Sore itu tepat pukul 15.18 BBWI bertemu dengan muda-mudi yang sedang asyik masyuk 'pacaran'. Oh, lebainya, dunia ini serasa milik mereka berdua, yang lain numpang.hehe...!!! Begitulah kalau orang sedang dilanda jatuh cinta. Tetapi tiba-tiba ku teringat tentang pengalaman cintaku, ternyata tak selamanya cinta itu indah. Sampai-sampai diriku kurang begitu percaya dengan cinta. Aku tak tahu, apakah ini hanya perasaan kecewa atau trauma akut yang membuatku ogah untuk membuka hati lagi. Pikiranku tiba-tiba teringat saat pertama kali aku jatuh cinta. Menginjak umur 17 tahun aku bertemu dengan seseorang, dia begitu membuatku kagum. Berawal dari kekaguman, menjadi sebuah rasa sayang.
Kan kuceritakan kronologi perjumpaanku dengannya. Saat itu aku berkunjung ke sebuah pesantren tempat sepupuku mondok. 'Bude'ku yang memintaku menemaninya menjenguk sepupuku yang sekarang sudah mengajar di sana. Saking begitu kangennya budeku mengajakku menginap di ruang tamu pondok pesantren itu. Di situ ada pengurus kantor yang begitu ramah, sopan dan sangat menghargaiku. Mulailah perkenalanku dengan dia. Pemuda sholeh yang ramah, rendah hati dan bersahabat.
Perkenalan kami berlanjut lewat surat menyurat. Sepupuku yang menjadi ustadz di sana terlihat sangat men-support-ku untuk menjalin hubungan dengannya. Karena di pondok membawa telepon seluler dilarang, kami menjalaninya melalui surat yang kukirim lewat kantor pos. Kebetulan jarak pesantren tempat dia tinggal cukup jauh dari daerah tinggalku. Dia sering mengirimkan paket buku padaku, sering pula mengajariku membaca kitab kuning. Dia bukan hanya seorang yang pandai ilmu agama, tetapi dia juga pandai mengenai ilmu eksak, itulah sebabnya mengapa dia kuliah di Fakultas MiPa di sebuah perguruan tinggi di Semarang. Karena dulu aku sekolah mengambil jurusan IPA, aku sering memanfaatkannya untuk mengajariku ketika liburan.
'AHNR'Â begitu nama panjangnya. Tapi ku tak pernah memanggil namanya secara langsung. Cukup bagiku memanggilnya 'kakak'. Dia begitu baik,pandai, penyabar, dewasa dan selalu ramah ketika menasehatiku. Bagaimana bisa aku begitu beruntung berkenalan dengan dia?. Hampir dua setengah tahun aku menjalin hubungan jarak jauh ini dengan dia. Tak ada sedikitpun rasa curigaku padanya, begitu pula dia sama sekali tidak mengikatku. Dia benar-benar membebaskanku berbuat seperti apa yang aku mau asalkan hal itu tidaklah melanggar norma. Selama itu pula aku mulai merasakan begitu 'mulianya' cinta. Cinta yang tulus tidak pernah menyakiti, tidak mengekang tetapi memerdekakan. Dia yang dengan begitu sabarnya membimbingku tuk menjadi lebih baik. ('Kakak'- ku, mengapa rindu ini masih menghantuiku? Padahal kutahu kau bukan lagi milikku)
Aku sama sekali tak pernah memanggilnya 'sayang' sebagaimana bahasa yang sering dipakai oleh khalayak yang berpacaran. Cukuplah bagiku memanggilnya 'kakak' tanpa embel-embel namanya di belakang. Pun dia begitu terhadapku, tak pernah dia memanggilku 'sayang', sebab aku kurang begitu menyukai panggilan itu sebelum pernikahan. Terlalu lebay menurutku. Aneh memang, tapi itulah yang aku suka. Lama sudah aku menunggu perjumpaan dengan dia. Ketika ramadhan tiba, dia mengundangku datang ke acara buka bersama santri di pondoknya sekaligus memperingati nuzulul qur'an. Kenangan yang terjadi terlampau indah, dia mengenalkanku pada teman-temanya yang ternyata juga menyetujui kami. Aku pun pernah berkunjung ke rumah orang tuanya, dan beliau menyambutku dengan sangat ramah. Kebetulan di keluarganya tidak memiliki anak perempuan. Aku sudah berpikir sangat positif saat itu. Karena dia adalah teman kamar sekaligus adik kelas sepupuku, komunikasi kami tetap berjalan sampai 2 tahun. Ternyata kami tak hanya bertemu sekali dua kali saja, tetapisesekali dia menjengukku di tempatku kuliahku. (ah, jadi teringat lagi...!)
Sampai suatu ketika dia menelponku, dan menyatakan dengan tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan denganku. Oh Tuhan, apa yang terjadi?, kenapa begitu mendadak?. Saat itu air mataku tak kuasa harus mengalir sederas mungkin. Ingin rasanya aku berontak, berteriak merasa bahwa hidup ini tidak adil buatku. Aku sangat tulus mencintainya meskipun aku tak pernah menceritakannya pada teman-temanku. Meskipun aku juga sering mengatakan bahwa aku tak memiliki seorang kekasih pada teman-temanku. Itu kumaksudkan untuk menetralkan diriku, dan berusaha berteman secara terbuka. Tidak lebih, hanya ingin kelihatan tak berbeban. Tak perlu berlaku melankolis layaknya mereka yang 'pacara'. Ah, betapa aku sangat subjektif memandang semua itu. (Maaf, jika cara pandangku membuat kalian terganggu)
Taukah kalian apa alasan dia memutuskan hubungan denganku begitu saja?. Dia juga merasa hancur dengan semua ini, tetapi ibunya yang menyuruhnya untuk segera menikah dengan perempuan yang sebenarnya telah dinikahkan dengannya oleh orang tuanya semasa kecil. Aku tak habis pikir, kenapa orang tuanya masih meyakini 'kawin gantung'??. Dia pun baru tahu ketika dia telah lulus kuliah dan mengajar di sebuah Madrasah Aliyah milik teman ayahnya. Tak disangka anak gadis teman ayahnya itu telah dinikahkan dengannya sejak kecil. Dia benar-benar tidak punya pilihan selain menikahi wanita itu dengan pertimbangan birrul walidain.
Lalu bagaimana denganku?? Aku sudah banyak merajut mimpi untuk hidup dengannya. Aku sudah cukup berpikir positif untuk menjalani hidup bersamanya. Tapi kenyataannya dia tidak untukku. Ah, rasanya hati ini benar-benar hancur. Ah, tak kuasa aku menahan jeritan hati ini. Tak kuasa aku memikul beban ini.Tak berdaya rasanya. Air mata yang selama ini kusembunyikan pun mengalir, seiring dengan luka yang tersayat di hati. Perih sekali rasanya melihat orang yang dicintai harus bersanding di pelaminan dengan wanita lain. Oh Tuhan, kuatkanlah aku.
Tiba-tiba saja aku merasa, tak perlulah aku begitu sedih. Mungkin dia memang bukan untukku. Aku baru sadar bahwa tak baik terlalu mencintai orang yang belum halal untuk kita. Cintailah yang sewajarnya saja, tetapkan diri untuk mencintai Allah sepenuhnya.
Dan aku pun terhibur ketika seorang dosen mengatakan " kalau kamu punya kekasih, cintailah kekasihmu itu 20% saja, jangan lebih. Dan cintailah istri atau suamimu 95% saja jangan 100%" lalu ada teman yang nyeletuk" lha yang 5%nya kemana, Pak?". Beliau menjawab" yang 5% buat yang lain, soalnya kalau 100% jika suami atau istrimu mati kau akan sangat sedih sekali dan tak berani menikah lagi, hahaha" begitu beliau tertawa. (bener juga tuh Pak...!!hahaha)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H