Apa itu "Kementhus Ora Pecus"?
Secara umum "Kementus' atau Kemaki berarti sombong, angkuh, pongah. "Ora" artinya "tidak", dan kata "Pecus , becus" artinya bisa, mampu, sanggup, memiliki kompetensi melakukan sesuatu. Maka ["Kementhus Ora Pecus"] arti harafiahnya adalah "berlagak pintar tetapi sebenarnya tidak atau gagal paham.  Tetapi arti transliterasi atau kebatianan tidak bisa dibaca sebagaimana arti harafiahnya. Kalimat ini  bermakna alegoris, metafora, bahkan melampaui literasi umum.  Dalam tradisi hermeneutika Wilhelm Dilthey, ini adalah gambaran roh/jiwa/mental atau batin (verstehen) sebagai ungkapan expresi dan bukan erklaren.
Maka  sikap  manusia ["Kementhus Ora Pecus"]  dapat ditafsir lebih luas dan mendalam misalnya dokrin ini bernilai untuk menciptakan kondisi tidak harmois seperti yang ditulis Niels Mulder, Javanism: The Background of Kebatinan.
Lalu mengapa ini berhubungan dengan kebatianan?. Â Karena dokrin ini berasal pada rerangka pemikiran Serat Wedatama pada era Mangkunegara IV.Â
"Kementhus Ora Pecus" adalah pengembangan rasa yang menjadi tolok ukur pertumbuhan batin. Tahapan  untuk mewujudkan keyakinan  seseorang hidup sejalan dengan Kehidupan, dan memiliki akses ke kebenaran secara langsung, tanpa perantara, menarik kekuatan dari 'Tuhan' sementara, pada saat yang sama, menjadi independen dari sumber kebenaran di luar diri yang paling dalam. Maka "Kementhus Ora Pecus" dianggap sebagai penghalang proses dan menjadi ilmu kebatinan cara Jawa Kuna yang juga pada akhirnya dapat dipengaruhi oleh sinkretisme budaya, dan sains.
Dan ["Kementhus Ora Pecus"] sesungguhnya semua "Wawelar vs Pituduh" di Jawa Kuna atau Indonesia lama  adalah proses Mistisisme Jawa yang mendasari adalah metafisika yang kompleks dan rumit: "manusia secara aktif dan tak terelakkan berpartisipasi dalam kesatuan yang mencakup semua keberadaan material dan spiritual. Aspek spiritual lebih unggul, lebih benar sebagaimana adanya. Harmoni dan persatuan dengan esensi tertinggi adalah tujuan dari semua kehidupan. Alam dan supernatur saling mempengaruhi satu sama lain, dan kausalitas tersirat dalam koordinasi harmoni diantara mereka "
Kata metafora atau Wawelar (larangan) ini berasal pada teks Mangkunegara IV yang tertuang dalam Serat Wedatama pupuh pucung bait ke-06 adalah [" Durung pecus, kesusu kaselak besus"]. Pada kata, ndurung, dereng artinya belum, pecus, becus artinya bisa, mampu sesuatu. Kesusu, kesesa artinya tergesa-gesa/terburu-buru melakukan sesuatu. Keselak, keselek kata dasarnya selak, selek artinya cepat-cepat (dadakan) segera. Besus artinya serba bersih dan baik, benar.
Lalu pertanyannya adalah apa  makna larangan atau wawelar ["Kementhus Ora Pecus"]?. Jawaban yang mungkin adalah menggunakan 3 pendekatan saling berkaitan antara kebatinan, sinkretisme budaya, dan sains.
- ***********__ Sedangkan telos atau tujuan larangan atau Wawelar /laranagan bersikap ["Kementhus Ora Pecus"] mengarahkan diri pada perilaku Etika Jawa (virtue), menuju   persatuan dengan Tuhan atau MKG (Manunggaling Kawula Gusti). Etika Jawa yang saya maksud "jangan membuat malu" atau memalukan, tidak tahu malu, dll;  semacam dua (dokrin mental "isin, wedi"). Mental (malu, dan takut), dalam konotasi ini sebagai bentuk kualitatif maka hanya dapat ditempuh dengan jalur "Rasa bukan Rasio". Maka keutamaan adalah proses diri menjadi dan menghasilkan apa yang disebut "Sembah Roso"___***************.
