Kalau misalnya saya jadi orang kaya, saya ngebayangin apakah saya  masih bisa hidup tenang seperti ini? Untuk menjaga harta saya memerlukan  beberapa jasa keamanan di dalam rumah, di luar rumah. Untuk merawat  aset, saya memerlukan beberapa tenaga ahli. Beberapa pembantu di rumah.  Nggak apalah, anggap saja saya mengurangi pengangguran. Lagian sirik  aje, duit-duit gue. Suka-suka gue lah. Cuma satu hal yang tidak bisa  saya beli, ketenangan lahir batin.
 Kalau misalnya saya berkuasa  di negeri ini, ketenangan itu lebih mahal lagi harganya. Penguasa kan  bukan orang kaya. Cuma dipercaya mengelola keuangan negara. Ketenangan  cuma bisa didapatkan kalau saya bekerja dengan baik. Itu saja.Ketenangan  akan datang dengan sendirinya. Menjadi orang baik bukan berarti tidak  punya musuh sama sekali.
 Ketulusan dan keihlasan dalam bekerja  bisa membuat saya lebih tenang. Saya tidak akan takut kehilangan  jabatan.Bisa tidur lebih nyenak, nikmat yang tiada tara bagi seorang  penguasa.
 Bekerja dengan baik, tulus, ikhlas akan menghasilkan  elektabilitas tanpa rekayasa. Kalau elektabilitas saya meroket saya  tidak akan sombong, kalau menukik juga tidak akan membuat saya panik dan  menghalalkan segala cara. Itu yang namanya hidup sederhana. Walaupun  banyak duit,  selera berpakaian dan selera menu makanan saya di atas  rata-rata, bukan itu ukuran kesederhanaan
 Ngapain mikirin  elektabilitas. Kalau bekerja dengan baik elektabilitas akan mengikuti  dengan sendirinya.Kalau Tuhan menghendaki saya akan kembali menjadi  penguasa pada priode berikutnya. Kalau nggak ya nggak apa-apa, yang  penting bisa tidur dengan nyenyak.
 Kalau mikirin elektabilitas  mah nggak ada habisnya, nggak ada puasnya. Saya membanggakan  elektabilitas tinggi, tapi saya ketakutan akan merosot mendadak, karena  saya tahu itu cuma hasil rekayasa. Maka untuk menjaganya saya bahkan  harus membagi antara tugas saya dengan tugas memelihara elektablitas.  Saya akan menambah staff saya, dan terus bertambah agar elektabilitas  saya tetap berada di tangga pertama. Itu saja tidak cukup, saya akan  memanggil tukang survey untuk menjadi konsultan untuk melaporkan  perkembangan survey setiap detik. Artinya, pemborosan uang negara. Apa  enaknya hidup kaya gitu?
 Tentu saja saya akan menjadi bahan  olok-olokan karena pontang-ponting memelihara elektabilitas. Olok-olok  adalah musuh elektabilitas. Tentu akan ada langkah berikutnya. Saya akan  memerlukan sejumlah advokat buat melawan olok-olok. Karena negara ini  sangat luas, bukan hanya dibutuhkan tiga atau empat advokat, harus ada  cabang di sejumlah  daerah. Berapa duit yang harus saya anggarkan?
 Saya bisa saja membanggakan dengan mengatakan, " Lihat! Sekarang tidak  ada lagi yang mengolok-olok saya. Berarti rakyat sudah sadar saya  sebenarnya orang baik. Cuma dulu mereka nggak tahu saja. " Padahal dalam  hati saya tahu, rakyat nggak berani bersuara. Apa enaknya hidup kaya  gitu?
 Saya bisa saja dengan bangga memamerkan elektabilitas. Tapi  saya juga tahu pasti banyak yang mengolok-olok dalam hati, " Kalau  elektabilitas setinggi itu, kenapa panik dengan  menambah staff ini itu,  membentengi diri dengan sejumlah advokat?"  Olok-olok dalam hati lebih  menyakitkan ketimbang disuarakan. Susah pula membungkamnya.  Karena  tidak ada  tenaga ahli yang mengurusi membungkam  suara-suara dalam  hati. Kalau ada, saya tidak akan ragu membayar mahal. Apa enaknya hidup  kaya gitu?
 Kalau sudah pontang-panting kaya gitu masih kalah  juga, tentu akan sangat menyakitkan. Sakitnya tuh di sekujur tubuh,  seperti tersayat-sayat sembilu. Kalau menang, akan semakin banyak orang  yang saya santuni karena jasanya.  Apa enaknya hidup kaya gitu?
 Sudahlah, mending nggak usah berhayal. Apa enaknya menghayal? Mending kaya gini saja. Â