Tulisan ini menganalisi pengaruh industri galangan kapal Cina dalam implementasi kebijakan poros maritim dunia. Tujuan penulisan ini untuk melihat faktor apa saja yang mempengaruhi terbentuknya kebijakan Poros Maritim dan faktor apa pula yang menggagas terbangunnya industri galangan kapal Cina. Dari kedua faktor di atas, penulis menemukan benang merah antara kepentingan poros maritim Indonesia dan industri galangan kapal Cina dalam kerangka ekonomi-politik global.
***
Indonesia adalah negara maritim yang menjadi bagian penting dari jalur perdagangan laut sejak masa prasejarah, khususnya wilayah Selat Malaka. Namun pembangunan ekonomi selama ini masih berpusat pada eksplorasi dan pengolahan wilayah daratan, hingga pemanfaatan potensi ekonomi laut belum dilakukan secara maksimal. Padahal wilayah perairan Indonesia jauh lebih luas dan berpotensi sebagai peningkatan kesejahteraan rakyat dan ketahanan negara. Potensi inilah yang mendasari pemikiran presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam mengembangkan visi poros maritim dunia. Poros Maritim adalah konsep keunggulan geopolitik, geostrategis dan geo-ekonomi berbasis kekayaan bahari. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki empat titik strategis yang dilalui 40% kapal-kapal perdagangan dunia, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar.
Dalam pidatonya di depan forum interaksi pemimpin-pemimpin negara East Asian Summit (EAS), Jokowi menyebut visi kebijakan poros maritim dunia yaitu, pembangunan kembali budaya maritim Indonesia; komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut; komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim; melakukan diplomasi maritim untuk membangun bidang kelautan; dan membangun kekuatan pertahanan maritim. Kebijakan poros maritim secara otomatis mendukung pembentukan konektivitas nasional dan regional yang bertujuan untuk menyatukan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Konektivitas Nasional dan Regional
Upaya penguatan konektivitas nasional berpusat pada empat elemen kebijakan, yaitu sistem logistik nasional, sistem transportasi nasional, pembangunan daerah, serta teknologi dan informasi. Konektivitas nasional tidak hanya menghubungkan antarpulau di Indonesia, tetapi juga pada tataran regional dan internasional. Karenanya kita harus mengenal kondisi kekuatan internal Indonesia yang meliputi, kapabilitas nasional, sumber daya militer, ekonomi, dan politik, serta kapasitas untuk melakukan collective action.
Aspek kapabilitas nasional terdapat pada jumlah penduduk yang besar dengan wilayah perairan yang luas serta didukung sumber daya kelautan. Kondisi ini memungkinkan Indonesia untuk menjadi negara maritim yang terkuat. Apalagi posisi perairan Indonesia sangat strategis bagi jalur perdagangan negara lain. Namun harus diakui pada aspek kapabilitas militer, ekonomi, dan politik, Indonesia belum memiliki kemampuan pengamanan laut yang memadai. Pengamanan laut Indonesia masih sangat terbatas, dari 70 kapal TNI AL hanya ada 10-12 kapal yang dapat beroperasi setiap hari. Sementara itu kapal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP-KKP) hanya dapat beroperasi 60 hari setiap tahunnya. Karena itu sering terjadi pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia. Kerugian negara akibat pencurian ikan oleh kapal asing mencapai Rp 101, 04 triliun per tahun.
Aspek kapasitas untuk melakukan collective action dapat dilihat dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang telah disahkan pada tahun 2011 oleh pemerintahan SBY. Strategi utama MP3EI antara lain Penguatan Koridor Ekonomi dengan pembangunan wilayah Indonesia di enam koridor (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku-Papua, Bali-NT)[1]. Dengan penguatan koridor-koridor tersebut, konektivitas yang dibangun Indonesia tidak hanya bersifat lokal atau nasional, tetapi sekaligus menunjukkan kesiapan Indonesia melakukan collective action di tingkat regional maupun internasional regional. Kesiapan ini mendukung kebijakan poros maritim dunia.
Kebangkitan Cina dan Industri Galangan Kapal
Disisi lain kebijakan poros maritim dunia tidak bisa dilepaskan dari pembahasan permasalahan Laut Cina Selatan. Wilayah ini berbatasan langsung dengan kawasan perairan Indonesia, dan sejak lama menjadi wilayah konflik antara Cina, Filipina, Malaysia, Vietnam, Taiwan, Australia dan Amerika Serikat. Jalur Laut Cina Selatan dikenal dalam sejarah kejayaan maritim Asia. Jalur ini dulu sering ditempuh oleh pedagang Cina, dikenal sebagai Jalur Sutra yang terdiri dari jalur darat dan jalur laut.
Sejak berkembang menjadi pemain besar ekonomi global, Cina berinisiatif menghidupkan kembali jalur tersebut melalui konsep Jalur Sutera Maritim abad 21 yang meliputi Asia Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah dan Afrika Timur. Pertumbuhan ekonomi Cina juga mendorong peningkatan militer Cina dan kekuatan politiknya. Peningkatan pertahanan militer dapat dilihat dari kemampuan Cina memproduksi berbagai jenis kapal perang, kapal selam bertenaga nuklir dan beberapa jenis kapal bantu (auxiliary), serta pembaruan di bidang pertahanan teknologi, khususnya sistem C4I, yaitu penggantian seluruh sistem analog ke sistem digital, komunikasi dengan kabel fiber optik yang lebih rahasia, penggunaan satelit, gelombang mikro dan frekuensi radio yang lebih canggih. Sementara salah satu kekuatan politik Cina adalah keberaniannya menolak tekanan Amerika Serikat untuk melakukan embargo minyak terhadap Iran.
Konflik Laut Cina Selatan dan Kedaulatan Poros Maritim Indonesia
Paska perang dunia kedua, Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara yang menguasai perekonomian liberal. Perubahan kekuatan ke sistem unipolar ini didominasi oleh Amerika Serikat setelah kekalahan Jepang dan keruntuhan Uni Soviet. Kekuatan Amerika Serikat yang bersandar pada kapabilitas militer dan ekonomi memungkinkan peran Amerika dalam menjaga stabilitas ekonomi-politik internasional sesuai kepentingannya. Kebangkitan Cina menandakan terjadinya perubahan kekuatan yang menggeser pengaruh Amerika Serikat dalam menjaga stabilitas ekonomi-politik internasional, khususnya di wilayah Asia Timur dan Asia Pasifik. Oleh karenanya perkembangan ekonomi dan militer Cina sebagai kekuatan baru di Asia tentu saja menjadi tantangan bagi Amerika Serikat. Sekeretaris Pertahanan Donald Rumsfeld menyebutkan dalam laporannya, kekuatan Cina adalah ancaman bagi kekuatan Amerika di Asia Timur.
Lalu apa kepentingan Amerika di Asia Timur, khususnya di wilayah Laut Cina Selatan? Menurut kutipan yang diambil dari kantor berita AFP (16/9), Amerika dan sekutunya Australia berambisi membebaskan jalur pelayaran di Laut Cina Selatan dan menjadikannya sebagai jalur internasional. Amerika Serikat ingin menciptakan zona perdagangan bebas pasifik yang di kenal dengan sebutan Trans-Pasifik dimana Cina tidak termasuk didalamnya. Komandan Komando Pasifik AS Laksamana Robert F. Willard mengungkapkan bahwa nilai jalur laut kawasan Laut Cina Selatan untuk perdagangan bilateral tahunan bernilai USD 5, 3 triliun, dimana USD 1,2 triliun terkait dengan Amerika Serikat.[2]
Meskipun Indonesia tidak terlibat dalam konflik Laut Cina Selatan yang disinyalir mengandung persediaan minyak dan gas yang melimpah, namun dikhawatirkan konflik ini akan ancaman pelaksanaan kebijakan poros maritim Indonesia, terutama yang berkaitan dengan pembangunan konektivitas internasional. Apalagi Cina telah menyatakan bahwa ide pembentukan poros maritim dunia di Indonesia seiring dengan rencana pembangunan Jalur Sutera Maritim XXI yang sudah dipersiapkannya. Konsep Silk Road Fund / Pendanaan Jalur Sutera yang ditawarkan oleh Cina, ditujukan untuk mendukung kerjasama infrastruktur, sumber daya, industri, keuangan dan kerjasama lainnya yang berhubungan dengan konektivitas sepanjang jalur sutera darat dan maritim. Konsep ini dianggap sesuai dengan konsep Poros Maritim Dunia.
Indonesia berada di antara dua kekuatan ekonomi-politik global, yaitu antara Blok Timur dan Blok Barat versi abad 21. Jika Indonesia menerima kerja sama dengan Cina (sekarang Tiongkok) terkait pembangunan Jalur Sutera tersebut, Indonesia akan menghadapi negara-negara lain yang bersekutu dengan Australia dan Amerika. Hal ini secara otomatis akan mengancam keberlangsungan pembangunan kawasan maritim Indonesia serta menghambat pencapaian visi pembentukan poros maritim dunia. Disisi lain, kebaikan Amerika Serikat dalam menawarkan bantuan pengamanan perairan Indonesia tentu tidak bisa dimaknai hanya sebatas kepentingan ekonominya melalui Freeport, karena keberadaan armada militer Amerika Serikat tentu tidak bisa dilepaskan dari kepentingannya dalam mempertahankan pengaruhnya di wilayah Asia Timur.
Karena itu langkah pemerintah Jokowi untuk melakukan peningkatan anggaran pertahanan Indonesia secara signifikan sangatlah tepat. Ketidak-terlibatan Indonesia dalam konflik Laut Cina Selatan menunjukkan kemandirian Indonesia sesuai dengan prinsip politik luar Non Blok. Sementara keberadaan pelabuhan ataupun pangkalan yang memadai bagi Angkatan Laut terkait dengan konsep tol dan poros maritim dapat diartikan sebagai kondisi dinamik kehidupan pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia dalam membangun kemandirian ekonominya. Yang menjadi pertanyaan, apakah pemerintah Indonesia sudah siap jika suatu saat pemerintah Amerika Serikat merubah kebijakan politiknya untuk Indonesia, terutama ketika urusannya dengan Tiongkok di Laut Cina Selatan telah selesai, mengingat Amerika telah melakukan pengkajian penguasaan geopolitik di kawasan tersebut dalam jangka waktu 20 tahun kedepan?
[1] Keluarga Mahasiswa ITB, Kajian: Pro Kontra MP3EI Bagi Pembangunan Industri Nasional, diakses dari http://km.itb.ac.id/site/kajian-pro-kontra-mp3ei-bagi-pembangunan-industri-nasional/
[2] Fatkhulmunir Munir, China, diakses dari: http://www.academia.edu/5315298/China
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H