I.
Di sebuah daerah terpencil di sebuah provinsi di negara kesatuan Republik Indonesia , Saman tercenung membaca berita di Jakarta telah diberikan Kartu Jakarta Pintar. Kartu sakti yang bisa buat membayar SPP dan beli sepatu, buku dan keperluan sekolah lainnnya. Saman seperti juga beberapa teman lainnya sudah putus sekolah karena ketidak adaan biaya.
Saman terheran-heran. Dia menyangka anak-anak di Jakarta kaya kaya seperti yang sering dia saksikan di sinetron. Dia tidak menyangka, ada anak Jakarta yang tidak bisa membeli sepatu buat sekolah. Walaupun Saman miskin dia punya sepatu sekolah yang masih disimpannya.
Dia bertanya pada ayahnya, kenapa di daerahnya tidak ada kartu sakti itu? Ayahnya bilang, APBD provinsinya tidak mencukupi. Saman tidak paham, tapi dia pura-pura paham saja. Saman bertanya lagi,” Pak..saya mau sekolah lagi, bagaimana kalau kita pindah saja ke Jakarta? Masa cuma anak-anak Jakarta saja yang boleh pintar?”
Pertanyaan itu menggantung di langit biru yang menaungi bumi Indonesia yang sangat subur dan kaya ini.
II.
Bang Samin gembira menerima Kartu Jakarta Pintar. Dia membayangkan anaknya akan terus bersekolah, menjadi orang pintar yang nantinya akan dapat membantu perekonomian keluarganya. Tapi ketika dia mencairkan Kartu Pintar itu, kondisi ekonominya benar-benar sedang terpuruk pada titik nadir. Dia sudah tidak berani lagi lewat depan warung sebelah rumahnya. Hutangnya sudah menumpuk. Terpaksa dia berhutang di warung lain yang agak jauh.
Di ruang tengah rumahnya yang sangat sederhana, dia menaruh uang dua ratus lima puluh ribu rupiah di kelilingi oleh anak dan isterinya, seperti sedang membuat ritual tertentu.
“ Akan kita apakan uang ini?” tanya Bang Samin
“ Buat biaya sekolah saya,Pak.” Anaknya menjawab heran.
“ Tapi besok kita puasa. Sudah tidak ada lagi warung yang memberi hutangan.” Istrinya berkata sambil berusaha membendung air mata yang akan keluar.
“ Kalau uang ini kita gunakan buat yang lain, kartu ini akan dicabut.” Anaknya menirukan ancaman Gubernur Jokowi yang berpidato di sekolahnya.
“ Kamu bisa sekolah dengan perut lapar? “ tanya bang Samin.
Tidak ada yang menjawab. Mereka memandang uang itu dengan perasaan masing-masing.
3 Des. 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H