"Ehem-ehem, kok melamun? Temenya sudah pulang semua lho.., lihat tuh" tiba2 pekikan suara ayah Azz mengagetkanku, tapi aku berpura-pura tidak terkejut. "Aaah, ayah.., ini nabila sudah mau pulang kok" jawabku menimpal lembut.
"Yang bener? Mata nabila ndak bisa bohong lho.., kenapa?" Sembari membetulkan posisi duduknya ayah Azz kembali melanjutkan kalimatnya. "Ndak biasanya nabila seperti ini, biasanya nabila cerita semua masalah nabila, tapi.., sekarang kok tidak? Apa masalahnya begitu rahasia yah? Sampai-sampai nabila ndak mau cerita dengan ayah?"
Lagi-lagi pertanyaan ayah Azz memaksaku mengatakan sebenarnya. "Heeeeehhhh" bunyi nafas panjangku yang seolah terbang membawa ribuan cerita duka.
Berhenti sejenak, dan menyiapkan diri untuk mulai mengulang cerita aneh ini. "Ayah, ayah adalah ayah kedua yg selalu menjadi ruang curhat nabila setelah ayah nabila sendiri" terdengar kata2 yang sengaja aku potong. "Lalu?" Balas ayah Azz.
"Lalu malam ini, dengan kerendahan hati, nabila mohon kesediaan ayah Azz untuk mau menumpang tumpahan2 cerita nabila, cerita yg sangat berbeda dari sebelumnya. Dimana cerita ini membawa nabila kepada seorang pria yg membawa rasa, rasa..." Lagi2 aku diam menggantung ceritaku.
Lama aku menguatkan hatiku untuk kembali bercerita pada ayah Azz. Hingga akhirnya kata2 yg tidak ingin aku dengar justru keluar dari mulut ayah Azz. "Rasa cinta?" Dengungan pahit itu hingga akhirnya menghentikan segala udara yg ingin masuk kedalam paru-paruku, yang akan menolong menegarkanku dan menteraturkan tiap hembusan nafasku.
"Ayah, nabila percaya ayah lebih tahu akan cinta itu, nabila yakin ayah Azz juga tahu apa yang harus nabila lakukan sekarang" kataku dg nada bicaraku yg seakan memancing meminta jawaban dari ayah Azz.
Hanya dengan kerlingan mata, ayah Azz seakan sudah menjawab kegundahanku. "Besok ayah jawab, sekarang nabila pulanglah.., hari sudah larut, bintang dilangit nampaknya juga sudah menanti nabila.
Mataku melirik keluar, seketika aku sudah beranjak dan mencium tangan ayah Azz berpamitan pulang. Dijalan, angan tentang istana kebahagian muncul kembali. Rasa bersalah kembali membalut sesak ruang dadaku, cukup terluka hatiku saat hanya dapat diam dan meratapi nasib yang begini.
Nabila tidak boleh nyaman dengan keadaan yang terpuruk seperti saat ini. Aku akan terus berikhtiar..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H