Mohon tunggu...
Lily Sugianto
Lily Sugianto Mohon Tunggu... -

Pemerhati Sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perjuangan Pembebasan Irian Barat

4 Maret 2015   16:22 Diperbarui: 4 April 2017   18:06 14450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


”Kami telah mengadakan perundingan-perundingan bilateral, harapan lenyap, kesadaran hilang, bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami!”

– “Membangun Dunia Baru” –

(Pidato Presiden Soekarno di depan forum PBB, 30 September 1960.)

Latar Belakang

Sebelum nama Papua (Irian) Barat dikenal, ada banyak nama yang diberikan untuk menyebut pulau yang berada di ujung timur Indonesia ini, misalnya pada akhir tahun 1300, Kerajaan Majapahit menyebut Papua dengan dua nama, yakni Wanin dan Sram. Tahun 1545, Inigo Ortiz de Retes pelaut asal Spanyol memberi nama Nueva Guinee / Nugini.Sekitartahun 1646, Kerajaan Tidore memberi nama untuk pulau ini Papa-Ua, kemudian berubah menjadi Papua. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, wilayah ini dikenal dengan sebutan Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea, Nugini Nederland atau Nugini Belanda. Adapun proses nama Papua menjadi Irian merupakan proses sejarah yang akan dibahas dalam tulisan ini. Oleh karenanya dalam rangka menghormati proses bersejarah tersebut, untuk pembahasan selanjutnya penulis akan lebih sering menggunakan kata Irian karena sesuai dengan tema dan judul tulisan ini.

Pulau yang terletak di wilayah paling timur Indonesia ini terkenal dengan kekayaan sumber daya alam seperti emas dan bahan industri lainnya, hingga membuat Irian Barat menjadi daya tarik tersendiri bagi bangsa-bangsa kolonial, di antaranya adalah Belanda yang telah menjajah Irian Barat sejak tahun 1828. Hal ini dapat dibuktikan melalui peninggalan Benteng Fort Du Bus di Teluk Triton, Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Nama Ford du Bus diambil dari nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa saat itu, L.P.J. Burggraaf du Bus de Gisignies. Namun secara politik praktis, penjajahan Belanda di Papua Barat baru dimulai pada tahun 1898, yaitu ketika parlemen Belanda menyetujui pembentukan struktur pemerintahan pertama di Manokwari dan Fakfak yang berada dibawah komando kepemimpinan administrasi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.

Berlangsungnya Perang Pasifik yang merupakan bagian dari Perang Dunia II telah mengubah posisi Belanda di Indonesia. Kedudukan Belanda yang telah berlangsung selama tiga setengah abad digantikan oleh Jepang pada tanggal 19 April 1942. Berakhirnya Perang Dunia II dengan kekalahan telak Jepang atas Sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat ditandai dengan pengumuman Jepang menyerah tanpa syarat pada tanggal 15 Agustus 1945. Pengumuman ini didengar oleh tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan tanpa menunggu janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia pada 24 Agustus 1945, serta atas desakan para pemuda, Soekarno-Hatta kemudian memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Keesokan harinya yaitu 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.

Disisi lain, Belanda menganggap kekalahan Jepang merupakan peluang baru bagi negaranya untuk kembali menguasai Indonesia, terutama Irian Barat. Tindakan ini tidak hanya dilakukan melalui serangkaian agresi militer namun juga pemboikotan ekonomi dan politik manipulatif, di antaranya menggunakan alasan etnis, bahwa Irian Barat berbeda dengan bangsa Indonesia. Tujuannya agar Irian Barat dapat dipisahkan dari wilayah kesatuan Indonesia.

Persoalan pembebasan Irian Barat tentu saja tidak bisa dilepaskan dari pertarungan politik global yang saat itu terpecah antara Blok Barat dan Blok Timur. Peran Soekarno dalam membangun kekuatan Gerakan Non Blok melalui kebijakan politik luar negeri Indonesia yang Bebas dan Aktif sebagaimana yang dirumuskan oleh Muhammad Hatta tidak hanya berhasil membuat posisi Indonesia menjadi negara yang sangat disegani di dunia internasional tetapi juga berhasil menggalang dukungan dari negara-negara tetangga.

***

Strategi Politik Luar Negeri Indonesia

Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia harus menghadapi banyak masalah di berbagai sektor, di antaranya sektor ekonomi, sosial, politik, dan militer. Masuknya Sekutu melalui AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies) dan kedatangan kembali Belanda melalui NICA (Nederlands Indies Civil Administration) untuk mengambil alih pendudukan Jepang menimbulkan perlawanan di berbagai daerah. Selain menghadapi agresi Belanda, Indonesia juga harus menghadapi pemberontakan dari kelompok-kelompok yang tidak puas dengan kinerja pemerintah. Banyaknya pergantian kabinet di masa Demokrasi Liberal juga mewarnai perjalanan Indonesia di awal masa proklamasi. Kontak fisik antara Inonesia dan Belanda menimbulkan korban di kedua belah pihak, kondisi ini membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan untuk campur tangan.

Pemerintah kemudian menyusun kebijakan politik luar negerinya agar pelaksanaannya tidak bertentangan dengan kepentingan nasional yaitu pengakuan atas kemerdekaan Indonesia serta mendapat dukungan dunia internasional dalam menghadapi agresi Belanda. Pada masa Orde Lama, landasan operasional politik luar negeri sebagian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno. Beberapa saat setelah kemerdekaan, dikeluarkan Maklumat Politik Pemerintah tanggal 1 November 1945, yang memuat hal-hal sebagai berikut:


  1. Politik damai dan hidup berdampingan secara damai
  2. Politik tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain
  3. Politik bertetangga baik dan kerjasama dengan semua negara di bidang ekonomi, politik dan lain-lain
  4. Politik berdasarkan Piagam PBB

Pada dasarnya pengertian politik luar negeri merupakan “action theory” atau kebijakan yang diambil oleh negara dalam hubungannya dengan dunia internasional, untuk mencapai tujuan / kepentingan nasional. Secara umum, politik luar negeri merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan, memajukan dan mewujudkan kepentingan nasional di dalam percaturan dunia internasional.Kepentingan nasional Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan mencakup dua hal. Pertama, memperoleh pengakuan dunia internasional bahwa Indonesia adalah negara yang merdeka dan berdaulat. Kedua, mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mencakup seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda, termasuk Irian Barat. Hal ini sesuai dengan azas Uti Possidetis Juris yang berlaku umum dalam hukum internasional, bahwa negara yang merdeka mewarisi wilayah bekas negara penjajahnya (Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 43 Tahun 2008).

Berangkat dari landasan dasar politik luar negeri Indonesia yang tercantum pada alinea pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, bahwa “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perkeadilan.” Bangsa Indonesia memandang sikap Belanda dan Sekutunya untuk merebut kembali kemerdekaan Indonesia merupakan bentuk penjajahan yang harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perkeadilan. Serta mengancam dasar negara Pancasila yang menjadi landasan riil politik luar negeri Indonesia. Sebagai ideologi negara, Pancasila merupakan cara pandang bangsa Indonesia baik terhadap diri, lingkungan, negara maupun dunia internasional. Kelima sila yang termuat dalam Pancasila berisi pedoman dasar dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan mengikat seluruh bangsa Indonesia.

Memperjuangkan NKRI

Sejarah pembebasan Irian Barat adalah bagian dari sejarah Indonesia dalam memperjuangkan terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui lobi-lobi internasional. Perjuangan ini dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Tindakan langsung dilakukan dengan mengemukakan persoalan Indonesia di hadapan sidang Dewan keamanan PBB. Sementara tindakan tidak langsung adalah menjalin hubungan baik dengan negara-negara yang mendukung Indonesia dalam sidang-sidang PBB.

