Mohon tunggu...
Balqis Tatashela
Balqis Tatashela Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Seorang mahasiswa fakultas hukum yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pro Kontra Penerapan Hukuman Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual

19 Mei 2024   23:16 Diperbarui: 19 Mei 2024   23:40 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kejahatan seksual merupakan kejahatan serius yang dapat menyebabkan trauma jangka panjang pada korban. Dalam banyak kasus, korban mengalami trauma secara fisik dan psikologis yang mendalam dan berkepanjangan sehingga memengaruhi kualitas mental dan hidup mereka secara keseluruhan. Kejahatan seksual tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga pada anak-anak. Berdasarkan data yang diperoleh dari Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat 3.547 aduan kasus kekerasan terhadap anak yang diterima sepanjang tahun 2023 dengan kasus kekerasan seksual menepati urutan tertinggi, yaitu sebanyak 1.915 kasus. Tren ini mengalami kenaikan sebesar 30% dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun angka ini hanya merupakan puncak gunung es dari banyaknya kasus kekerasan seksual pada anak di Indonesia. Data tersebut hanya menunjukkan jumlah kasus kekerasan yang dilaporkan dan tidak merepresentasikan jumlah kasus yang terjadi secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan adanya urgensi untuk mengimplementasikan upaya preventif dan represif yang lebih efektif dalam penanganan kasus kekerasan seksual.

Salah satu upaya negara dalam menindaklanjuti maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia adalah dengan diundangkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Perpu Nomor 1 ini kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016. Perpu tersebut mengatur tentang pemberatan terhadap hukuman pelaku kejahatan seksual, khususnya terhadap anak. Salah satu pemberatan yang diatur dalam peraturan tersebut adalah mengenai penerapan kebiri kimia yang menimbulkan banyak kontroversi. Kebiri kimia dianggap sebagai langkah yang efektif untuk memberikan efek jera sekaligus sebagai upaya rehabilitasi untuk menekan hasrat seksual pada pelaku. Akan tetapi, di sisi lain, sebagian pihak menganggap bahwa kebiri kimia merupakan hukuman yang tidak manusiawi dan tidak sepatutnya diimplementasikan. Baik kubu pro maupun kontra, keduanya mendasari argumen mereka atas dasar hak asasi manusia.

Hak asasi manusia merupakan hak universal yang dijamin dan diakui keberadaannya baik oleh hukum nasional maupun internasional. Dalam konstitusi, hak asasi manusia diatur pada Pasal 28A hingga Pasal 28J UUD 1945. Pengakuan negara terhadap hak asasi manusia juga termaktub dalam sila kedua Pancasila, yaitu "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948 melalui Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang tersebut, hak asasi manusia didefinisikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Atas dasar hal tersebut, negara wajib menjamin perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia termasuk dalam hal penanganan kasus kekerasan seksual.

Kasus kekerasan seksual dianggap memerlukan penanganan serius mengingat dampak yang ditimbulkan dapat mengakibatkan efek jangka panjang bagi korbannya. Dalam beberapa kasus, korban terpaksa harus mengandung dan melahirkan anak yang diakibatkan oleh kekerasan seksual yang dialaminya. Hal ini tentunya dapat memperberat trauma yang dialami korban terlebih sebagian dari korban kekerasan seksual merupakan anak di bawah umur. Pada kasus ekstrem, korban tidak hanya mengalami trauma psikologis, tetapi juga trauma fisik yang mengakibatkan korban mengalami cacat permanen. Dengan berkaca pada situasi tersebut, hukuman yang diberikan pada pelaku kekerasan seksual dinilai tidak sebanding dengan penderitaan yang dialami korban di mana pelaku dapat sepenuhnya bebas setelah menjalani hukuman sementara korban terus menanggung trauma seumur hidupnya. Dengan demikian, pemberatan pada pelaku kekerasan seksual dianggap perlu untuk dilakukan sebagai wujud keadilan dan perlindungan hak asasi bagi korban kekerasan seksual.

Sementara itu, kelompok yang menentang diimplementasikannya hukuman kebiri berfokus pada hak asasi manusia yang dimiliki oleh pelaku. Kelompok ini beranggapan bahwa penerapan hukuman kebiri bertentangan dengan hak asasi manusia dan bukan langkah yang tepat untuk dilakukan. Dasar argumen kelompok pro yang menyatakan bahwa hukuman kebiri dapat menjadi upaya rehabilitatif untuk menurunkan hasrat seksual pelaku dinilai tidak memiliki bukti ilmiah. Pemikiran ini didasari dengan mempertimbangkan adanya faktor-faktor lain yang memengaruhi dorongan seksual seseorang sehingga penerapan hukuman kebiri dianggap tidak akan efektif dalam mengontrol hasrat seksual. Di sisi lain, penerapan kebiri kimia dapat memberikan efek samping jangka panjang, seperti terganggunya fungsi organ reproduksi dan osteoporosis. Oleh karena itu, kelompok ini menentang penerapan hukuman kebiri kimia dan menuntut penerapan hukuman yang lebih manusiawi dan efektif untuk merehabilitasi pelaku kekerasan seksual.

Perdebatan mengenai penerapan hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual akan terus menuai pro dan kontra. Dengan melihat berbagai sudut pandang yang saling berseberangan, jelas bahwa topik ini memerlukan diskusi dan penelitian yang lebih mendalam dan menyeluruh. Perlu adanya pengkajian yang mengkaji secara komprehensif mengenai efektivitas penerapan hukuman kebiri dalam menurunkan angka kekerasan seksual serta memberikan efek jera. Selain itu, perlu dilakukan pendekatan holistik yang mencakup upaya pencegahan, penegakan hukum yang adil, dan rehabilitasi yang efektif untuk menangani kasus kekerasan seksual.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun