Artinya Kebahagiaan yang bisa dicapai melalui sikap tabah bukanlah perasaan yang meluap-luap "bersorak-sorai ke langit" (dan tidak diikuti dengan pendaratan darurat dalam "mati sampai mati"), melainkan kebahagiaan yang tenang dan konstan, keadaan yang membuat orang berdaulat, biarkan mereka menghadapi badai kehidupan dengan riang dan tenang. Pembelajaran seumur hidup dan pendidikan mandiri adalah sine qua non untuk mencapai kedamaian pikiran dan kebijaksanaan. Dan ini  termasuk pengendalian pengaruh (misalnya ketakutan, kemarahan, kesedihan, harta, jabatan, jodoh,) melalui rasa akal budi manusia sebagai Keutamaan.
Serat Nawaruci ,  Nrimo Ing Pandum dan nilai  bukan pertanyaan tentang sifat esensial dari afek yang menentukan, melainkan pertimbangan: apa yang memicu afek tersebut. Jawabannya: penilaian nilai yang "salah" tentang hal-hal di dunia luar. Dan baginya ada dua kategori: hal-hal yang berada di bawah pengaruh orang yang bersangkutan dan hal-hal yang tidak berada di bawah pengaruh mereka. Jadi manusia Jawa atau Indonesia lama sesuai teks Serat Nawaruci harus belajar membedakan. Dia menghargai barang-barang eksternal seperti kekayaan, kecantikan, reputasi, kesuksesan, tetapi dia tidak bergantung pada mereka secara internal. Dia tidak memiliki kendali atas dirinya. Dan ketika barang-barang tersebut hilang darinya, dia tidak merasa dirugikan atau ditimpa musibah, tetapi mengatakan bahwa dia hanya "mengembalikan" barang tersebut.
Serat Nawaruci dan Nrimo ing Pandum adalah bentuk  "Refleksi diri",  dianggap sebagai bukti  mengambil banyak pengalaman yang telah diturunkan dalam perjalanan manusia Nusantara. Serat Nawaruci ingin mengatakan  "Lakukan tugas dan panggilan hidup Anda, tetapi tidak seperti mesin tanpa jiwa atau seperti seseorang yang ingin dikasihani atau dikagumi, hanya ingin Yang Satu [Tuhan] itu: operasikan dan anggap diri sendiri sebagai pertimbangan untuk tuntutan komunitas manusia untuk mewujudkan Memayu hayuning bawana.
Tidak ada yang konstan, semua fenomena tunduk pada perubahan dinamis. "Seseorang takut akan transformasi? Apa yang bisa terjadi tanpa transformasi? Apa yang lebih berharga dan lebih akrab dengan sifat alam semesta? Bisakah Anda membasuh diri dengan hangat jika kayunya api bakar tidak berubah? Bisakah Anda memberi makan, kecuali jika perubahan makanan? Dapatkah hal lain yang berguna dicapai tanpa perubahan? Tidakkah Anda melihat, bahwa perubahan Anda sendiri serupa dan sama pentingnya dengan sifat alam semesta sebagai wujud apa yang disebut "Manunggaling Kawulo Gusti" ?"
Bersambung ke tulisan ke 2. Â terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H