tauhid, mengajak manusia berserah pada Gusti Allah?. Kenduri memang memakai tumpeng, jenang abang jenang putih, itu karena orang jawa penuh dengan ajaran-ajaran luhur melalui simbol-simbol. Kenduri tidak lain adalah doa bersama. Doa yang bersifat personal kami sosialkan dengan mengundang para tetangga, memberikan makanan terbaik kami kepada mereka, dan mengajak mereka berdoa bersama, berdikir bersama. Berapa banyak kebaikan amal disana. Toh kami hanya menyebut memohon bantuan nggih namung kepada panjenengan dhuh Gusti Allah, yang kami baca ayat-ayat Al-Quran”. Togog, nggrantes, melakukan dialog bathin.

“Dhuh kanjeng nabi Muhammad, dikala maulud yang menjadi bulan kelahiranmu, kami orang jawa mendendangkan slawatan, dengan sentuhan budaya kami. Itu kami lakukan untuk menghormatimu, mengagungkanmu dan syukur atas keberadaanmu sebagai pembawa pelita. Salahkah jika kami memberimu tandha tresna pejenengan dengan kemasan budaya yang kami miliki dhuh Kanjeng Nabi Muhammad??..”. Lha iya, bukankah kanjeng Nabi lebih mengutamakan penyadaran bukannya pemaksaan?, sehingga ketika disiksa dihina beliau menganggap semua itu dilakukan kaum jahiliyah karena mereka belum mengerti?. Lalu apakah penyadaran itu hanya bisa dilakukan melalui satu cara tunggal yang mutlak? Apakah usaha para wali tanah jawa tidak layak lagi kita pakai sebagai cermin? Apakah penyadaran melalui budaya jawa salah? Apakah lagu ilir-ilir tidak menyadarkan? Apakah lagu sluku-sluku bathok tidak mencerahkan?”. “Lha iya, apakah itu semua tidak bisa disikapi sebagai kekayaan Islam sehingga lebih berwarna. Lha iya, tidak bisakah itu semua disikapi sebagai budaya yang bersifat komplementer, melengkapi, bukanya kontradiktif?”

Togogpun menghela nafas panjang, diam memejamkan mata menata rasa, berdikir memohon ketenangan. Lama ia duduk, lalu membuka mata tersenyum berucap lirih “Semoga nusa jawa selamat dari penjajah budaya”. Togog pun mendendangkan mantra;

Singgah-singgah kala singgah,

Pan suminggah durga kala sumingkira,

Singa ama sing awulu sing suku sing asirah,

Sing atenggak lawan kala sing abuntut,

Pada sira suminggaha,

Muliya mring asal neki.

Ponorogo, 27 Pebruari 2010

Bambang Hermawan

Tinggal di :

http://www.facebook.com/berikucinta

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun