Di atas Sungai Bengawan Solo
Kereta terus melaju, dari hawa dingin hingga hiruk pikuk
kota yang tak pernah puas.
Sementara es mencair di gerbong
dan meninggalkan jejak kematian di rel,
kenyataan menang atas mimpi.
Semua anak sungai dari Bengawan Solo
menciptakan gurun mengalir
ke dalam pembusukan, dan dengungan lalat
menghilangkan bau busuknya.
Ada kota yang sama di mana-mana
dan korbannya bisa dipertukarkan.
Waktu selalu berwarna hitam
di mata kupu-kupu yang sangat besar.
Retorika  disajikan dengan baik
untuk lidah yang tahu cara menggulung.
Makhluk yang menimbulkan kegelapan
mendorong dari kedalaman mata.
Mereka menghasilkan kesedihan yang membangkitkan
mekanisme kuantum kesepian dan ketakutan.
Kecacatan makhluk gelap dari Bengawan Solo
muncul dan menanamkan dalam diri kita luka imajiner,
tektonik tak berguna yang terbengkalai,
jurang dan magma yang muncul ke tepi
kehampaan yang tak mau terisi.
Bengawan Solo
Dia tahu dia pernah ke sana, berdua tahu
bahwa itu bukan masa lalu atau masa depan,
tapi mata hitam dalam ingatan
menulis biografinya yang tidak layak untuk kita.
Apa yang hilang tetap ada dalam kehebatannya
dan hanya bensin yang dituangkan ke dalam bara api.
nyala api menjadi kuat
ketika hendak padam.
Setiap hari dia adalah makhluk yang lurah cawe-cawe.
Mayat Hidup di Sungai Bengawan Solo
ditumpuk di tubuh orang yang mengakhiri
dan menafsirkan pertanda orang yang datang.
Perpecahan terus berlanjut di kejauhan,
memperkuat ramalan
perpisahan yang membuat kita tetap
bersatu dalam benang nostalgia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H