Kampus atau Universitas dalam bayangan saya ialah kumpulan para pejuang-pejuang intelektual muda yang dengan tulus mau berjuang demi bangsa dan negaranya, sekumpulan anak bangsa yang juga turut serta dalam menjaga stabilitas sosial dan politik bangsa sebagai bagian dari kontrol rakyat terhadap kebijakan yang akan dibangun oleh pemerintah yang menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat banyak, seperti halnya kampus-kampus pada era 60an yang banyak melahirkan pejuang-pejuang politik, banyak mencetak kader bangsa terbaik dan mau turun ke jalan ketika pemerintah sewenang-wenang menjalankan roda kepemerintahannya.
Namun di tengah isu pejabat desa yang melakukan aksi demonstrasi dengan menuntut perpanjangan masa jabatan yang menurut saya sangat bertentangan dengan Undang-undang tersebut kemudian tidak ada respons dari kampus-kampus membuat saya agak sedikit kecewa, mahasiswa-mahasiswa indonesia seperti tidak mau peduli lagi pada situasi dan kelakuan pejabat-pejabat pemerintahan yang tengil itu dan kampus-kampus menjadi sunyi tanpa suara apapun terkait situasi seperti ini, sensitifitas terhadap situasi bangsa seakan terbelenggu oleh egoisme diri sendiri, dan mereka seakan tidak merasa terusik oleh peristiwa tersebut. kemarin sore sampai malam, saya berdiskusi dengan paman terkait situasi terkahir ini, beliau adalah angkatan 80an Universitas Kristen Satya Wacana, yang pada waktu secara kebetulan di ajar langsung oleh kakak kandungnya Soe Hok Gie yang pada saat itu menjadi dosen, yaitu Arief Budiman (Soe Hok Djin) sosok hebat yang sangat menginspirasi generasi saat ini, beliau banyak bercerita tentang dinamika kampus di waktu itu, beliau bercerita bahwa mahasiswa yang pada saat ini dalam tekanan rezim orde baru yang militeristik mahasiswa pun terus saja mahasiswa-mahasiswa di tiap-tiap kampus melakukan gerakan-gerakan perlawanan dengan melakukan aksi protes dengan berbagai macam cara gerakan untuk terus mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak dengan rakyat, mahasiswa kala itu sangat sensitif dengan isu-isu sosial dan politik meskipun resikonya sangat besar namun tidak lantas menyurutkan nalar kritisnya, dan terus melawan sampai tiba pada peristiwa mei 1998, artinya lahirnya reformasi tidak secara instan namun melalui proses yang sangat panjang.
Tiba pada suatu ketika hari mulai gelap dan bahan untuk diskusi sudah mulai mentok, dari dalam bibir beliau terucap akan rindunya sosok pejuang hebat yang di miliki oleh bangsa ini dahulu, seperti Cokroaminoto, Tan Malaka, Syahrir hingga ke Soekarno dan Hatta, tokoh republik yang dengan rela menginjak-injak egoismenya demi bangsa dan negara ini, pejuang yang tulus demi membangun peradaban bangsa ini tanpa pamrih.Â
Sesekali beliau juga berkelakar tentang masa-masa menjadi mahasiswa dengan berbagai macam kenangan-kenangan demonstrasinya indah, karena bisa di katakan pada era itu biasa di sebut sebagai generasi emas, hingga kemudian beliau sempat hening sejenak dan berucap, kok mahasiswa sekarang tidak ada sensitifitas di dalam jiwanya ya, kelihatan dari kampus-kampus yang terasa sunyi, tidak ada bunyi-bunyian tentang betapa pentingnya rasa keadilan, dan tidak ada perdebatan metodelogis, dan saya hanya tersenyum sambil terus mendengarkan cerita-ceritanya.
Rasa-rasanya memang pemimpin desa yang menuntut perpanjangan masa jabatan tersebut sudah putus nalar berbangsanya, seakan sudah tidak lagi mempunyai rasa malu dan seakan kekuasaan yang mereka peroleh dari hasil mengemis suara rakyat itu kekal, mereka lupa bahwa salah satu tujuan reformasi 1998 ialah membatasi masa jabatan penguasa dan itu berlaku sampai tingkat desa, presiden hingga bupati saja hanya boleh menjabat selama lima tahun dalam satu periode, dan tuntutan mereka terkait sembilan tahun sangat tidak rasional dan inkonstitusional, terlihat tamak dan ambisius jabatan kepala desa ingin melampaui jabatan-jabatan tinggi di atasnya, sangat memalukan dan melukai hati rakyat.Â
Padahal prinsip hukum yang tertuang di dalam undang-undang terkait masa jabatan tersebut adalah memberi kesempatan kepada rakyat untuk mengevaluasi kinerja pemimpin yang kerjanya tidak becus melalui pemilihan umum, kalau memang pemimpin tersebut berprilaku baik dan berpihak pada rakyat, tentu akan pasti di pilih kembali oleh rakyatnya, karena sesungguhnya pemimpin itu harus dekat dengan rakyat. Karena dari rahim rakyat pedesaan lah pemimpin-pemimpin hebat indonesia ini dilahirkan, dan desa menjadi laboratorium manusia dalam mempelajari cara berbangsa dan bernegara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H