Mohon tunggu...
Balya Nur
Balya Nur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Yang penting masih bisa nulis

yang penting menulis, menulis,menulis. balyanurmd.wordpress.com ceritamargadewa.wordpress.com bbetawi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aduh…Aduh…Bang Kodir

7 Maret 2012   03:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:25 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1331090622343114902

[caption id="attachment_175267" align="alignleft" width="124" caption="Ill.Don Yon,tabloidIdola"][/caption] Seharusnya keluarga bang Kodir patut gembira. Bagaimana tidak? Anak perawan bang Kodir satu-satunya yang bernama Mawarnih sebentar lagi mau dilamar oleh anak pengusaha bahan bangunan. Zakaria, namanya, sudah dua tahun pacaran sama anaknya bang Kodir.

Mawarnih memang di kampung itu dikenal sebagai kembang dari segala kembang. Hidungnya mancung kaya ikan cucut. Kalau tersenyum pipinya legok kaya ditusuk jarum. Rambutnya ikal mayang kaya kue putu bulan puasa. Pendeknya, perjaka yang beruntung mendapat senyuman Mawarnih tidak bisa tidurtiga belas malam.

Orang-orang bilang, Mawarnih nurunin ibunya. Ibunya bininya Bang Kodir, dulu juga termasuk kembang yang harumnya seantero kampung. Padahal Bang Kodirtermasuk perjaka biasa-biasa saja. Ya….namanya jodoh walaupun 86 perjaka yang ganteng-ganteng antri deketin ibunya Mawarnih, putus semua sama Bang Kodir. Dari beberapa sumber yang kurang dapat dipercaya, Bang Kodir pakai ilmu pelet.

Sekarang kita kembali ke pokok persoalan. Kenapa keluarga Bang Kodir blingsatan kaya kucing ketulangan? Mungkin pembaca menyangka Bang Kodir kekurangan uang. Wah, kalau perkara uang, Bang Kodir sudah siap. Uang tabungan yang ditabung di bubungan sudah sampai luber. Apa lagi anak perawannya yang dilamar, jadi lebih ringan. Habis apa dong?

Bermula dari pembicaraan empat mata antara Zakaria dengan ibunya Mawarnih. Saya kutip pembicaraan yang penting-penting saja.

“begini, bu,” kata Zakaria sambil meremas-remas jarinya

“Sebelum orang tua saya melamar, beliau akan mengutus tim pencari fakta. Ya…sekitar dua-tiga orang.”

“Apa? Tim pencari fakta? Memangnya keluarga saya bikin kerusuhan?” rupanya ibunya Mawanih getol mendengarkan dunia dalam berita.

“Jangan marah dulu, Bu. Orang tua saya memang rada-rada susah. Dia ingin tahu persis seperti apa sih calon mantu dan besannya.”

“Memangnya anak saya kenapa?”

“Bukan begitu, Bu. Soalnya orang tua saya dengar dari orang-orang……..” Zakaria agak ragu buat meneruskan kata-katanya.

“Zakaria, kalau bicara itu yang bener. Jangan kaya orang demam begitu.” Ibunya Mawanih tidak sabar melihat sikap calon mantunya.

“Begini. Jangan marah, ya Bu?”

“Kalau nak Zakaria terus-terusan begitu, Ibu bisa marah.”

“Maaf, Bu. Habis persoalan ini rasanya berat buat diucapkan. Tapi saya nekad deh. Begini, Bu. Orang-orang bilang,Bang Kodir kalau buang air besar katanya di empang? Betul, Bu?”

Ibunya Mawanih tidak dapat menahan ketawanya.

“Eh, Zakaria. Bapaknya Mawanih memang kalau buang air besar di empang. Lalu apa hubungannya dengan lamaran?”

“Seperti saya bilang tadi, orang tua saya ini rada-rada susah. Sekarang ini kan sudah bukan jamannya lagi orang buang air besar di empang. Apalagi menurut orang-orang itu, dan saya sendiri juga tahu, di rumah ini kan ada WC-nya?”

“Memangnya selama ini nak Zakaria tidak tahu kalau Bapaknya Mawanih buang air besar di empang?”

“Ya saya tahu sih Bapak sering ke kempang. Tapi saya pikir paling-paling mau nge;ihat ikan guramenya. Lagian buat apa saya menyelidiki sampai di situ. Kurang sopan.”

“Jadi tim pencari fakta nanti akan menyelidiki Bapaknya Mawanih buang air besar?”

“begitulah, Bu. Ah, saya jadi malu”

Setelah berunding, akhirnya Ibunya Mawanih ambil keputusan. “Baiklah. Ibu akan coba-coba bilang sama Bang Kodir. Nanti Ibu cari saat yang tepat.”

Memang, sejak Bang Kodir masih kecil dulu, dia selalu buang air besar di empang Bapaknya yang sekarang diwariskan buat dia. Waktu itu memang di rumahnya belum ada WC. Nah, setelah anaknya menuntut dibuatkan WC, kebiasaan bang Kodir tidak juga berubah. Pernah istrinya minta agar Bang Kodir mencoba buang air besar di WC, tapi Bang Kodir tidak bisa. “susah keluarnya,” katanya. Akhirnya istrinya memaklumi. Jarak antara rumah Bang Kodir dan empang miliknya kira-kira dua ratus meter.

Setelah ditemukan saat yang dianggap tepat oleh ibunya Mawanih, maka dia coba-coba bilang pada suaminya perihal permintaan calon mantunya. Setelah mendengar penuturan dari istrinya, Bang Kodir lompat dari tempat duduknya.

“Kurang ajar bener tuh anak. Tapi……apa bener dia bilang begitu? Jangan-jangan….elu nih yang ngarang-ngarang.”

“Ye….sumpah deh,bang.”

“Begini saja deh. Kalau nanti tim pencari fakta itu datang…..elu bilangin gue. Ude deh gue ‘nggak mau denger lagi tuh omongan. Enek perut gue dengernya.”

Singkat cerita, tim pencari fakta itu datang bersama Zakaria. Bang Kodir datang menyambut.

“Apa kabar nih?” Tanya Bang Kodir basa-basi.

“Baik-baik saja, Bang.” Jawab mereka serempak.

“Temannya Zakaria, ya?”

“Iya, Bang,”

“Ikut saya sebentar, yuk,” ajak Bang Kodir.

“Kemana, Bang?”

“Ayo, deh…..”

Zakaria dan ketiga orang itu ikut Bang Kodir. Di kepala mereka penuh dengan tanda tanya. Mau diajak kemana? Tibalah mereka di empang. Lalu bang Kodir masuk ke kakus yang terbuat dari bambu dan seng.

“Nah, katanya elu mau lihat gue buang air. Lihat deh situ biar puas,” kata Bang Kodir sambil jongkok.

Tentu saja keempat orang itu melongo. Tanpa dikomandoi lagi, keempatnya pergi satu-satu. Saking malunya, salah seorang dari mereka hampir jatuh ke empang.

Sejak itu hubugan dua calon besan itu menjadi panas. Orang tuanya Zakaria memutuskan untuk tidak jadi melamar Mawanih. Tentu saja yang menjadi korban sepasang calon pengantin itu. Mawanih tidak mau makan. Mogok makan istilahnya. Zakaria tidak mau keluar dari kamarnya.

Supaya cerita ini tidak berlarut-larut, dan kalau diceritakan pertentangan kedua calon besan itu rasanya tidak cukup untuk halaman yang terbatas ini. Lagipula menceritakan pertentangan bukan mustahil akan menimbulkan pro dan kontra. Dan itu tidak baik buat stabilitas kampung.

Jadi kita ambil gampangnya saja, seperti akhir cerita film nasional. Orang tua Zakaria sadar atas kekeliruannya mencampuri urusan – maaf – pantat orang lain. Bang Kodir juga sudah mulai latihan buang air di WC. Atas ketekunannya latihan, akhirnya dia berhasil. Sekarang sudah bisa buang air besar di WC dalam rumahnya. Jadi deh Zakaria dan Mawanih digambrengin. Tamat deh. Siiip kan?

Dimuat di Tabloid IDOLA,13 Mei 1991

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun