Mohon tunggu...
Balya Nur
Balya Nur Mohon Tunggu... Editor - Yang penting menulis. Dah gitu aja

Yang penting menulis. Dah gitu aja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rektor UI dan Muazin

22 Juli 2021   08:20 Diperbarui: 22 Juli 2021   08:40 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bukan satu kebetulan. Setiap ada satu kejadian, disusul oleh kejadian lain yang melengkapi. Selalu begitu.

Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI yang melarang Rektor UI rangkap jabatan jadi komisaris BUMN, mendadak diganti dengan peraturan baru Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia (UI) yang membolehkan rektor UI merangkap jabatan. Peraturan itu ditetapkan di Jakarta dan diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Juli 2021

Saya membayangkan begini. Gimana rakyat memandang Presiden ketika presiden bicara aturan, undang-undang dan sebagainya. Setiap saat Presiden bicara berbusa-busa agar rakyat mematuhi peraturan. Sementara dia meneken surat yang mengubah paraturan hingga Rektor UI yang melanggar peraturan otomatis bebas dari pelanggaran.

Hanya dalam hitungan hari, Menag bikin pernyataan, nggak ada yang salah Jokowi mengatakan sholat ied ada muazinnya. Menag malah mendungu-dungukan orang yang mempertanyakan, kok sholat ied pakai muazin?

Menag berpendapat, Muazin itu Bilal, Bilal ya mauzin nggak ada bedanya. Jadi Jokowi nggak salah. Kalau dalam konteks sholat jum'at, Menag benar. Bisa disebut bilal, bisa disebut muazin. Karena tugas bilal pada sholat jumat adalah azan dan qomat.

Tapi kalau dalam konteks sholat tarawih dan sholat ied, ya nggak lazim Bilal disebut muazin karena sholat tarawih dan sholat ied nggak ada azan. Dari duluuuuu petugas mubalghoh, atau penyeru untuk sholat tarawih dan sholat ied disebut Bilal bukan muazin.

Kecuali Menag sedang bermain-main dengan kata-kata. Azan secara harfiah memang berarti memanggil atau mengajak. Tapi secara fiqh, azan adalah lafaz yang sudah ditentukan susunan kata-katanya untuk mengajak orang sholat. Nah, yang melafazkan disebut mauzin atau bilal.

Kalau Menag hanya berhenti memaknai azan secara harfiah, maka setiap orang yang memanggil dan mengajak untuk urusan apa saja bisa disebut muazin. Atau bahkan orang mengajak untuk sholat di masjid atau memanggil orang lain untuk sholat di masjid dengan cara panggilan apa pun bisa disebut mauzin. Kata-kata panggilan atau ajakan apa pun agar orang sholat di masjid, kata-kata itu bisa disebut azan. Begitu, Boss?

Untung sholat tarawih dan ied masih lama. Kalau satu atau dua bulan lagi, jangan-jangan Menag minta para takmir masjid mengganti istilah bilal untuk sholat tarawih dan sholat ied dengan sebutan muazin. Membela junjungan sih boleh-boleh saja. Tapi jangan gitu-gitu amat, Boss.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun