3
Seusai makan malam, ayah langsung mengantar aku kerumah Hanni, berjalan kaki tentunya, perjalanan menuju rumah Hanni sekitar 1 Km menurut kami itu tidak jauh, karena sudah terbiasa mungkin.
Sesampainya dirumah Hanni, ayah langsung pulang, aku tidak tahu mengapa hari ini ayah terliihat sangat muram, bahkan saat makan malam tadi tidak biasanya ayah diam tidak berbicara sedikitpun, “hati-hati ya yaah, Nabila nanti pulang dengan Hanni, biasa mau mengaji, hehe” aku berbicara seadanya, dengan ledekan kecil semoga saja aku mendapatkan senyum ayah, yaa ternyata betul ayah mengangguk dan tersenyum lalu melambaikan tanganya sambil berjalan pulang.
Ayah sudah berjalan agak jauh, aku ketuk pintu kayu itu “assalamu’alaikum, assalamu’alaikum” salamku, terdengar dari dalam suara Hanni yang menjawab salamku, pintu pun dibuka, Hanni mempersilahkan aku masuk, sambil berjalan masuk Hanni memanggil simak dengan agak berteriak.
Kulihat simak membawa 3 cangkir minuman, biar aku tebak isi minuman itu adalah the yang rasanya pahit sedikit manis, itu memang minuman kesukananya.
“Alah mak.. ini die anak simak yang paling cantik ? sehat kah ?” katanya memulai bertanya, biar aku jelaskan terlebih dulu, simak adalah mantan TKW dulu ia bekerja menjadi TKW di Malaysia selama 18 tahun lamanya, jadi logat melayunya itu kental bak susu cair tanpa air.
Tanpa basa-basi aku langsung menjawab pertanyaanya, dengan logat melayu tentunya, “iya mak, allhamdulillah.. Nabil sehat. Kalau simak ? alaaah, simak inikan selalu sehat, betul ?”.
“Betul, betul, betul” jawab simak, mendengar jawaban simak, serentak suasana hening, 1,2,3 ! gelak tawa langsung memenuhi ruanagan, yaa.. akhir hari ini, kami habiskan dengan secangkir teh dan candaan-candaan, salah satu hari yang indah gumamku dalam hati.
Hari makin malam, akupun sudah melaksanakan sholat isya dirumah Hanni, kini giliran aku untuk pulang, Hanni mengantarku untuk pulang, niatnya malam ini aku dan Hanni akan mengaji, ini juga hari pertama aku mengaji setelah sekian lama tidak mengaji.
Setiba dirumah, dendangan jangkrik langsung mengantarku menuju kamar, hari sudah malam tapi rumahku gelap gulita, padahal sebelum aku meningalakan rumah, lampu sudah menyala, apa ada kerusakan dengan listrik dirumah.
“bu ? kenapa gelap sekali ? ada lilin tidak ?” aku bertanya dengan sedikit berteriak sembari mengobrak abrik kamar mencari lilin. Sambil menghampiriku, ibu menyalakan teplok atau yang biasa kami sebut sentir, dan berkata “ lilinya habis nak.. Ayah dan ibu tak punya uang sepeserpun, listrik rumah kita dipadamkan, sudah 4 bulan lamanya kita tidak membayar listrik, sabar yaa nak.. pakai seadanya dulu” mendengar jawabanya aku mendapati sesosok ibu yang bertabah menahan kerasnya kehidupan.
“eeemmhh” jawabku mendehem, terpaksa malam ini kami sekeluarga tidur dengan keadaan yang gelap gulita.
“ya sudah Han, kamu dengar sendiri kata ibu tadi kan? Aku izin yah tidak berangkat lagi, katakana pada ayah Azz aku minta maaf,aku ingin menemani ibu dulu kali ini, dan.. makasih yah sudah mau mengantarku pulang, aku jadi ngrepotin nih”hari ini aku terpaksa tidak berangkat, sebetulnya tidak apa jika aku meninggalkan ibu, tapi aku tak tega.
“iya sudah, gak papa kok, biar nanti aku sampaikan, salam untuk ayahmu yaaa” jawab Hanni.
Aku diam, berfikir mencari solusi untuk ini, tapi apa ? dalam mata kuliahku tak ada pelajaran yang menerangkan metode perdagangan atau semacamnya, aku benar-benar bingung, untuk itu aku memaksa otaku berfikir mencari solusi.
Yaa, kini aku makin bingung bagaimana tidak aku mendengar kedua orang tuaku bertengkar, padahal tidak biasanya mereka begini, “yah ! kebutuhan rumah tangga sudah dipucuk kehabisan, uang untuk membayar tunggakan listrik belum ada, tanah yang akan dijual gagal, belum lagi kebun pisang yang sudah berbuah, dicuri ! masalah ekonomi lagi-lagi yang membelit hidup kita, yah.. apa ayah mau melihat kita mati kelaparan ? sudah begitu uang semesteran Nabila sudah 2 semester belum dibayar, tapi kita tidak punya uang sepeserpun ! ayah mengerti kan ??!” jelas ibu dengan nada yang tinggi.
Aku menatap wajah ayah dalam remang-remang, ia diam, diam membisu.. bisa aku rasakan dalam wajah itu, kelelahan, kesedihan, kebosanan, semua tergambar jelas dalam wajah itu.
Kejadian semacam ini sudah terlalu sering terjadi, jadi tak bisa dipungkiri ayah dan ibu sudah bosan betul dengan keadaan semacam ini, lama.. aku jadi mulai bersalah, macamnya aku terlalu egois menjadi anak, aku egois untuk memulai bermain dengan cinta, aku memang salah, tidak sewajarnya aku jadi sakit-sakitan karena cinta.
Fikiranku mulai melayang, aku harus.. oh tidak ! bukan aku, tapi jiwaku mengharuskan aku untuk melupakan cinta ini. Pergi dari desa ini, merantau mengadu nasib, dan mulai menata hidup, untuk selanjutnya membawa ayah dan ibu kesebuah istana indah nan damai yang dipenuhi malaikat-malaikat kebahagiaan.
Lama kau terbuai dalam lamunan indah, kulihat ayahsudah merebaan badan disamping ibu, namun nyatanya aku masih menimbang-nimbang apa aku harus pergi dari desa ini merantau mencari istana, yang dipenuhi oleh malaikat-malaikat kebahagiaan ? tersebut ? .
Tapi.. bagaimana jika aku gagal ? apa nanti setelah aku pergi dan ternyata aku gagal, aku akan kembali ? merengek pada ayah dan ibu ? namun.. jika aku takut memulai apa aku akan mendapatkan istana itu ? hhmm, hanya dengan sholat dan bertanya pada Sang Khalik kemana kiranya aku mampu melangkah..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H