Makna (1) wawelar ["Kementhus Ora Pecus"], jika meminjam pendekatan yang lebih konvensional terhadap frasa tersebut adalah dengan melihatnya sebagai paradoks referensi-diri. Paradoks referensi diri yang paling terkenal adalah frasa "berbohong", tidak tepat, lalai, atau ceroboh. Â
Dalam kaitannya dengan sains dan pengetahuan, paradoks berfungsi sebagai indikasi argumen logis itu cacat, atau bahwa cara berpikir tersebut akan membuahkan hasil yang buruk. Hal ini dapat terjadi diperbaiki dengan  membentuk sistem, dan bagaimana sistem ini kemudian dapat menjadi sadar diri melalui proses referensi diri.
Makna (2)  wawelar pada ["Kementhus Ora Pecus"] adalah karena saya tidak bisa mempercayai kapasitan dan kemampuan otak saya.  Bayangkan pertanyaan ini: "Apakah Kucing  itu nyata?". Jika pada siang hari, jawabannya langsung terlihat karena cukup mengarahkan tangan  ke kucing dan berkata: "Ya, tentu saja kucing  itu nyata. Itu ada.  Tapi kemudian, dikaji  jatuh ke dalam sesuatu  disebut mengalamu  masalah regresi tak terbatas.Â
Artinya, setiap bukti yang dimiliki, harus didukung oleh bukti lain, dan bukti itu pun harus didukung oleh bukti lain. Pendiri rasionalisme modern  Descartes melangkah lebih jauh dengan regresi tak terbatas,  dia membayangkan seluruh dunia hanyalah ilusi rumit yang diciptakan oleh Iblis Jahat yang ingin menipunya. Seperti yang diperlihatkan oleh skenario Iblis Jahat, regresi tak terbatas akan sering turun jauh sehingga akan menantang apakah informasi yang masuk ke otak itu nyata atau tidak.
Jadi, jika semua informasi yang di terima melalui indra adalah ilusi, maka anda tidak tahu apa-apa. Pada sisi lain ada argumen berlawanan  Descartes mengemukakan ungkapan " Saya pikir, karena itu saya ada (I think the for I am). Ini menghentikan kemunduran tanpa batas karena tidak mungkin meragukan keberadaan diri sendiri karena hanya dengan berpikir, anda membuktikan bahwa kesadaran memang ada. Dan argumen tandingan filosofis lainnya adalah  beberapa pernyataan tidak memerlukan bukti agar dapat disebut benar. Ini disebut kebenaran yang terbukti dengan sendirinya, dan mencakup pernyataan seperti 4+4 = 8.
Makna ke (3)   wawelar pada ["Kementhus Ora Pecus"] adalah karena dunia fisik tidak nyata.  Pada gagasan Platon, mengacu pada salah satu idenya "teori bentuk". Pada teori bentuk, dunia fisik yang kita tinggali, tempat anda dapat membaca artikel ini di smart phone atau memegang segelas kopi pahit sebenarnya hanyalah bayangan.Â
Maka dunia nyata adalah dunia "ide" atau "bentuk". Ini adalah esensi non-fisik yang ada di luar dunia fisik. Segala sesuatu dalam dimensi kita hanyalah tiruan mimesis, repetisi, atau proyeksi dari bentuk, atau hanya gagasan semata-mata.
Makna ke (4)  wawelar  pada ["Kementhus Ora Pecus"], sebagai "wawelar" atau larangan karena memang mengakui bahwa persepsi seseorang bisa salah, seperti dalam kasus halusinasi, atau mimpi, atau sumber lainnya (yaitu, kesan pada pikiran, hasil dari penilaian otomatis , kita akan mengatakan tidak sadar), tetapi juga bahwa pelatihan yang tepat memungkinkan seseorang untuk membuat kemajuan dalam membedakan kesan kataleptik dari kesan non-kataleptik (yaitu, kesan yang secara wajar kita dapat memberi atau menahan persetujuan).Â
Menyerap sejumlah impresi, karena itu adalah akumulasi impresi yang mengarah pada pembentukan konsep dan kemajuan bertindak berpikir. Â Hanya dengan cara ini bisa membedakan antara opini (lemah, atau salah), ketakutan (dicirikan oleh nilai epistemik menengah), dan pengetahuan (yang didasarkan pada kesan tegas yang tidak dapat diubah oleh alasan).Â
Memberi persetujuan dengan berpegang pada pandangan teori korespondensi kebenaran.  Misalnya pada filsafat Cicero memberitahu bahwa Zeno menyadari  kesan yang sama dapat berasal dari sesuatu yang ada, atau tidak ada, jadi dia mengubah pendiriannya;
Makna ke (5)  wawelar  pada ["Kementhus Ora Pecus"],  sebagai "wawelar" atau larangan karena bagi orang Jawa Kuna, tindakan itu bersifat subjek teoretis, tetapi juga subjek yang sangat praktis. Etika Jawa dipahami sebagai studi tentang bagaimana menjalani kehidupan seseorang  adalah inti dari melakukan filsafat MKG (Manunggaling Kawula Gusti).Â
Itu bukanlah tugas yang mudah: Ruang kehidupan manusia Jawa di metaforakan sebagai rumah sakit: Anda tidak boleh keluar dari ruangan itu dalam keadaan senang, tetapi dalam kesakitan,  karena Anda tidak dalam keadaan baik kondisi saat Anda tiba didunia ini! " Titik awal  adalah dikotomi kontrol yang terkenal, seperti yang diungkapkan: "Kami sebagai manusia bertanggung jawab atas beberapa hal, sementara ada hal lain yang tidak dapat kami pertanggungjawabkan" ("Beberapa hal terserah kami, hal lain tidak terserah kami").
