Seketika mata terbelalak melihat kenyataan, tentang renjana yang teguh pada keyakinan, tentang hidup yang harus berjalan.Â
Gontai dan berantakan rumah bangsaku, teriak rakyat jelata memohon belas kasihmu, mereka khawatir akan hidup dan masa depan buah hatinya.Â
Berserakan rumah bangsaku, dikoyak keserakahan manusia bengis, matikan nurani, matikan cinta kasih.Â
Belenggu rantai aturan semakin mencekik sendi-sendi kehidupan. Akankah berakhir, akankah usai semua tangis dan resah kaum papa.Â
Sekumpulan manusia merangsek tuntut hak dan keadilan, menentang kesewenangan dan penindasan.Â
Namun mereka hanya sampai dibibir pintu, kemudian hilang ditengah tangis.Â
Rumah bangsaku, pilar-pilarnya mulai lapuk dimakan kesombongan. Tidak ada lagi harmonisasi didalamnya, Hampa dan Sirna.Â
Tentang gelap yang kunjung jumpai cahaya, tentang getir yang tak bertaut dengan tawa.Â
Rumah bangsaku, tidak se elok dulu, dimana senyum dan gelegar tawa menyentuh langit-langit rumah.Â
Semuanya bisa, semuanya Palsu.