Mohon tunggu...
Balya Nur
Balya Nur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Yang penting masih bisa nulis

yang penting menulis, menulis,menulis. balyanurmd.wordpress.com ceritamargadewa.wordpress.com bbetawi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sakralisasi Infrastruktur

8 Oktober 2018   07:42 Diperbarui: 8 Oktober 2018   07:44 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 Infrastruktur sekarang menjadi barang sakral. Salah ngomong  sedikit  saja bisa berurusan dengan hukum. Kasus "mudik seperti neraka" ala  Ketua Bidang Advokasi dan Hukum DPP Gerindra Habiburokhman bukan hanya  menyebabkan dia dialporkan ke polisi dengan tuduhan telah melakukan  kebohongan publik, tapi juga menuai hujan hujatan yang membasahi sekujur  tubuhnya.

 Salah ngomong soal infrastruktur juga bisa membuat  menahan gondok karena diledek saat masuk jalan tol. Dianggap seolah  sebagai warganegara asing yang sedang menikmati hasil karya warga  pribumi. Kesan itu semakin mengental saat sekelompok politisi menganggap  pembangunan infrastruktur akan mandek jika presiden berganti. 

  Sakralisasi infrastruktur sama dengan politisasi infrastruktur. Padahal  infrastruktur dari berbagai jenisnya hal yang wajar saja. Tugas rutin  siapa pun presidennya. Sama dengan kerja rutin Pak RT yang mengajak  warganya kerja bakti. Siapa pun ketua RT-nya, kerja bakti tetap  berjalan. Begitu juga tugas rutin pemerintah menangani bencana, sama  dengan tugas rutin Pak RT yang mengajak warga membantu warganya yang  sedang ditimpa musibah. Siapa pun RT-nya.

 Hal yang membedakan  adalah gaya. Kalau dulu ada presiden yang berkantor dekat dengan daerah  bencana, sekarang konon katanya ada yang tidur di tenda pengungsian  bersama korban bencana. 

 Kalau ada yang bilang, " Kubu sana  keterlaluan. Di tengah suasana duka karena bencana, kok malah menebar  kebohongan."  Ucapan itu bisa dipahami sebagai bentuk keprihatinan. Tapi  kalau ada yang bilang, " Selagi Capres yang ini sibuk menangani  bencana, capres yang itu menebar kebohongan publik. "  Ucapan itu bisa  dipastikan politisasi bencana.

 Para ahli infrastruktur membagi  infrastruktur menjadi tiga jenis. Infrastruktur keras, yakni  infrastruktur fisik semisal infrastruktur transportasi. Infrastruktur  keras non fisik. Ini jenis infrastruktur yang ghaib seperti angin. Tidak  kelihatan tapi bisa dirasakan semisal, gas, telekomunikasi, listrik,  juga yang kelihatan semisal air bersih, BBM, dan lainnya. Infrastruktur  lunak semisal kantor pemerintahan, kantor polisi, jaksa,hakim, kantor  pos, pokoknya yang berhubungan dengan pelayanan masyarakat.

  Berarti infrastruktur adalah kebutuhan dasar manusia sebagai mahluk  sosial. Zoon politiconnya Aristoteles itu sekilas nampak kasar. Masa  manusia disebut hewan yang bermasyarakat. Padahal maksudnya,  sekeji-kejinya manusia tetap saja lebih mulia dari hewan. Yang  membedakan manusia dengan hewan, hewan nggak membutuhkan infrastruktur,  dia cuma butuh habitat. Karena manusia bermasyarakat, maka manusia butuh  infrastruktur.

 Maka tidak heran boss penjajah, Herman Willem  Daendels yang dikenal kejam pada pribumi juga bikin infrastrukur.  Sekejam-kejamnya Deandels, dia tidak tega memaksa pasukannya dan kaum  pribumi memanggul berkarung hasil bumi yang dijarah, harus berjalan  puluhan atau ratusan kilometer melewati hutan, gunung, sungai, lembah.  Maka dia bikin infrastruktur.

 Boss penjajah lain, Gubernur  Jenderal L.A.J Baron Sloet Van Den Beele. Ketika dia niat bikin jalan  kereta api pertama di Semarang, diam-diam dinyinyirin koleganya. Bikin  jalan kereta di negara jajahan apa untungnya? Kalau toh balik modal  bakalan lama. Tapi mister Baron membuktikan, jalan kereta apai lebih  banyak manfaatnya ketimbang mudharatnya, jalan kereta api pun bertambah  panjang.

 Inti tulisan ngalor ngidul ini begini.Infrastruktur bagi  pemerintah siapa pun yang berkuasa, ibarat kewajiban yang melekat.  Tidak ada yang perlu dibanggakan. Pemerintah yang membangun  infrastruktur bukan sebagai tanda pemerintah telah bekerja memenuhi  janji kampanyenya, tapi cuma sekedar menggugurkan kewajiban. Terserah,  Ente setuju atau nggak setuju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun