Mohon tunggu...
Balya Nur
Balya Nur Mohon Tunggu... Editor - Yang penting menulis. Dah gitu aja

Yang penting menulis. Dah gitu aja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Afwan Pak Yai Cholil

31 Agustus 2021   15:33 Diperbarui: 31 Agustus 2021   15:37 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah hadis dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu ta'ala anhu, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Artinya: "Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat." (HR Bukhari)

Tentu saja satu ayat itu harus dipahami dulu oleh sipenyampai sampai betul-betul paham, baru disampaikan. Al-Qur'an ditulis dalam bahasa Arab, dibaca beda dengan bahasa Arab sehari-hari, harus pakai tajwid. Untuk belajar membaca Al-Qur'an dimulai dari --diantaranya- metode Iqra. Bagi siapa saja yang sudah memahami bacaan Iqro, boleh menyampaikan atau mengajarkan iqro kepada pemula yang mau belajar membaca Al-Qur'an, dan guru iqro itu oleh masyarakat DIberi  gelar ustadz. Jadi, untuk mengajar Iqro, nggak perlu sampai harus belajar dulu ke timur tengah misalnya sampai dapat gelar S3.

Ketua Komisi Dakwah MUI Cholil Nafis punya pendapat beda. "Soal ini, ini karena gampangnya seseorang disebut ustad, kalau di timur tengah, ustad itu sekelas profesor. Di sini orang sering ke masjid lalu jadi takmir masjid sudah ustad. Jadi ya ini memperendah istilah ustad itu sendiri," tutur Cholil kepada wartawan.

Ucapannya itu menanggapi penangkapan Ustadz Yahya Waloni yang disebut belum pantas disebut ustadz. Entahlah, apakah saat dulu Abu Janda disebut ustad, Pak Yai juga mengomentari hal yang sama?

Yai Cholil gelarnya berderet. Prof. K.H. Muhammad Cholil Nafis, Lc., M.A., Ph.D. Dari gelarnya dan aktivitas berorganisasinya, dia layak menjadi Ketum MUI di masa depan. Makanya, masyarakat memberi gelar kyai haji, bukan ustadz. Karena selama ini masyarakat memahaminya gelar ustadz itu adalah untuk guru ngaji TPA, guru di pesantren atau sekolah Islam yang pendidikannya "cuma" S1, penceramah kelas kampung, penceramah kelas menengah atas, dan semacamnya. Jadi, gelar kyai haji itu berarti lebih tinggi dari gelar ustadz ya setara guru besar lah.

UAS juga sudah professor,  tapi dia masih disebut ustadz, bukan kyai haji. Karena masyarakat menilai UAS sebagai sosok kyai yang sangat sederhana, dekat dengan masyarakat, duduk dengan masyarakat sampai masyarakat pedalaman, bukan duduk bareng penguasa. Sebutan kyai haji akan menjadikan UAS seakan berjarak dengan masyarakat.

Katanya NKRI, kenapa Pak Yai membandingkan dengan kearifan lokal timur tengah? Lain ladang lain belalang. Guru TPA  yang dipanggil ustadz oleh masyarakat NKRI adalah bentuk penghormatan, bukan bentuk merendahkan sebutan ustadz hanya karena guru TPA bukan professor.

Afwan, Pak Yai. Sewaktu ada seorang tokoh dengan gampangnya diberi gelar professor, apakah Pak Yai juga menganggap sebagai merendahkan gelar professor? Lagi pula professor kan bukan gelar akademik. Apakah perlu seorang guru TPA berhak menyandang gelar ustadz setelah dia menulis karya ilmiah, meneliti sejak kapan Alqur'an menggunakan tanda baca fathah, dhomah, kasroh? Kenapa huruf alif lempeng sedangkan wau bengkok? Apa sebab huruf ba titiknya satu dibawah?

Afwan Pak Yai, seribu afwan. Ucapan Pak Yai itu seolah merendahkan para takmir masjid dan guru TPA. Kalau mau merendahkan Ustadz Yahya Waloni, jangan melebar kemana-mana, Pak Yai. Sebagai professor, mestinya Pak Yai sebut saja satu atau dua kesalahan dalil yang diucapkan oleh Ustadz Yahya Waloni, itu akan menambah pengetahuan umat.

Afwan, dua ribu afwan Pak Yai. Setiap penceramah kan ada spesialisasinya. Ada yang pakar ekonomi syariah, ada yang pakar fqih, ada yang pakar tafsir, ada yang pakar sejarah, bahkan ada yang pakar tanda-tanda yaumil qiyamah. Ada juga yang  pakar kristologi. Ilmu perbandingan agama. Ilmu yang mana yang hingga Pak Yai menyebut Utadz Yahya Waloni ilmunya cetek? Karena Pak Yai tidak memberikan satu pun contoh kesalahannya. Apakah karena cara penyampaiannya? Atau karena sebagai "ahli" perbandingan Agama, Ustadz Yahya Waloni masih cetek ilmunya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun