Hari tenang. Melupakan Jokowi sejenak, melupakan hingar bingar politik sejenak.
Tenang. Mulai berpikir soal lain...Fenomena Satinah.
Di Pengadilan Buraidah, Arab Saudi, Satinah telah mengakui membunuh majikannya, dan mencuri uang majikannya sebesar 37.970 riyal, sekitar 100 juta rupiah. Fakta bahwa satinah adalah pembunuh dan pencuri.
Di sini Satinah pahlawan dadakan. Suara-suara diteriakan. Boleh membunuh dan mencuri, asal jangan di Indonesia! Membunuh di luar negeri adalah pahlawan bangsa! Wajib diselamatkan! Save Satinah!
Seperti dulu pada Darsemku pahlawanku. Save Darsem! Darsem pahlawan yang harus diselamatkan karena telah membunuh bukan orang Indonesia!
Darsem terselamatkan. Darsem pahlawan baru berlenggak lenggok di cat walk nasionalsme kita, melambaikan tangannya, terdengar merdu gemerincing gelang emas. Menggelengkan kepalanya seraya berkilauan kalung emas. Pembunuh yang dibayar oleh iuran anak bangsa atas nama nasionalisme.
Satinah juga. 21 Milyar uang kita telah menyelamatkan nyawa pembunuh dan pencuri itu. Harga yang cukup mahal buat rasa nasionalisme semu. Rasa kemanusiaan semu, yang hanya berpihak pada pelaku pembunuhan. Pernahkah kita berpihak pada korban pembunuhan?
Satimin. Ya, Satimin. Ini nama fiktif. Tapi dia ada di sekitar kita.
Satimin pertama adalah anak kecil. Ayahnya mati dibunuh. Pembunuhnya hanya mendapat hukuman beberapa tahun. Satimin menderita lebih panjang dari masa hukuman pembunuh ayahnya. Satimin tidak mengamuk di pengadilan karena merasa hukum sangat tidak adil seperti yang dilakukan oelh keluarga korban pembunuihan lainnya. Setelah kematian ayahnya, Satimin berjuang memperpanjang hidup bersama ibunya, jengkal demi jengkal, hari demi hari. Ibunya membanting tulang, dan memelihara tulang itu agar tetap kuat untuk membiayai hidupnya. Tidak ada yang perduli. Tidak ada 21 Milyar, bahkan 21 rupiah pun tidak! Karena Satimin dan ibunya adalah korban pembunuhan, bukan pembunuh!
Satimin kedua adalah korban upaya pembunuhan pada satu peristiwa perampokan. Satimin memang tidak mati, tapi cacat seumur hidup. Perampoknya sudah dihukum beberapa tahun. Penderitaan Satimin lebih panjang dari masa hukuman orang yang telah merampoknya. Dia tidak bisa lagi bekerja. Hidupnya sepenuhnya ditanggung istrinya yang bekerja apa saja asal halal. Anaknya putus sekolah. Mengamen di perempatan jalan. Beberapa kali ditangkap Satpol PP. Beberapa kali Satimin berpikir akan menghabisi hidupnya. Tapi setiap menatap mata anak dan istrinya, pikiran itu sirna. Tidak ada 21 Milyar, bahkan 21 rupiah pun tidak! Karena satimin dan keluarganya adalah korban pembunuhan, bukan pembunuh!
Satimin ketiga, keempat, kelima.....
Satimin. Ya, Satimin. Ini nama fiktif. Tapi dia ada di sekitar kita.
Save Satimin!