Masalah transportasi umum di Jakarta sudah menjadi bahan pemikiran, perdebatan, dan gugatan sejak bertahun-tahun, bahkan sampai menjadi bahan kampanye Calon Gubernur DKI Jakarta. Tapi akankah ada perubahan signifikan apabila Gubernurnya ganti yang baru ....? Saya rasa koq tidak.... Mengapa ? ...Karena untuk membenah transportasi umum di Jakarta membutuhkan dana besar, manajemen yang baik, dan juga 'nyali' besar.....; Dana besar dapat dicari, manajemen yang baik dapat diupayakan, ...tapi 'nyali' besar .....wallahu'alam.
Mengapa untuk membenahi transportasi umum di Jakarta membutuhkan 'nyali' besar ? Coba kita tengok moda transportasi yang tersedia di kota Jakarta saat ini, yaitu : Bajaj bensin, Bajaj gas, Bemo, Angkot, Mikrolet, Metromini, Kopaja, Bus-bus besar, Trans Jakarta, KRL, Taxi, Ojek motor, Ojek Sepeda, omprengan gelap, dan sebagian kecil becak. Sungguh suatu moda transportasi umum yang sangat banyak varian-nya dan tidak jelas pengaturannya, ataupun kalau sudah ada trayek-nya tapi pengawasannya tidak ada atau hilang karena setoran tunai dari pengemudi angkutan umum yang melanggar.
Kalau kita lihat transportasi umum di kota-kota besar negara-negara maju, misalnya: Tokyo, London, Shanghai, Hongkong, dll pada umumnya moda transportasi hanya 3 atau 4 moda, misalnya : KRL atau subway atau metro, Bus besar, dan Taxi. Untuk Taxi tidak akan kita diskusikan karena pengelolaannya hampir sama di semua negara. Di negara-negara maju tersebut, moda transportasi yang umumnya digunakan adalah kendaraan yang berukuran besar dan mempunyai daya tampung penumpang yang besar. Jadi umumnya menggunakan Kereta Api atau Kereta Rel Listrik dan Bus Besar, bahkan ada yang menggunakan Bus Tingkat atau Bus Gandeng. Ada dua tujuan yang akan dicapai dengan penggunaan kendaraan besar, yaitu mengangkut sebanyak-banyaknya penumpang dan tentunya sekaligus mengurangi beban lalu lintas atau potensi kemacetan lalu lintas di dalam kota.
Dari pengalaman penulis di London, Shanghai, dan Tokyo, pengelolaan moda transportasi Bus dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat. Sopir-sopir Bus diuji kemampuannya dan memperoleh gaji bulanan dengan kesejahteraan yang baik, sehingga dalam mengemudikan Bus tidak ugal-ugalan karena alasan mengejar setoran. Bus-bus berhenti di halte-halte yang telah ditetapkan dengan jarak tempuh yang terkendali dan hampir selalu tepat waktu, sehingga penumpang dapat memperkirakan waktu untuk sampai ketempat tujuannya dengan baik. Pengemudi Bus tidak akan menghentikan Bus-nya di luar Halte yang ditetapkan, sehingga penumpang juga tidak bisa naik atau turun Bus di sembarang tempat.
Bagaimana dengan Jakarta tercinta .....?
Wah...wah...wah....kayaknya seperti bumi dan langit apabila dibandingkan dengan kota-kota besar dunia, meskipun Jakarta juga adalah kota internasional sebagai pintu gerbang negara RI tercinta. Di dalam kota masih ada Metromini, Kopaja, Mikrolet, dll yang kapasitasnya hanya sepertiga dari kapasitas Bus besar. Selain itu di Bus-bus besar juga dibuat tempat duduk yang sangat banyak, sehingga daya tampungnya menjadi sangat terbatas. Tentu saja denga daya tampung yang terbatas dibutuhkan jumlah Bus, Metromini, Kopaja, Mikrolet yang jumlahnya berlipat ganda, dan akibatnya lalu lintas juga semakin padat. Lebih runyam lagi tidak ada pengawasan dalam pengoperasian kendaraan umum tersebut, sehingga semakin menambah semrawutnya lalu lintas dengan berhenti di sembarang tempat, 'nge-tem' menunggu penumpang di sembarang tempat, dan melanggar rambu-rambu lalu lintas.
Nah ....jadi diperlukan nyali dari Pemerintah Daerah yang baru atau Gubernur baru untuk merombak struktur transportasi umum di Jakarta. Kenapa.....? perubahan atau penghapusan kendaraan kecil dan menengah (Metromini, Kopaja, Mikrolet, Angkot) untuk diubah menjadi bus besar berarti menghilangkan mata pencaharian sopir-sopirnya atau batangan-nya (sopir tembaknya). Kalaupun sopir-sopir itu dialihkan menjadi sopir Bus, kemungkinan sebagian besar dari mereka belum tentu memenuhi syarat menjadi sopir bus yang baik, karena sudah menjadi rahasia umum, kalau SIM-pun bisa dibeli.
Jumlah kendaraan umum di Jakarta diperkirakan +/- 40,000 kendaraan, terdiri dari +/- 3000 bus besar, 8000 bus sedang, dan sisanya sebanyak +/- 29,000 adalah bus kecil. Seandainya bus kecil bisa diganti bus besar, maka jumlah yang dibutuhkan hanyalah +/- 15,000 bus besar, karena daya tampung bus besar bisa dua kali daya tampung bus kecil. Dari hitung-hitungan sederhana di atas, kita sudah dapat mengurangi kepadatan lalu lintas sebanyak 14000 kendaraan bus kecil yang setara dengan 28000 mobil pribadi.
Pertanyaannya tinggallah, mampukah Pemerintah DKI Jakarta menyederhanakan moda transportasi umum di kota Jakarta. Kemudian mau-kah ....? dengan segala konsekuensi perubahannya, artinya siap menghadapi demo para sopir Metromini, sopir Bemo, dll .....? Wallahu'alam....semoga ......meskipun kita sepertinya masih harus bersabar dalam waktu yang lamaaaaa.........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H