Mohon tunggu...
Anna R.Nawaning S
Anna R.Nawaning S Mohon Tunggu... Konsultan - Writer , Sociopreneur , Traveler and Education Enthusiast

Menulis -/+ 40 buku solo dan antologi-fiksi dan non fiksi diterbitkan oleh berbagai penerbit. Sertifikasi Penulis Non Fiksi BNSP http://balqis57.wordpress.com/about

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Makhluk Tuhan yang Paling Ditakuti

18 Desember 2011   08:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:06 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika saya masih kecil, saya tidak memiliki rasa takut terhadap binatang yang menurut banyak orang memang menjijikkan. Hingga kelas 3 SD saya merasa heran melihat orang yang seringkali teriak – teriak histeris terhadap binatang yang panjang ini.

Kakak saya memiliki fobia terhadap ular. Bahkan bukan saja ular hidup. Kakak saya akan berteriak – teriak histeris apabila melihat gambar ular, baik di poster atau-pun di buku. Tak sekali dua kali kakak melempar ensklopedia bergambar ular.

Ternyata fobia seakan virus. Kelas 3 Sekolah Dasar saya “tertular” oleh fobia ular yang dimiliki oleh kakak saya ini. Bahkan saya akan teriak – teriak apabila teman menyodorkan buku IPA yang bergambar beraneka jenis ular, walaupun hanya gambar sketsa dan bukan foto berwarna. Fobia tersebut termasuk fobia dengan tas, sepatu atau aksesoris berkulit atau berdesain ular.

Ketika SMA saya aktif di Kelompok Ilmiah Remaja (KIR). Sebagai Ketua KIR saya dapat menyelesaikan pekerjaan dengan lancar, kecuali ketika kami harus mengamati aneka ular di kebun binatang Ragunan. Demikian pula ketika kelompok kami mengadakan penelitian di Pulau Rambut – Jakarta Utara. Disana banyak hutan bakau. Beberapa rekan yang menyusuri pulau untuk mengamati kehidupan burung menceritakan bahwa mereka melihat ular besar yang melilit di pepohonan di rumpunan pohon bakau tersebut. Mendengar ceritanya bulu kuduk saya merinding – rinding nggak karuan.

Melintas di pikiran bagaimana andai tiba – tiba ada ular melintas di depan saya. Tetapi saya cukup terhibur karena saat itu kami sedang meneliti di pinggir pantai yang bersih, jadi kemungkinan ular berada di dekat kami terasa tipis. Oh ya, selain mengikuti KIR saya juga bergabung di kelompok Pecinta Alam, bahkan di OSIS saya menjadi ketua seksi extra kurikuler di sekolah. Kalau sedang berada di alam saya selalu jaga image , tidak pernah saya katakan atau perlihatkan ke rekan – rekan di Pecinta Alam bahwa saya fobia terhadap ular yang bahkan mendengar namanya saja bisa membuat merinding-rinding.Hehehe...diamanahkan menjadi ketua seksi Pecinta Alam tapi kok sama ular aja fobia? ;-p

Berdasarkan inilah rekan yang bergabung di Pecinta Alam demikian heran melihat tingkah saya yang terlihat “over acting” begitu mendengar kata ular. Nah...ternyata saya kena batu-nya! Selama hikking saya tidak pernah bertemu dengan makhluk yang paling saya takuti ini, namun di pinggir pantai itu saat kami meneliti biota laut tiba – tiba ada biota laut yang ‘berenang mendelosor’ ke arah saya! Huuuaaa....ular laut! Kakak pembimbing KIR langsung menangkap ular tersebut.

Kejadian tersebut membuat fobia pada ular menjadi – jadi. Hidup di New Zealand membuat hati saya tenang dan damai, apalagi mendapat “bonus” dari Allah swt, yakni ular merupakan hewan yang tidak akan kita temukan di negeri ini. Pemerintah New Zealand memiliki aturan yang tegas terhadap reptil. Rekan dari Indonesia pernah nyaris tidak lolos imigrasi bandara ketika datang ke New Zealand dengan menggunakan jaket bermotif kulit ular. Dia harus diwawancara pihak imigrasi bandara karena jaket tersebut. Setelah dijelaskan dengan mati-matian dan diperiksa lebih lanjut bahwa bahan jaket kulit ular imitasi, barulah dia lolos masuk ke New Zealand. Itu-pun jaket yang dia miliki harus “didaftarkan” terlebih dahulu. Reptil yang legal boleh berada di New Zealand adalah Tuatara, hewan purba yang jika dilihat sepintas mirip Iguana yang pernah trend di Indonesia. Fobia ular di New Zealand bukanlah masalah bagi saya ;-)

Awal tahun 2008 saya bertekad untuk tidak memiliki fobia yang mempengaruhi hidup. Awalnya niat dan doa, izin kepada Sang Pencipta yang sudah menciptakan makhlukbernama ular. Memohon kekuatan agar saya tidak fobia terhadap makhluk ciptaan-NYA itu. Derajat manusia lebih tinggi dibandingkan makhluk lain. So kenapa kita harus takut?

Setelah berniat dan berdoa saya mengingat sebab musabab kenapa awalnya saya fobia terhadap hewan yang satu ini. Disinilah saya menginstall ulang memori yang ada di pikiran. Yap...jika diibaratkan computer yang ber-virus parah maka untuk menghilangkan virus tersebut kita harus install ulang. Satu persatu memori pikiran saya scan, hingga ditemukan penyebab fobia tersebut. Yang akhirnya blue print pikiran terhadap ular dapat berubah. Saya juga berpikir mengapa banyak turis di Bali dan Thailand yang dengan santainya berfoto dengan ular tanpa rasa takut. Ular tersebut juga tidak melakukan perbuatan yang menyenangkan bukan?

Awal Februari 2008 rumah saya banjir. Biasanya jika banjir ular akan berada di sekitar tempat tinggal saya, apalagi hutan kota yang berjarak 200 meter dari rumah saat ini sedang dibangun apartment dan entertainment centre mewah. Padahal hutan kota tersebut merupakan “rumah” bagi ular – ular. Namun kali ini saya tidak ragu menceburkan diri pada banjir kali ini. Saat itu saya berpikir : “Kenapa harus takut ular? Saudara bukan...pacar bukan...teman juga bukan....ngapa’in dipikirin sih? Ular-nya aja nggak pernah mikirin gue, kenapa gue yang harus mikirin dia?”

Alhamdulillah, tidak seperti tahun lalu saat banjir, kali ini tidak ada ular ditemukan ketika saudara-saudara saya membersihkan rumah ketika banjir telah surut. Tumben, pikir saya, biasanya saat banjir surut selalu ada ular di sekitar rumah padahal saya ingin menguji nyali memori yang sudah di-install ulang. Saya sudah tidak merinding mendengar kata ular, saya sudah tidak histeris melihat ular di majalah atau buku biarpun ular terlihat jelas dan full warna. Snake, where are you? I’m missing you...kita sama – sama mahkluk ciptaanNya bukan?

Akhirnya dia datang. Suatu malam saya makan malam di meja makan rumah. Saya duduk di kursi ruang makan hanya 15 menitan. Saat ingin kembali ke ruang tidur, saya melihat sesuatu yang siap-siap melingkar di lantai ruang tengah. Padahal waktu saya berjalan ke meja makan saya tidak melihat apapun juga. Saya pertegas penglihatan saya. Allah Akbar...andai saya belum menginstall pikiran dan menghapus fobia ini pasti saya sudah pingsan atau tercekat tak sanggup teriak. Justru yang saya ucapkan pertama kali adalah,”Akhirnya datang juga....”

Walaupun pada saat itu saya belum berani menyingkirkan ular tersebut dari tangan saya, setidaknya saya merasa berhasil menghapus fobia tersebut dikit demi sedikit. Saya yakin ular disekitar perumahan tempat tinggal saya tidak berani masuk ke rumah saya karena mungkin sekarang mereka yang takut dengan saya...hehehe....Namun saya masih memiliki niat untuk ke tempat rekreasi di Bali, Thailand, India atau manapun yang menyediakan “fasilitas” berfoto dengan ular. Saya ingin belajar memegang ular dan menyayangi makhluk ciptaan-NYA ini. Serta saya ingin kakak dan orang lain juga melakukan therapy yang seperti saya lakukan agar fobia-nya terhadap ular hilang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun