Pada gang sunyi ditepi jalan yang sepi aku mau ceritakan sesuatu kepadamu bahwa kini aku masih tetap seperti yang dulu menginginkan matahari itu tetap cerah apa adanya. Bukan hirauan apalagi cacian namun itu sebuah harapan akan cerahnya masa yang akan datang. Tapi kenapa kau selalu mencibir aku dengan manisnya kulit bratawali. Aku akan selalu mengingat apa yang kau inginkan, apa yang dulu kita janjikan bersama saat kau dan aku memohon pada yang dikatakan orang-orang sebagai raja diraja semesta alam
Masihkah kau percaya bahwa Budi kini sekolah bukan dengan berfikir bagaimana ia pandai namun ia berfikir bagaimana ia dapat makan untuk masa datang setelah ia lulus dari institute yang ia idam-idamkan.Tapi entah kenapa peredaran nasib tak memihak akan asanya ia kini hanya bisa menatap institusi yang dia idam-idamkan bukan karena ia tak mampu dalam tes ujian yang ditawarkan oleh institusi itu, namun terlebih karena dana institusi yang terlalu mahal yang ditawarkan kepada Budi. Kini budi hanya bisa mengais-ngais nasibnya lewat nasib yang ia andalkan, berbekal ijazah SMAnya ia mengharap semoga ada perusahaan yang berkehendak tuk meminangnya. Tapi kini perusahaan-perusahaan itu menginginkan pekerja yang telah berpengalaman atau sudah mempunyai skill yang dibutuhkan oleh perusahaan. Belum lagi dengan kontrak yang menginginkan dengan sekian kesepakatan yang harus diterimanya.
Kini budi tertidur pulas di serambi masjid yang terletak dipojokkan kota , bukan alang kepalang nasibnya kini betul suatau kehampaan barang bawaannya tersita oleh para pencopet yang juga menginginkan sesuap nasi, atau jangan-jangan pencopet itu juga korban sistem negri ini. Budi pun bangun dari lelapnyanya ia tatap sekitarnya dan ternyata bekalnya telah habis dimakan belatung-belatung yang menginginkan sisa-sisa orang yang membutuhkan. Ia hanya bisa mengumpat dan mengharap keajaiban datang. Dan lagi-lagi Tuhan kini tak membela yang benar namun Tuhan kini telah membela yang menang, bukankah manusia telah menulisnya dengan “T”besarnya lantas apa yang sebenarnya yang diminta oleh Tuhan. Sudahlah kini budi tak lagi menedengarkan suara-suara itu kini Budi berjalan menyusuri trotoar dengan menatap kebawah semoga ada uang yang jatuh, uang dari orang yang kelupaan akan pajaknya tuk sekedar makan. Tapi benar sial bukan kepalang bahkan uang makanan sisa pun tak ada mungkin telah kedahuluan oleh belatung-belatung itu. Budi terduduk lesu dengan menikmati laju jalanan raya yang semakin bising.”inikah dunia globalisasi” suatu dunia tanpa sekat, suatu dunia yang penuh kopetensi untuki mendapatkan legitimasi sosial. “inikah dunia hura-hura” suatu dunia dimana aku dan kamu merasakan manisnya gula hanya pada lidah. Ataukah “ inikah dunia gila” suatu dunia yang penuh cacian dan metafisika bahasa yang membenar salahkan segala sesuatu.
Tidak ada pilihan kini Budi harus menjual suaranya dijalanan, mengais perak demi perak untuk persiapan makan nanti sore karena jatah siang ini belum ada. Dengan sedikit serabutan dan ala kadarnya pejual suara ia hinggap dari mobil satu menuju mobil satunya lagi. Dan bukan suatu keberuntungan kini menimpa Budi karena para pemungut pajak jalanan menghampiri dan menanyainya “tolong kami beri uang yang kamu punya karena kamu telah melewati area kami”. Dan lagi lagi para belatung itu meminta jatahnya pada Budi. Kini budi terduduk lunglai tapi ia gagap sakunya wah ternyata ada uang sedikit mungkin ini keburuntanga yang datang, budi pun dapat makan hari ini hanya dengan sebatang roti dan segelas air mineral.
Malam menghampiri Budi ia terpaksa mencari tempat tuk sekedar memejamkan matanya dan ia bertemu dengan kolong jembatan yang menjajikan tuk dapat berteduh dari angin malam dan titik-titik air hujan Budi rebahkan tubuhnya dan berharap semoga hari esok akan lebih baik dari hari yang telah berlalu, hari yang telah membawanya pada dunia realita jalanan, dunia yang mengatakan bahwa orang tak selamanya mengecap manisnya sirup atau sipiring nasi dengan penuh lauk pauknya. Kini malam menemani Budi menemani seisi jagat yang menikmatinya, malam telah menerimanya malam yang telah menghamparkan harapan menjadi tantangan pada trotoar, masjid selokan atau hotel-hotel yang berjajar dengan megahnya pada selipan para jutawan. Malam adalah dewi penerima segala hal tanpa memendang ia seorang jendral, pejabat, pengusaha bahkan belatung-belatung yang mengharap keberuntungan. Namun pada kesenyapan malam itu Budi terbangun oleh suara tangis anak kecil Budi pun mencari sumber suara itu dan ternyata tak jauh dari pembaringanya masih sama dikolong jembatan. Terlihat seorang ibu dan anak kecil yang sedang menangis, Budi dengarkan tangis itu pelan namun pasti pada sela tangisnya terdengar rintihan “bu saya lapar” itu saja tidak ada yang lain dan sang ibu pun hanya menjawab “nak tidurlah dulu, besok kita pasti dapat makanan”. Namun anak itu tetap mengangis terus…..terus sampai terdengar pelan dan seyap mungkin anak itu telah kehabisan tenaga untuk menghempaskan keberlimpahan perutnya. Aku hanya bisa menatapnya dan itu mungkin yang bisa aku lakukan sekedar menatap dan mengumpat pada malam ini, pada siang tadi dan yang pasti pada kejamnya angin jalanan. Si Budi masih mengumpat sampai pada batas umpatanya yang lelah dengan bahasa yang kelam. Kini kolong jembatan itu senyap ditelan oleh kebengisan-kebengisan yang lalu.
Pagi menghampiri kolong jembatan itu bahkan telah mengetuk pintu-pintu pertokoan yang telah antri mengharap pelanggan datang. Budi bangun ia tatap isi kolong jembatan ternyata telah sunyi tak ada satupun penghuni-penghuninya digantikan lolongan jalanan yang padat oleh kendaraan. Aku berdiri dan mencoba mengulangi pekerjaan kemarin yang telah memperpanjang umurnya walau hanya semalam. Ia berjalan untuk mencari lokasi baru yang sepi dari belatung-belatung yang kasar. Kini ia sampai pada perempatan jalan yang sedikit para pengemis dan penjual suara. Ia mencoba satu percobaan Budi belum dapat keberuntungan ia terus mencoba terus….sampai matahari tepat pada ubun-ubunya, ia berhenti sejenak tuk memperpanjang nafasnya dan suaranya yang hampir habis karena telah dijual kepad penghuni ribuan mobil yang berselang-seling lewat. Ia usap mukanya yang telah merah padam bertempur dengan panas. Kini Budi berdiri dan melanjutkan penjualanya sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit itu mungkin filosofi yang digunakanya, bahkan telah digunakan oleh para penghuni jalanan yang ada.Sampai senja merekah kini budi telah mengumpulkan uang tuk makan hari ini. Ia berjalan mencari penjual makanan yang murah bahkan kalau bisa yang paling murah tapi dapat mengenyangkan perut mungkin ini rumus ekonomi para penghuni jalanan selama ini. Ia temukan warung kecil yang menyediakan makanan dan minuman ia memesan dengan kadar yang ia kira ia dapat oleh uang sakunya yang ia dapat dari berjualan tadi. Benar hari ini adalah hari baik bagi perut budi karena telah lebih kenyang dari pada hari kemarin. Budi membanyar dengan uangnya dan ternyata lebih ya…lebih seribu perak. Ini mungkin waktunya untuk menabung tuk hari esok ujarnya. Kini Budi berjalan menikmati jalanan yang berlalu lalang para kendaraan, ya kini Budi dapat menikmati lalu lalang jalan itu karea sang perut sedikit lebih kenyang. Ia sejenak duduk di samping jembatan yang telah menaunginya tadi malam. Namun Budi tak mengira teryata ada mata yang mengintipnya mata itu semakin mendekat dan ia hampiri Budi. “maaf bung hari ini kamu belum menyetorkan jatah kepada kami” wah ternyata belatung-belatung kemarin yang tak sadari oleh Budi mengamatinya dari kemarin. Namun kini budi tak tinggal diam ia sedikit memberanikan diri tuk melawanya “maaf , sepertinya jalanan ini bukan milik kalian kenapa saya harus memberikan jatah uang kepada kalian”. Dan ternyata para belatung itu merasa diremehkan oleh pendatang baru pada gelenggang percaturan para penghuni jalanan dan ia mengatakan “bung kalau kamu masih menginginkan hidup cepat serahkan jatah hari ini” namun budi tetap menolaknya dan bukan ucapan yang datang pada Budi namun hantaman pada muka dan badanya dan kini terjadi duel yang tidak seimbang antara satu seorang Budi melawan tiga belatung-belatung itu. Namun Budi tetap mencoba bertahan namun tenaga tak membantunya kini sang belatung itu menghantamkan pisau belati tepat pada dadanya. Bukan seperti pada senotron-sentron yang ditayangkan TV yang selalu datang sang pahlawan saat sang pelaku utama terdesak. Dan kini budi tersungkur lesu dengan mengharap bantuan datang padanya, namun bantuan tak ada yang menjemputnya namun malaikat itu….ya malaikat yang dikatakan orang sebagai malaikat pencabut yawa menghampiri budi. Dan….sudah menjadi sekenario hidup Budi kini Budi tersungkur lemas tanpa yawa, tanpa harapan adanya. Dan berkerumunlah orang-orang melihatnya. Pada mayat Budi terdengar rintihan Ibu ada yang perlu ku katakan kepadamu, tentang tangis dua puluh lima tahun silam, tentang wejangan-wejanganmu dan cita-citamu akan hidupku.Ibu aku ingin mengaduh padamu namun aku tak kuasa melukai perasaanmu, aku ingin menangis di pangkuanmu namun cukup tangismu mewakiliku.Bu…tersenyumlah untukku agar diri ini ikhlas memandangmu.Bu makanlah dengan tenag tanpa harus menghawatirkanku. Bu……..pada batas peraduanku aku hanya ingin katakan maafkanlah anakmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H