Ruang Gelap
Ya, terasa pekat dan pengap. Jalan berliku menyeret ku ke dalam ruang yang gelap dan pengap.
Bau keringat dan anyir darah, berserakan di setiap sudut ruangan. Jejak kehidupan yang kian membusuk. Pedih.
Pedih mata ini serta engap udara terpaksa ku hirup secara perlahan. Ya perlahan mematikan. Hati dan nurani.
Eksistensialisme mengajarkan aku tentang keteguhan di antara hidup dan mati. Asal tidak mematikan nalar.
Ruang gelap ini, aku tersudut bersama bayangan yang tidak pasti, Aku menyebutnya ketiadaan cahaya.
Indera perasa menuntun dalam meniti jalan, menembus batasan-batasan manusia, aku terlempar dalam kubangan, bukan lumpur tapi kepalsuan hidup.
Ruang ini bukan lagi tentang idealisme serta konsepsi sebagai lentera dalam meniti jalan. Semuanya berubah.
Pragmatisme melahirkan manusia-manusia yang hipokrit.
Aku disini bersama gelap bayangan.
Aku belum kalah.
Kukais kembali kehidupan dan aku tapalkan sebagai bagian dari monumental kepedihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H