Selain upaya di atas, Indonesia juga melakukan perundingan langsung dengan Belanda untuk menyelesaikan konflik antara Indonesia-Belanda menyangkut persoalan wilayah-wilayah yang masih dikuasai Belanda. Di tengah upaya diplomasi ini, Belanda sering kali melanggar kesepakatan dengan melancarkan agresi militer. Atas tindakan ini Belanda mendapat kecaman dari dunia internasional, terutama dari negara-negara yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Akibat tekanan internasional, Belanda akhirnya bersedia untuk melakukan perundingan kembali, hingga terbentuknya Republik Indonesia Serikat: Berikut proses memperjuangkan NKRI:

a. NKRI Periode tahun 1946


  • Indonesia mengirimkan misi diplomatik pertamanya ke Belanda untuk berunding dengan pihak Sekutu dan Belanda pada tanggal 14 - 25 April 1946 di Hooge Veluwe, Belanda. Hasil perundingan: Belanda tidak bersedia memberikan pengakuan de facto kedaulatan RI atas Sumatera. Belanda hanya mengakui kemerdekaan Jawa dan Madura dikurangi daerah-daerah yang telah diduduki Pasukan Sekutu dan Belanda.

b. NKRI Periode tahun 1947


  • "Indonesian Office" atau Kantor Urusan Indonesia didirikan di Singapura, Bangkok, dan New Delhi untuk menjadi perwakilan resmi Pemerintah RI, sekaligus menembus blokade ekonomi Belanda terhadap Indonesia.
  • Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian Linggarjati, dimana pihak Belanda mengakui kedaulatan RI hanya sebatas Jawa, Sumatera, dan Madura.
  • Segi positif Perjanjian Linggarjati ialah adanya pengakuan de facto atas Republik Indonesia yang meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera. Sementara segi negatifnya ialah bahwa wilayah RI dari Sabang sampai Merauke (Kalimantan, Maluku dan Irian Barat) yang seluas Hindia Belanda tidak tercapai.
  • Pemerintah Mesir yang diwakili oleh Abdul Mounem menyampaikan pengakuan resminya terhadap kemerdekaan Indonesia.

c. NKRI Periode tahun 1948


  • Mufti Agung Haji Amin El Husni berkunjung ke Indonesia untuk menyampaikan dukungan dan simpati rakyat Palestina atas perjuangan kemerdekaan Indonesia.
  • Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri RI Mohammad Hatta menyampaikan prinsip-prinsip kebijakan luar negeri RI yang bebas dan aktif di hadapan Sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
  • Untuk menembus blokade ekonomi Belanda, Menteri Kemakmuran RI Dr. A.K. Gani berangkat dalam sebuah misi diplomatik ke Kuba untuk menjalin hubungan kerjasama dengan negara-negara Amerika Latin.
  • Belanda melakukan agresi militer untuk kedua kalinya terhadap Indonesia. Presiden Soekarno, Wapres Moh. Hatta dan Menteri Luar Negeri Agus Salim ditangkap Belanda di ibukota Yogyakarta dan kemudian diasingkan ke Pulau Bangka, Sumatera.
  • Sidang Kabinet Darurat RI kemudian menunjuk Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara agar membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat. A.A. Maramis yang saat itu sedang berada di New Delhi menjadi Menteri Luar Negeri PDRI.

d. NKRI Periode tahun 1949


  • Dewan Keamanan (DK) PBB mengeluarkan resolusi agar Belanda dan Indonesia segera menghentikan segala aktifitas militer. Belanda diminta DK PBB untuk melepaskan semua tahanan politik yang ditahan sejak awal Agresi Militer II.
  • Untuk membantu Indonesia yang sedang diserang Belanda, India dengan dukungan Birma menyelenggarakan Konferensi Asia mengenai Indonesia di New Delhi. Konferensi dipimpin langsung oleh PM India Jawaharlal Nehru. Semua delegasi yang hadir saat itu, mulai dari negara-negara Asia hingga Australia dan Selandia Baru dari Pasifik, mengutuk Agresi Militer II Belanda.
  • Pemerintah Birma (kini Myanmar) memberi dukungan bagi perjuangan Indonesia melawan Belanda dengan mengizinkan pesawat "Indonesian Airways" Dakota RI-001 Seulawah untuk beroperasi di Birma. Pesawat Seulawah adalah hadiah dari rakyat Aceh kepada Presiden Soekarno. Selain itu, Birma juga memberi bantuan peralatan radio yang memungkinkan Indonesia membangun jaringan komunikasi radio antara pusat pemerintahan RI di Jawa - PDRI di Sumatera - Perwakilan RI di Rangoon, dan Perutusan RI untuk PBB.
  • Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan di antara "negara-negara federal" di Hindia Belanda, seperti: Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar. Dalam Konferensi, negara-negara tersebut memberi kedaulatan negaranya kepada Republik Indonesia.
  • Persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) dan Belanda di Den Haag tanggal 27 Desember 1949. Persetujuan ini disaksikan oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) perwakilan PBB. Hasil persetujuan KMB:

  1. Belanda menyerah dan mengakui kedaulatan Indonesia tanpa syarat dan tidak dapat ditarik kembali, kecuali Papua (Irian) bagian Barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi wilayah kesatuan Indonesia. Namun Belanda menolak dan ingin Irian Barat tetap terpisah karena perbedaan etnis. Karena itu pada pasal 2 disebutkan, masalah Irian Barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun setelah terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat).
  2. Indonesia akan berbentuk Negara Serikat (RIS) yang merupakan bagian dari Belanda, dan Kerajaan Belanda sebagai pemimpin.
  3. RIS harus menanggung semua hutang Belanda yang dibuat sejak tahun 1942

Makna Pembebasan Irian Barat

Lepasnya satu-persatu negara boneka bentukan Belanda seperti yang terjadi pada Konferensi Inter-Indonesia membuat Belanda mencari siasat untuk mempertahankan Irian Barat. Karena azas Uti Possidetis Juris dalam hukum internasional telah mengatur, bahwa setiap negara yang merdeka mewarisi wilayah bekas negara penjajahnya (Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 43 Tahun 2008). Maka sebagai negara kolonial, Belanda tidak memiliki pilihan lain kecuali tunduk pada aturan hukum internasional tersebut.

Alasan etnis yang digunakan Belanda saat menolak menyerahkan Irian Barat, sebenarnya hanya untuk menutupi niat liciknya. Alasan sesungguhnya adalah, dari hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Belanda, ternyata bumi Irian Barat merupakan tambang emas dan uranium terbesar di dunia, yang tidak akan habis digali selama 100 tahun (sekarang berdiri perusahaan asing Freeport Sulphur milik Amerika). Karena itu, secara diam-diam pada tanggal 19 Pebruari 1952 Belanda memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam Konstitusinya untuk menguasai tambang emas dan uranium tersebut. Akibat tindakannya ini, Belanda tidak hanya melanggar azas Uti Possidetis Juris hukum internasional melainkan juga melanggar persetujuan Konferensi Meja Bundar (Round Table Conference) yang telah disepakati dengan RIS.

Soekarno menyebut tindakan Belanda melakukan pengeksploitasi sumber daya alam di Irian Barat sebagai Neo-Kolonialisme dan Neo-Imperialisme. Karena itu, Soekarno memilih cara yang lebih tegas selain tetap menggunakan jalur diplomasi politik, yaitu nasionalisasi perusahaan asing milik Belanda, dan mengirim pasukan Trikora untuk membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda.

Pembebasan Irian Barat dengan Diplomasi Politik

a. Perundingan Bilateral Indonesia Belanda

Pada tanggal 24 Maret 1950 diselenggarakan Konferensi Tingkat Menteri Uni Belanda – Indonesia. Konferensi memutuskan untuk membentuk suatu komisi yang anggotanya wakil-wakil dari Indonesia dan Belanda untuk menyelidiki masalah Irian Barat. Hasil kerja Komisi ini harus dilaporkan dalam Konferensi Tingkat Menteri II di Den Haag pada bulan Desember 1950. Pembicaraan dalam tingkat ini tidak menghasilkan penyelesaian masalah Irian Barat. Pertemuan Bilateral antara Indonesia-Belanda berturut-turut diadakan pada tahun 1952 dan 1954, namun hasilnya tetap sama yaitu, Belanda tidak bersedia mengembalikan Irian Barat kepada Indonesia sesuai hasil KMB.

b. Melalui Forum PBB

Setelah menjadi anggota PBB yang ke-60 pada tanggal 28 September 1950, Indonesia berupaya mengajukan masalah Irian Barat dalam forum PBB. Sidang Umum PBB yang pertama kali membahas masalah Irian Barat dilaksanakan pada tanggal 10 Desember 1954, namun sidang ini gagal mencapai 2/3 suara dukungan yang diperlukan untuk mendesak Belanda. Secara berturut-turut Indonesia mengajukan sengketa Irian Barat dalam Majelis Umum X tahun 1955, Majelis Umum XI tahun 1956, dan Majelis Umum XII tahun 1957, tetapi hasil pemungutan suara tetap tidak mencapai 2/3 suara.

c. Dukungan Negara Negara Asia Afrika (KAA)

Gagal dengan jalur diplomatik di tingkat global, Indonesia kemudian menempuh jalur diplomasi di tingkat regional dengan mencari dukungan dari negara-negara Asia Afrika. Konferensi Asia Afrika yang diadakan di Bandung tahun 1955 dan dihadiri 29 negara-negara di kawasan Asia Afrika ini secara bulat mendukung upaya bangsa Indonesia untuk memperoleh kembali Irian sebagai wilayah yang sah dari RI. Namun suara bangsa Asia Afrika dalam forum PBB tetap tidak dapat menarik dukungan internasional dalam sidang Majelis Umum PBB. Konferensi inilah yang menjadi tonggak lahirnya Gerakan Non Blok (GNB).

GNB mempunyai arti khusus bagi bangsa Indonesia, sebagai negara netral yang tidak memihak. Hal tersebut tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. GNG sesuai dengan politik luar negeri yang bebas dan aktif, dimana Indonesia memilih untuk menentukan jalannya sendiri dalam upaya membantu tercapainya perdamaian dunia dengan mengadakan persahabatan dengan segala bangsa. Serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kedua mandat tersebut menjadi bagian dalam prinsip dasar GNB, yang dikenal dengan Dasasila Bandung.

Pembebasan Irian Barat dengan Konfrontasi Politik dan Ekonomi

Kegagalan pemerintah Indonesia untuk mengembalikan Irian Barat melalui jalur bilateral, Forum PBB dan dukungan Asia Afrika, membuat pemerintah RI memilih jalur lain, yaitu jalur konfrontasi. Berikut adalah upaya Indonesia mengembalikan Irian Barat melalui jalur konfrontasi politik dan ekonomi yang dilakukan secara bertahap:

a. Pembatalan Uni Indonesia Belanda (RIS) dan kembali ke NKRI

Setelah gagal mengembalikan Irian Barat melalui jalur diplomasi, pemerintah RI mulai bertindak tegas dengan tidak lagi mengakui RIS yang dibentuk melalui persetujuan KMB. Hal ini tidak hanya berarti pembatalan RIS secara sepihak oleh pemerintah RI, melainkan juga pembatalan seluruh persetujuan KMB. Pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS resmi dibubarkan dan Indonesia kembali dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Pembentukan Pemerintahan Sementara Propinsi Irian Barat.

Ali Sastroamidjojo membentuk Propinsi Irian Barat dengan ibu kota Soasiu, Tidore Maluku Utara. Pembentukan propinsi itu diresmikan tanggal 17 Agustus 1956. Propinsi ini meliputi wilayah Irian Barat yang masih diduduki Belanda dan daerah Tidore, Oba, Weda, Patrani, serta Wasile di Maluku Utara.

c. Pemogokan Total Buruh Indonesia

Sepuluh tahun menempuh jalan damai, tidak menghasilkan apapun. Karena itu, sesuai dengan perintah Soekarno dalam rapat umum yang diadakan pada tanggal 2 Desember 1957, terjadi pemogokan total oleh buruh-buruh yang bekerja pada perusahaan-perusahaan milik Belanda. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan larangan beredarnya semua terbitan dan film yang menggunakan bahasa Belanda. Kemudian maskapai penerbangan Belanda, KLM dilarang mendarat dan terbang di seluruh wilayah Indonesia.

d. Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda

Pada tanggal 3 Desember 1957 semua kegiatan perwakilan konsulat Belanda di Indonesia diminta untuk dihentikan. Penghentian kegiatan ini dalam rangka proses pengambil-alihan (nasionalisasi) modal perusahaan-perusahaan asing milik Belanda yang ada di seluruh Indonesia, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1958.

