Mohon tunggu...
Baldus Sae
Baldus Sae Mohon Tunggu... Penulis - Dekonstruktionis Jalang

Pemuda kampung. Tutor FIlsafat di Superprof. Jurnalis dan Blogger. Eks Field Education Consultant Ruangguru. Alumnus Filsafat Unwira. Bisa dihubungi via E-mail baldussae94@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sepekan di Penkase (Part. I)

31 Januari 2019   08:03 Diperbarui: 31 Januari 2019   08:08 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekilas Tentang Kelurahan Penkase --Oeleta (dokpri)


(Catatan Kegiatan Kemah Kerja Bakti Mahasiswa Filsafat-UNWIRA)



Kelurahan Penkase Oeleta terletak di Kecamatan Alak, Kota Kupang -- NTT. Kelurahan dengan luas wilayah sebesar 9,13 km2 ini didirikan pada tanggal 12 Agustus 2010. 

Secara geografis kelurahan Penkase Oeleta berbatasan dengan Namosain dan Nunbaun Sabu di sebelah utara, selatan dengan Manulai II dan Alak, sebelah barat dengan Alak dan di sebelah timur berbatasan dengan Batuplat, Nunbaun Sabu dan Manutapen.

Nama Penkase sendiri merupakan gabungan dari kata PEN dan KASE yang memiliki arti tempat ketinggian. Tempat yang dimaksudkan ini yaitu pohon asam di tengah kampung yang digunakan untuk mengintip orang asing pada masa penjajahan. Sebelumnya, nama Penkase dikenal dengan nama kampung Kuan Pene.

Pada masa penjajahan, raja Bell Tupitu Oematan memerintahkan masyarakat untuk melihat kapal asing dari tempat ketinggian. Tepatnya dari atas pohon asam yang sekarang ada di RT 01, RW 01 Kelurahan Penkase Oeleta. 

Tujuan pengamatan ini dimaksudkan agar memudahkan penduduk untuk bersembuyi dari serangan tentara asing. Tempat persembunyiannya di gua Nono Oenipe (sekarang ada di RT 03, RW 01).

Raja pertama Penkase adalah Las Tupitu Oematan. Raja Las Tupitu Oematan mempunyai pengikut yang dissebut Temukung (pekerja), Ma'fefa (juru bicara) dan Amnasit (pejabat setingkat RT).  

Para Temukung tersebut antara lain; Temukung Talaeu Lassa Tahun (1930), Temukung Benyamin Baitanu (1955), Temukung Thomas Baitanu (1960), Temukung Kornelis Sempu (1965), Temukung Andreas Lasbaun (1967) dan Temukung Abraham Baitanu (1976).

Sementara nama Oeleta awalnya dikenal dengan Oebuf (tempat berkumpul satu keluarga). Nama itu lalu berubah menjadi Oenaleta yang berarti tempat penunjuk air dan tempat gantungan air. 

Menurut cerita, dulu ada salah satu leluhur yang melihat satu ekor burung yang terbang keluar melewati celah batu.  Menariknya bahwa pada sayap burung yang sedang terbang tersebut keluar percikan-percikan air.

Bertolak dari penglihatan tersebut, tempat ini pun lalu dianggap sebagai tempat keramat. Pada musim kemarau panjang, para tetua adat akan melakukan ritual meminta hujan dengan mempersembahkan sesajian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun