Mohon tunggu...
Balqis Zahra
Balqis Zahra Mohon Tunggu... lainnya -

"Good Bad Who Know"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

'Kalbu Cinta' Bagian 1 (3)

2 Maret 2013   07:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:27 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1362208925474928844

....

“Lho, lho, lho, dari tadi kok panggilnya restu sih?” Tanya Hanni heran, namun kak Zubair dan Ayun hanya tersenyum kecil, “ kok senyum-senyum ? bukannya nama kamu Ayun? Lalu apa kak Bai saudaramu? Atau kerabatmu yun?” Tanya Hanni lebih penasaran lagi.

“Ya sudah, ya sudah.. aku ceritakan ya “ gumam Ayun. Aku sedari tadi menunduk diam tak berani berkata-kata, berbeda dengan Hanni yang membalas tawaran Ayun dengan anggukan, dan ekpresi memperhatikan.

Ayun yang sedari tadi berdir lalu duduk ke sebuah sofa, dan kami yang belum dipersilahkan duduk tetap berdiri mematung. “Lho kok diam di situ sih? Ayo sini duduk” Ajak kak Zubair, si tuan rumah. Namun .. aku tak langsung duduk begitu saja, aku menunggu Hanni berjalan dan duduk, baru aku ikut duduk.

“jadi begini, dulu itu ayah dan ibuku menikah, tapi masing-masing orang tua ayah dan ibu tidak merestui, namun kedua orang tuaku tetap menikah. 12 tahun lamanya ayah dan ibu tidak di karuniai anak oleh Allah SWT” papar Ayun, berhenti sejenak mengambil nafas.

“Hingga  suatu hari eyang-eyangku merestui pernikahan ayah dan ibu, dan tak terduga sebelum dua bulan setelah itu orang tuaku dikaruniai seorang anak, dan akulah anak itu. Tujuh hari setelah kelahiranku aku diberi nama Qurota A’yun, tapi.. ayah dan ibuku beranggapan panggilan Restu yang paling cocok untukku, karena orang tuaku dikaruniai seorang anak, setelah restu dari eyang-eyangku” cerita ayun kembali panjang  lebar, menceritakan asal muasal panggilan Restu.

Saking asyiknya mendengar cerita Ayun, aku baru sadar jika sedari tadi kak Zubair memandangiku. Astaghfirullah yaa Allah kenapa kak Zubair memandangiku begitu? Apa ada yang salah dariku? Tanyaku dalam hati, aku yang benar-benar gugup dan membuat semua yang aku lakukan menjadi salah.

Aku yang sedari tadi terus diam hingga kini tetaplah Nabila yang diam, rasanya aku tak sanggup berkata-kata entah mengapa. Tak terasa air mengalir membasahi pipi, entah apa yang sedang berkecambuk dalam fikiranku. Rasa sakit itu kian menjadi, membuat sakit didadaku. Udara yang masuk kedalam paru-paruku seakan berdesakan masuk, bukan rasa segar yang aku dapati melainkan sesak yang menyiksa.

Yaa Allah, sudah cukup ! cukup ! pergilah tolong pergi! Ayo tolong hilang, hilang cepat hilang.. sudah cepat musnahlah ! musnah. Bukan.. bukan! Bukan kamu yaa Muhammad Zubair, aku membencimu Zubair , pergi kamu dari hatiku ! kini aku adalah Nabila yang lemah, tak kuasa aku menahan sakit ini hingga tak aku sadar sedang menggenggam ibu jariku, menahan sesak didadaku, menggigit kuat bibirku dan terus menangis di keramaian.

Aku yang semakin tak kuasa menahan diri yang tak terkendalikan, lari keluar tanpa memperdulikan siapa yang sempat tertabrak jatuh olehku. Tujuanku satu, keluar dari rumah ini, rumah yang seakan-akan penuh dengan nama Muhammad Zubair.

Tak terasa kini aku berlari cukup jauh, tak ada Hanni disini sahabat yang biasanya setia menemaniku, kini awan hitam yang menggelanyut menampakan kemasamannya telah menjadi sahabatku yang baru. Hatiku yang sedang porak poranda adalah bencana besarku, hari yang gelap rintikan air hujan, semua menyatu menjadi lebih kelam, bagaikan sebuah penghormatan atas semua yang kurasa.

“Yaa Alloh, ya tuhanku.. hanya engkau penguasa yang kusembah, hanya Muhammad SAW rasull yang aku cinta hanya islam agama yang aku genggam dan.. hanya ayah dan ibu manusia yang paling berharga. Apa saat ini, itu semua belum cukup ya Allah sehingga aku harus mencintai seorang lelaki yang jiwaku sendiri tak dapat menerimanya “ teriakku sambil menangis terisak-isak dan nafas yang memburu.

“jangan kau jadikan aku hina karena Muhammad Zubair, jangan kau jadikan aku menduakanMu karna Muhmmad Zubair, dan jangan kau jadikan aku gila karena Muhammad Zubair!” Teriakku lagi, namun macamnya hanya hatiku yang dapat mendengar teriakanku dan hanya hatiku pula yang dapat ikut merasakan dingin tubuhku. Bukan hanya sebatas dingin karena guyuran air hujan, namun dingin yang seolah-olah membuat semua syarafku mengkaku. Dingin yang membuat telapak tanganku memutih, dingin yang juga membuat lidahku kelu.

“Nabil ! Nabila ! Tunggu Nab” tanpa harus ku menoleh kebelakang aku tahu siapa yang memanggilku. ‘Hanni’ ya ! itu pasti Hanni Lututku yang mulai melemas kupaksa tegak, tubuhku yang mulai ambruk kupaksa untuk tegap dan… Hatiku yang sudah porak poranda aku paksa untuk tegar dan tabah.

Aku tak ingin melihat sahabat tercintaku melihat keadaanku saat ini, aku terus berlari, memaksa kaki kecilku untuk terus menapaki jalanan.. Hingga akhirnya aku yang sudah tak mampu berdiri dan terus berlari harus ambruk dijalan bebatuan yang belum teraspal.

“Nabil!” hanya jeritan yang tercekat di tenggorokan Hanni yang dapat aku dengar saat itu, dan entahlah apa yang terjadi lagi denganku saat itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun