“ Aku bunuh diri maka aku ada ! “ kalimat terakhir itu diucapkan oleh tokoh utama dalam drama “Bulan Bujur Sangkar “ karya Iwan Simatupang. Setelah mengucapkan itu, tokoh utama menggantung diri.
Tentu saja bukan Iwan Simatupang mengajarkan bunuh diri agar kita diangap ada, tapi itu filasafat yang agak rumit untuk dijelaskan. Ada yang lebih mudah dipahami, pembebasan Satinah sang pembunuh agak tepat juga jika prinsip “aku membunuh maka aku ada” diterapkan padanya. Tiba-tiba Satinah seperti menjadi pahlawan setelah Satinah mengakui telah membunuh majikannya. Pembunuh yang telah jujur mengakui perbuatannya mendadak seperti warga negara Indonesia yang dizolimi di negara tempatnya bekerja. Berdasarkan fakta yang saya baca, Satinah membunuh bukan karena membela diri. Membela harta dan kehormatan dalam hukum Islam sangat dianjurkan. Tidak mungkin pembelaan diri dijatuhi hukuman mati.
Pemerintah rela mengeluarkan uang diyat 21 Milyar, yang tak lebih dan tak kurang uang kita juga. Tentu saja pemerintah hanya mengikuti suara para pembela Satinah baik LSM, maupun perorangan dari berbagai profesi agar uang kita yang jumlahnya luar biasa banyak itu untuk menebus jiwa sang pembunuh itu.
Bagaimana nasib dengan keluarga korban pembunuhan di Indonesia? Jangankan mendapatkan perhatian, untuk mendapatkan keadilan saja hal yang mustahil, maka tidak heran jika dalam sejumlah kasus pembunuhan, keluarga korban mengamuk di pengadilan. Padahal jaksa, hakim hanya menjalankan peraturan hukum yang berlaku di negeri ini yang dianggap lebih baik dari hukum Tuhan seperti yang diterapkan di Arab Saudi.
Kapan ya ekssekutif, legislatif mulai berpifikir untuk berpihak pada keluarga korban pembunuhan, tidak mesti menerapkan syariat Islam, bisa dalam bentuk lain. Kalau kita melihat Dani Ahmad menyantuni keluarga korban akibat perbuatan anaknya, itu cuma kebijakanDani Ahmad, walaupun secara hukum dia tidak wajib menyantuni keluarga korban.
Enak mana ya? Jadi korban pembunuhan, atau jadi pembunuh seperti Satinah itu? Mudah-mudahn Satinah tidak jadi emas perhiasan berjalan seperti pendahulunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H