e. Pemutusan Hubungan Diplomatik

Dalam pidatonya yang berjudul ”Jalan Revolusi Kita Bagaikan Malaikat Turun Dari Langit (Jarek)” pada HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke 15 tanggal 17 Agustus 1960, Presiden Soekarno memaklumatkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda. Tindakan ini merupakan reaksi atas sikap Belanda yang dianggap tidak menghendaki penyelesaian secara damai pengembalian Irian Barat kepada Indonesia. Bahkan menjelang bulan Agustus 1960, Belanda mengirimkan kapal induk ” Karel Doorman” ke Irian Barat melalui Jepang. Disamping meningkatkan armada lautnya, Belanda juga memperkuat armada udaranya dan angkutan daratnya di Irian Barat. Karena itulah pemerintah RI mulai menyusun kekuatan bersenjatanya untuk mempersiapkan segala kemungkinan.

Pembebasan Irian Barat dengan Konfrontasi Militer

Langkah diplomasi politik dan konfrontasi ekonomi yang dilakukan Indonesia ternyata belum mampu memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Bahkan di sidang Majelis Umum PBB XVI tahun 1961, Belanda mengumumkan berdirinya Negara Papua dan mengajukan usulan dekolonisasi di Irian Barat yang dikenal dengan ”Rencana Luns”.

Menanggapi rencana licik Belanda, pada tanggal 19 Desember 1961 di Alun-alun Yogyakarta, Presiden Soekarno mengumumkan pelaksanaan Trikora. Langkah pertama pelaksanaan Trikora adalah pembentukan suatu komando operasi yaitu ”Komando Mandala Pembebasan Irian Barat” dengan panglima komando Brigjend. Soeharto yang pangkatnya telah dinaikkan menjadi Mayor Jenderal. Tujuan Komando Mandala yang bermarkas di Makassar ini adalah melaksanakan operasi militer untuk merebut kembali Irian Barat dari penjajahan Belanda. Operasi militer ini didukung Uni Soviet dengan memberi bantuan perlengkapan perang.

Dukungan Uni Soviet (PM. Nikita Kruschev) kepada Indonesia menimbulkan ketegangan politik internasional, terutama pihak Sekutu Amerika Serikat yang mendukung Belanda. Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy menganggap dukungan dan hubungan diplomatik antara Uni Soviet dan Indonesia akan membahayakan posisi Amerika Serikat di Asia. Pertama, sebagai sekutu Belanda, Amerika akan dicap sebagai negara pendukung penjajah. Kedua, kehadiran Uni Soviet sebagai simbol kekuatan Blok Timur menjadi ancaman bagi wilayah yang selama ini menjadi kekuasaan Blok Barat, yaitu Pasifik Barat Daya.

Melalui Sekjend PBB U Than, Kennedy mengirim diplomatnya yang bernama Elsworth Bunker untuk mengadakan pendekatan kepada Indonesia dan Belanda. Sesuai dengan tugas diberikan oleh Sekjend PBB, Elsworth Bunker mengadakan penelitian dan mengajukan usulan yang dikenal dengan ”Proposal Bunker”. Isi Proposal Bunker adalah ”Belanda harus menyerahkan kedaulatan atas Irian Barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu paling lambat dua tahun”. Usulan ini menimbulkan reaksi, pihak Indonesia meminta agar waktu penyerahan dipersingkat. Sementara Belanda menyetujui dengan syarat kedaulatan tetap diserahkan kepada Negara Papua Merdeka. Melihat adanya intervensi asing Amerika dalam persoalan pembebasan Irian Barat memaksa Soekarno untuk menyusun serangan terbuka melalui Operasi Jaya Wijaya pada bulan Maret hingga Agustus 1962 yang dipimpin oleh Kolonel Soedomo. Pada tanggal 18 Agustus 1962, Dewan Markas Besar PBB menyerukan resolusi gencatan senjata.

