Diskursus mengenai politik erat kaitannya dengan manusia sebab seturut kodratnya manusia adalah makhluk politik. Dalam konteks filsafat, diskursus politik ini ditelaah secara spesifik dalam filsafat politik. Sebagai sebuah disiplin filsafat, filsafat politik selalu berorientasi pada tatanan normatif kontrafaktis yang seringkali berseberangan dengan realitas politik.Â
Untuk mengembalikan fitrah politik yang seringkali berciri violatif dalam prakteknya, refleksi tentang konsep politik menjadi penting untuk mengembalikan kesadaran kita kepada pemahaman politik yang sesungguhnya.Â
Refleksi mengenai politik ini mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. di zaman Yunani Klasik misalnya, Aristoteles mengembangkan teori politiknya dari sudut pandang eudaimonistis. Era abad pertengahan dengan pertautan kuat agama atas filsafat, otonomitas Allah dalam dunia politik pun mendapat aksentuasi kuat.Â
Di zaman modern, Thomas Hobbes (1588-1679) dalam karyanya Leviathan menempatkan manusia sebagai unsur material dasar pembentuk Negara. Dan di era postmodern ini, diskursus filsafat politik mendapat kontribusi kuat dari sejumlah filsuf. Salah satunya adalah Jacques Derrida.Â
Derrida melalui proyek dekonstruksinya, meretas persoalan politik dengan melakukan pembacaan dekonstruktif atas pandangan politik dari Carl Schmitt dan konsep persahabatan Aristoteles. Konstruksi politik Carl Schmitt sebagaimana tertuang dalam bukunya Der Begriff des Politischen berlandaskan pada pemisahan tegas antara teman dan musuh politik.Â
Logika politik ini jelas menempatkan hubungan ontologi teman -- musuh sebagai unsur substansial politik. Dengannya, politik perlu dan cukup ditandai dengan diferensiasi tegas teman -- musuh. Tidak ada politik tanpa kehadiran sosok musuh. Kehilangan sosok musuh menyebabkan musnahnya politik.Â
Aristoteles dalam Nichomacean Ethics, memetakan persahabatan dalam tiga jenis berdasarkan motivasi yang mendasarinya. Pertama, persahabatan yang lebih tinggi didasarkan pada kebajikan. Kedua, persahabatan didasarkan pada utilitas dan kegunaan.Â
Ketiga, dan pada level yang lebih rendah, persahabatan didasarkan pada kesenangan. Berbeda dari persahabatan jenis pertama dan ketiga, menurut Aristoteles, persahabatan yang didasarkan pada utilitas memiliki kaitan erat dengan politik. Jenis persahabatan ini masuk dalam kategori persahabatan politik.Â
Bertolak dari kerangka pemikiran Aristoteles mengenai persahabatan ini, Derrida mengkonfrontasikannya dengan persoalan politik kontemporer yang mana telah mendepak persahabatan ke ruang agama dan moral. Marginalisasi persahabatan dalam politik dinilai Derrida tidak bisa menjamin masa depan politik.Â
Bagi Derrida, sebagaimana diuraikan Aristoteles, persahabatan justru menjadi bagian penting dalam bangunan politik. Politik sebagai bentuk kerja sama dalam menata peradaban komunitas yang terarah pada cita-cita kebaikan bersama mutlak memerlukan persahabatan.Â
Dalam terang semangat dekonstruksi, Derrida mendekonstruksikan motivasi persahabatan dalam konteks politik. Berbeda dari Aristoteles yang melihat persahabatan bermotifkan kegunaan sebagai basis dalam politik, Derrida justru menempatkan motivasi keutamaan dalam persahabatan sebagai basis politik.Â