Motto awal Etika Jawa terkenal dalam etika adalah "mengikuti alam" (atau "hidup sesuai dengan alam"), yang diartikan sebagai aspek pemeliharaan-rasional dari kosmos dan lebih khusus lagi sifat manusia, yang mereka anggap sebagai  hewan sosial yang mampu membawa penilaian  batiniah untuk menghadapi masalah yang ditimbulkan oleh cara menjalani hidup. Â
Dalam bahasa filafat saya menyebutnya sebagai gagasan mengikuti sifat (manusia) ini adalah  sebagai afinitas, atau apropriasi. Bagi Etika Jawa, manusia memiliki kecenderungan alami untuk berkembang secara moral,  dimulai seperti apa yang sekarang disebut naluri dan kemudian dapat sangat diperhalus dengan permulaan usia mimesis (tauladan) masa kanak-kanak dan seterusnya.
Dengan adanya ["Kementhus Ora Pecus"],  sebagai "wawelar" atau larangan, secara khusus, dan  alami: (i) berperilaku sedemikian rupa untuk memajukan minat dan tujuan manusia Jawa (kesehatan, kekayaan, dan sebagainya); (ii) mengidentifikasi dengan kepentingan orang lain (awalnya orang tua kita, kemudian teman, alam sekitar, kemudian sebangsa); (iii) mencari cara untuk secara praktis menavigasi perubahan-perubahan dalam kehidupan.Â
Dengan etika (tindakan) ini menghubungkan kecenderungan  secara langsung dengan empat kebajikan utama yaitu kesederhanaan, keberanian, keadilan, dan kebijaksanaan praktis. misalnya, kebijaksanaan praktis mencakup penilaian yang baik, kebijaksanaan, akal sehat ; kesederhanaan dapat dipecah menjadi kesopanan, rasa hormat, pengendalian diri; keberanian dibagi menjadi ketekunan, kepercayaan diri, kemurahan hati; dan keadilanterdiri dari kesalehan, kebaikan, keramahan.
Filsafat MKG dapat menarik serangkaian paralel antara empat kebajikan,  apa yang disebut sebagai tiga disiplin: keinginan, tindakan, dan persetujuan. Dokrin "sabar Nrimo" atau "Nrimo Ing Pandum" dapat saya jelaskan metafora  seekor anjing yang diikat ke gerobak pemulung Kota Solo: anjing bisa melawan gerakan gerobak di setiap inci, sehingga melukai dirinya sendiri dan berakhir dengan sengsara; atau dapat memutuskan untuk mengikuti perjalanan dengan hati-hati dan menikmati panorama langkah pemulung tadi. Â
Atau dalam tulisan saya di Kompasia semacam apa yang dikatakan  Nietzsche sebagai amor fati (mencintai seluruh  takdirmu untung malang suka duka, dst),  atau "bertahan [apa yang dilemparkan alam semesta] dan tinggalkan [apa yang tidak diizinkan oleh alam semesta]". Akibatnya, orang Jawa dalam tradisinya taat dan  mengikuti tatanan kosmos, dan kesederhanaan dapat mengendalikan keinginan.
Simpulan makna ["Kementhus Ora Pecus"], Â sebagai "wawelar" atau nasehat larangan cocok dengan apa yang dikatakan Socrates "Yang saya tahu bahwa saya tidak tahu apapun ["I know that I know nothing"]. Sebuah sikap dasar moral kerendahan hati dan jiwa manusia paling dalam. Semoga Demikian, Terima kasih_- Rahayu-rahayu Seagung Dumadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H