Kita selalu mensyaratkan keadilan untuk menilai sebuah negara ideal, tapi kita tak mensyaratkan itu pada saat kita membuat keluarga. Kita bahkan memanfaatkan sedikit dalil agama yang menguntungkan kita, dan mengabaikan sedikit dalil agama yang kita anggap tak menguntungkan kita.
Orangtua membuat kata durhaka, dengan dalil agama soal kewajiban anak berbakti pada orang tua untuk mengontrol anak supaya nurut sama orang tua. Dan banyak orang tua tidak mempelajari, tidak perduli, bahkan menutupi kenyataan ada hadist pula mengenai durhakanya orang tua pada anak, hadist mengenai orang tua yang dimarahi sahabat karena menyebut anaknya durhaka sementara orang tua nya terlebih dahulu durhaka pada si anak.
Dan sering sekali kata durhaka muncul karena anak tidak menuruti perintah orang tua yang bersifat dunia. Bukan dalam hal taat pada Allah. Misalnya, Â Anak ingin kuliah jurusan pendidikan, bapaknya ingin anak ambil jurusan bisnis. Ketika anaknya ngotot ingin jurusan itu, bapaknya keluarkan kata sakti "durhaka!"
Anak akan merasakan bagaimana begitu dimanfaatkan kata dalam agama untuk kepentingan duniawi orang tua. Sekedar untuk mengontrol anak. Bahkan sering sekali kata itu diobral setiap ada kesempatan akan diungkapkan karena begitu ngerinya kata ini bagi si anak.
Orang tua tak bisa disalahkan dikala keputusan nya salah, jika diulas bahwa dia yang suruh anak melakukan ini dan itu namun anak tidak nyaman, tidak betah, atau gagal. Maka kata sakti "durhaka" bisa lagi keluar.
Budaya dalam pendidikan keluarga seperti ini budaya yang buruk, tidak ada keadilan. Anak selalu korban yang harus menurut pada orang tua, dan orang tua selalu bisa menekan anak dengan kalimat "durhaka."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H