Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Apa Itu "Sangkaran Paraning Dumadi"?

17 April 2021   20:06 Diperbarui: 17 April 2021   20:18 1271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa itu "Sangkan Paraning Dumadi" [1]

"Sangkan Paraning Dumadi" memiliki banyak  sudut pandang, dan episteme yang berbeda-beda. Tetapi yang jelas "Sangkan Paraning Dumadi" dapat dimakni cara manusia berada [bereksistensi] dalam artian dokrin mental Jawa Kuna [Indonesia lama} untuk memahami makna kehidupan. Makna kehidupan pada tatanan "Sangkan Paraning Dumadi" adalah cara philosphia bahwa hidup manusia itu bersifat "siklis". Kata Siklus atau Siklis ini memiliki hakekat tiga hal, [a] manusia itu dari mana, [b] sekarang ada dimana, dan [c] menuju kemana/tujuan telos akhir.  Dalam bahasa lain disebut sebagai alam purwo [metafora pada Candi Sukuh,candi Cetho}, alam madyo [hidup saat ini, dan menuju alam akhir atau disebut alam wasono.

Jika "Sangkan Paraning Dumadi" memiliki makna siklis maka dia juga bermakna manusia itu adalah "berproses menjadi {will being}. Proses dari, dan menuju "ke". Karena "Sangkan Paraning Dumadi" adalah bagian dari proses ini berarti  inti kehidupan dokrin Jawa Kuna memerlukan cara memahami hidup yang baik, benar, dan tepat. Dan jika ini berjalan maka apa yang disebut telos atau tujuan manusia bisa tercapai atau didalam bahasa ungkapan dikenal "Rahayuning Bawono Kapurbo Waskithaning Manungso" (Selaras-Menjaga Kelestarian dan Keselarasan Hubungan dengan Tuhan, Alam, dan Manusia). Proses dari, dan menuju "ke" bukan secara nalar akal rasional tetapi melalui rasa maka manusia bisa memahami hidup atau di sebutkan dalam "Wayang Bima (manusia) menemukan dan mengenali dirinya sendiri" (sebagai proses).

Kata memahami hidup sebagai "siklus pada "Sangkan Paraning Dumadi" dapat dipahami setidaknya pada tiga hal [a] memahami dalam artian batas rasional [lahiriah], [d] cara memahami dengan batin [utamanya raso manusia, [c] cara memahami dengan cara tradisi dalam artian luas dan mendalam termasuk alam Gaib; [lihat dan baca Kapitayan Jawa, dan lihat tulisan saya pada Konsep Filsafat MKG/Manunggaling Kawulo Gusti"};

Maka implikasi pada 4 cara tersebut akan menghasilkan cara memahami dalam tatanan "sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa".; maka keutamaan manusia Jawa adalah "Rasa" tanpa ini maka hidup bukanlah hidup. Tidak mungkin manusia bisa bertemu dengan Tuhan tanpa menggunakan rasa, begitu juga hubungan dengan sesama manusia "rasa/perasaan menjadi penting agar hidup bisa tentram, tidak konflik kiri kanan , dan seterusnya.

Utama manusia itu ada dalam rasa. Tetapi ini tidak cukup dipahami saja, tetapi perlu proses internalisasi pada "pembiasaan cara hidup" [diologi sistem nilai, norma, pandangan dunia), dan tindakan (perbuatan itu sendiri),  hormat pada apapun, sehingga bisa menghasilkan "inti Manusia Jawa  bila tangannya terartikulasi melakukan tanpa kesadaran, tapi tangannya paham, hati paham, mata paham, kuping paham, mulut paham, semua paham secara semua spontan.

Pembisaan habitus Jawa secara utuh tanpa tercerai berai untuk menghasilkan apa yang disebut dalam filsafat sebagai Roh objektif Ausdruck (ungkapan nyata cara hidup). Lewat Habitus ini maka manusia Jawa akan mengalami apa yang disebut hidup sebagai penghayatan bersifat Otentik atau primodial sebelum dipikirkan [sembah cipto] kemdian menjadi perilaku disebut Erlebnis (masyarakat dan individu). Itulah hasil dari kemampuan manusia pada pertukaran simbol dalam percakapan dan kehidupan batinnya. Atau pada sisi bahasa sastra dikenal dengan cara budi bahasa (Hanacaraka);

Saya kira melalui proses demikian maka Ide dasar dokrin mental Manusia Jawa Kuna  ialah, semuanya yang ada merupakan suatu kesatuan yang teratur (kosmos), berkat suatu prinsip yang menjamin kesatuan itu, yakni jiwa dunia (logos). Logos itu tidak lain dari Budi Ilahi, yang menjiwai segala, dan penyatuan diri manusia. Maka kata menyatu (manunggaling) dapat memperoleh tempat.

Lalu bagimana penjelasan "Sangkan Paraning Dumadi" dapat dipahami? Tentu tidak mudah, kompetensi batin, kemampuan tafsir Hermeneutika Semitioka diperlukan bahkan harus bersifat melampaui. Tanpa cara ini tidak bisa kita memahami apa itu "Sangkan Paraning Dumadi"

Bersambung ke tulisan ke 2_

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun