Metode Kualitatif Verstehen Dasein Heidegger (3)
Pemahaman (Verstehen), faktisitas (Faktizitat) dan historisitas (Geschichtlichkeit). Heidegger menunjukkan cara-cara keterbukaan "Aletheia" artinya ketersingkapan Ada, atau tidak tersembunyi, yaitu cara-cara akses terhadap dunia yang ditunjukkan oleh Heidegger, bersama dengan pemahaman (Verstehen), disposisi afektif (Befindlichkeit) dan wacana (Rede). Penting untuk menunjukkan meskipun pemahaman menentukan akses terhadap entitas secara signifikan, disposisi afektif membuka dunia dalam hal faktisitas.
Beberapa istilah penting Haidegger untuk memahami Being and Time pada diskursus ini adalah:
- Sein = Ada (tidak aktif)
- Seinde =Meng-ada (aktif), dan
- Dasein = Ada sesuai versinya/ tindakan sendiri/ ontonomi mandiri atau Kata ganti Manusia aktif
- Dasman=manusia pasif, ikut orang lain, pasrah nrimo
- "Being" atau Ontologis atau Ada" huruf A besar, dan "being" artinya ada huruf kecil atau di Heidegger disebut "Pengada"
- Kata "Verstehen" pemahaman;atau memahami kedalam
- Kata Zuhandenes) ready-to-hand atau alat-alat
- Kata "Verfallen (Jatuh dalam realitas); atau semacam jatuh dalam
- Kata Faktisitas atau jatuh pada fakta, fakta-fakta yang tidak bisa diubah (keterlemparan manusia)
- Kata in-der-Welt-sein atau berada  di dunia
- Kata "Sorge" sebagai sikap terbuka pada kemungkinan-kemungkinan
- Kata "Mit-dasein"adalah ruang Publik atau orang Lain
- Kata Angst, artinya kecemasan eksistensial
- Kata Vorhandenes atau benda-benda alami
- Kata Vorhabe (isi kepala/kesadaran manusia)
- Kata Vorsicht (sudut pandang perspektif);
- Kata Vorgriff (apa yang ingin dicapai/cita-cita)
- Kata  Sein-zum-Tode artinya manusia adalah yang ada menuju kematian waktu artinya bukan waktu matematik, waktu lampau, waktu sekarang, dan waktu mendatang, dan  Akhir Waktu adalah Kematian
- Aletheia artinya ketersingkapan Ada, atau tidak tersembunyi
Heidegger menulis Being and Time didorong oleh kebutuhan untuk mengulangi pertanyaan yang menanyakan tentang makna keberadaan, yang menurut pendapatnya telah dilupakan oleh seluruh tradisi metafisika Barat, yang telah mencari dan menganggap keberadaan sebagai "fondasi". Tujuan yang dia tuju dari pertanyaannya adalah untuk menunjukkan  waktu adalah cakrawala transendental dari pertanyaan tentang keberadaan: untuk menunjukkan  waktu adalah milik rasa keberadaan.
Heidegger ingin menerapkan prinsip fenomenologis yang menyatakan perlunya "kembali ke hal-hal itu sendiri ."
Kebaruan pendekatan Heidegger terletak pada kenyataan  untuk melaksanakan tujuannya ia menganggap perlu untuk melakukan "analisis eksistensial" terhadap apa yang disebutnya Dasein ("keberadaan di sana). Heidegger ingin menerapkan prinsip fenomenologis yang menyatakan perlunya "kembali ke hal-hal itu sendiri," tanpa memerlukan konstruksi metafisik. Ia ingin mendobrak dominasi teori dan skema subjek-objek tradisionalnya, dan menyoroti praksis sebagai cara primordial dan istimewa yang digunakan manusia untuk mengakses dunia dan, akibatnya, keberadaan; suatu bentuk yang tidak memerlukan pengetahuan teoritis karena bersifat sebelumnya.
Kapan Dasein mencapai kepenuhan dan totalitas Adanya? Dalam kematian (Tod). Kematian adalah zenit dari totalitas Ada Dasein  persis pada titik itu pula Dasein kehilangan Adanya, suatu nadir ontologis, karena Dasein berhenti sebagai Ada-di-dalamdunia.   Suatu paradoks dari ada dan tiada di satu titik yang disebut kematian. Seperti sebelum kelahiran tak ada pra-eksistensi jiwa ala Platon, begitu setelah kematian tak ada keabadian seperti dibayangkan agama-agama monoteis. Dasein berhenti dengan kematiannya dan berubah menjadi entah Vorhandenes (mayat tak dipakai) atau Zuhandenes (misalnya, bahan utopsi).
Selebihnya, misalnya keabadian(omong kosong), ada di luar jangkauan Ada dari Dasein. Namun Heidegger menyisakan suatu ruang untuk menghormati Dasein yang telah berhenti itu. Manusia yang mati 'lebih' daripada seonggok daging menjadi almarhum yang bermartabat. Kontak dengan Adanya tidak berhenti. Bukan keabadian jiwa yang diacu di sini, melainkan pengalaman akan dunia-bersama (Mitwelt) yang masih membekas pada mereka yang ditinggalkan. Â Hubungan dengan yang mati seolah masih 'bermukim' di dalam dunia-bersama itu, sehingga yang mati 'lebih' daripada sekedar jenasah. Â
Oleh karena itu, Heidegger menolak gagasan "objektivitas" sebagai sesuatu paling banter "turunan": ia berpikir  kehidupan harus dipahami dari dirinya sendiri dan  kehidupan harus dialami sebagai peristiwa yang tidak tetap, dan  tidak objektif. Dari posisi tersebut, konsep modern tentang "aku" tidak mungkin, seperti yang  menurut pendapatnya - dimaksudkan oleh Husserl (dan seluruh modernitas), adalah sesuatu yang absolut, namun pada hakikatnya bersifat historis. "Keberadaan di sana" Heidegger bukanlah kesadaran murni atau sesuatu yang diberikan pada saat ini; Sebaliknya, ini adalah peristiwa yang terjadi antara kelahiran dan kematian. Ia harus mengasumsikan keterbatasannya dan, karena ia diwujudkan, ia harus dipahami sebagai faktisitas: kehidupan faktualnya adalah kehidupan "yang ada di dalam dunia", bersifat temporal dan historis.
Titik awal bagi Heidegger tidak lain adalah kehidupan faktual karena, di antara entitas, hanya "berada di sana" yang bersifat ontologis: "berada di sana" bukanlah "apa", "sesuatu", tetapi merupakan satu-satunya yang ada. yang ditentukan, dalam faktisitasnya, oleh keberadaan, sehingga menjaga hubungan dengan keberadaan; Itulah sebabnya hanya dia yang dapat bertanya tentang makna keberadaan, karena hanya dia yang ada. Dengan demikian, pemahaman tentang keberadaan itu sendiri merupakan sebuah penentuan keberadaan dari "keberadaan di sana."