Kemerdekaan Irian Barat dan Berintegrasi dalam NKRI

Operasi infiltrasi yang dilakukan pasukan Jaya Wijaya berhasil mengepung beberapa kota penting di Irian Barat. Terdesak dengan kondisi tersebut, ditambah desakan Amerika yang mengkhawatirkan peran Uni Soviet di wilayah Pasifik Barat Daya, Belanda akhirnya bersedia menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia melalui Persetujuan New York / New York Agreement. Isi dari persetujuan tersebut adalah:


  1. Pemerintahan sementara PBB (UNTEA – United Nations Temporary Executive Authority) akan mengambil alih pemerintahan Belanda di Irian Barat dan proses ini akan segera dilakukan selambat-lambatnya tanggal 1 Oktober 1962
  2. Proses akhir penarikan pasukan sipil dan militer Belanda selambat-lambatnya tanggal 1 Mei 1963
  3. Pemerintah RI secara resmi akan menerima penyerahan pemerintahan Irian Barat dari pemerintahan sementara PBB (UNTEA) elambat lambatnya tanggal 1 Mei 1963
  4. Indonesia menerima kewajiban mengadakan Penentuan Pendapat rakyat di Irian Barat, sebelum akhir tahun 1969.

Sesuai dengan perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei 1963 berlangsung upacara serah terima pemerintahan Irian Barat dari pemerintahan sementara PBB (UNTEA) kepada pemerintah Republik Indonesia. Upacara ini berlangsung di Hollandia (Jayapura). Dalam peristiwa itu bendera PBB diturunkan dan kemudian bendera Merah Putih berkibar. Moment ini sekaligus menandakan resminya Irian Barat menjadi propinsi ke 26 Negara Kesatuan Republik Indonesia. Delegasi Indonesia menyambut hasil perjanjian ini dengan rasa haru, lega, dan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Perjuangan pembebasan Irian Barat yang telah berlangsung selama 20 tahun telah selesai. Pembebasan Irian Barat sekaligus menandakan perwujudan dari persatuan dan kesatuan wilayah NKRI seperti yang diamanatkan dalam Proklamasi 17 Agustus 1945. Nama Papua Barat kemudian diubah menjadi Irian Jaya yang merupakan akronim dari “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”.

Untuk memperingati perjuangan pembebasan Irian Barat, sebuah Patung didirikan di Lapangan Banteng. Patung yang memiliki makna simbolis “Kebebasan dari belenggu-belenggu penjajah” ini merupakan karya Hendrik Hermanus Joel Ngantung atau yang lebih dikenal dengan nama Henk Ngantung, Gubernur DKI Jakarta pada masa ini. Patung pembebasan Irian Barat ini diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1963 oleh Presiden Soekarno.

Kesimpulan

Melalui pembahasan yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa perjuangan pemerintah Indonesia dalam pembebasan Irian Barat bukan merupakan tindakan aneksasi kepada bangsa lain, karena secara de facto dan de jure Irian Barat merupakan bagian dari wilayah Indonesia, sesuai dengan azas Uti Possidetis Juris dalam hukum internasional yang menyebutkan, “that old administrative boundaries will become international boundaries when a political subdivision achieves independence”. Proses integrasi Irian Barat ke dalam NKRI dilakukan oleh pemerintah Soekarno melalui langkah-langkah sebagai berikut:


  • Jalur Diplomatik, untuk menggalang dukungan internasional dan mengadakan perundingan-perundingan dengan pihak Belanda.
  • Membangun Solidaritas antar negara bekas jajahan bangsa kolonial melalui Gerakan Non Blok yang menjadi kekuatan baru dalam mengimbangi arogansi Blok Barat dan Blok Timur.
  • Ketika jalur diplomatik tidak berjalan sesuai harapan, Soekarno melakukan pemboikotan apapun yang berkaitan dengan Belanda, seperti nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing milik Belanda yang ada di seluruh Indonesia, pelarangan buku dan film Belanda, hingga pelarangan pesawat Belanda untuk melintasi wilayah Indonesia.
  • Setelah kedua langkah di atas ternyata tidak membuah hasil, pemerintah Soekarno kemudian memutuskan menempuh jalur militer dengan mengirim pasukan Trikora dan Operasi Jaya Wijaya.

1.Anonymous, “Sejarah Pergantian Nama Pulau Papua” – diakses darihttp://sejarahwp.blogspot.com/2013/09/sejarahnamapapua.html?m=1, pada tanggal 20 November 2014.

2.John Anari, S. Komp, “Analisis Penyebab Konflik Papua & Solusinya secara Hukum Internasional” – diakses darihttp://oppb.webs.com/Konflik_Papua.pdf, pada tanggal 20 November 2014.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun