Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Apa Itu "Kementhus Ora Pecus"?

17 Januari 2021   15:27 Diperbarui: 17 Januari 2021   16:37 13419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Pribadi Penulis

Artinya, setiap bukti yang dimiliki, harus didukung oleh bukti lain, dan bukti itu pun harus didukung oleh bukti lain. Pendiri rasionalisme modern  Descartes melangkah lebih jauh dengan regresi tak terbatas,  dia membayangkan seluruh dunia hanyalah ilusi rumit yang diciptakan oleh Iblis Jahat yang ingin menipunya. Seperti yang diperlihatkan oleh skenario Iblis Jahat, regresi tak terbatas akan sering turun jauh sehingga akan menantang apakah informasi yang masuk ke otak itu nyata atau tidak.

Jadi, jika semua informasi yang di terima melalui indra adalah ilusi, maka anda tidak tahu apa-apa. Pada sisi lain ada argumen berlawanan  Descartes mengemukakan ungkapan " Saya pikir, karena itu saya ada (I think the for I am). Ini menghentikan kemunduran tanpa batas karena tidak mungkin meragukan keberadaan diri sendiri karena hanya dengan berpikir, anda membuktikan bahwa kesadaran memang ada. Dan argumen tandingan filosofis lainnya adalah  beberapa pernyataan tidak memerlukan bukti agar dapat disebut benar. Ini disebut kebenaran yang terbukti dengan sendirinya, dan mencakup pernyataan seperti 4+4 = 8.

Makna ke (3)   wawelar pada ["Kementhus Ora Pecus"] adalah karena dunia fisik tidak nyata.  Pada gagasan Platon, mengacu pada salah satu idenya "teori bentuk". Pada teori bentuk, dunia fisik yang kita tinggali, tempat anda dapat membaca artikel ini di smart phone atau memegang segelas kopi pahit sebenarnya hanyalah bayangan. 

Maka dunia nyata adalah dunia "ide" atau "bentuk". Ini adalah esensi non-fisik yang ada di luar dunia fisik. Segala sesuatu dalam dimensi kita hanyalah tiruan mimesis, repetisi, atau proyeksi dari bentuk, atau hanya gagasan semata-mata.

Makna ke (4)  wawelar  pada ["Kementhus Ora Pecus"],  sebagai "wawelar" atau larangan karena memang mengakui bahwa persepsi seseorang bisa salah, seperti dalam kasus halusinasi, atau mimpi, atau sumber lainnya (yaitu, kesan pada pikiran, hasil dari penilaian otomatis , kita akan mengatakan tidak sadar), tetapi juga bahwa pelatihan yang tepat memungkinkan seseorang untuk membuat kemajuan dalam membedakan kesan kataleptik dari kesan non-kataleptik (yaitu, kesan yang secara wajar kita dapat memberi atau menahan persetujuan). 

Menyerap sejumlah impresi, karena itu adalah akumulasi impresi yang mengarah pada pembentukan konsep dan kemajuan bertindak berpikir.  Hanya dengan cara ini bisa membedakan antara opini (lemah, atau salah), ketakutan (dicirikan oleh nilai epistemik menengah), dan pengetahuan (yang didasarkan pada kesan tegas yang tidak dapat diubah oleh alasan). 

Memberi persetujuan dengan berpegang pada pandangan teori korespondensi kebenaran.  Misalnya pada filsafat Cicero memberitahu bahwa Zeno menyadari  kesan yang sama dapat berasal dari sesuatu yang ada, atau tidak ada, jadi dia mengubah pendiriannya;

Makna ke (5)  wawelar  pada ["Kementhus Ora Pecus"],  sebagai "wawelar" atau larangan karena bagi orang Jawa Kuna, tindakan itu bersifat subjek teoretis, tetapi juga subjek yang sangat praktis. Etika Jawa dipahami sebagai studi tentang bagaimana menjalani kehidupan seseorang  adalah inti dari melakukan filsafat MKG (Manunggaling Kawula Gusti). 

Itu bukanlah tugas yang mudah: Ruang kehidupan manusia Jawa di metaforakan sebagai rumah sakit: Anda tidak boleh keluar dari ruangan itu dalam keadaan senang, tetapi dalam kesakitan,  karena Anda tidak dalam keadaan baik kondisi saat Anda tiba didunia ini! " Titik awal   adalah dikotomi kontrol yang terkenal, seperti yang diungkapkan: "Kami sebagai manusia bertanggung jawab atas beberapa hal, sementara ada hal lain yang tidak dapat kami pertanggungjawabkan" ("Beberapa hal terserah kami, hal lain tidak terserah kami").

Motto awal Etika Jawa terkenal dalam etika adalah "mengikuti alam" (atau "hidup sesuai dengan alam"), yang diartikan sebagai aspek pemeliharaan-rasional dari kosmos dan lebih khusus lagi sifat manusia, yang mereka anggap sebagai  hewan sosial yang mampu membawa penilaian  batiniah untuk menghadapi masalah yang ditimbulkan oleh cara menjalani hidup.  

Dalam bahasa filafat saya menyebutnya sebagai gagasan mengikuti sifat (manusia) ini adalah  sebagai afinitas, atau apropriasi. Bagi Etika Jawa, manusia memiliki kecenderungan alami untuk berkembang secara moral,   dimulai seperti apa yang sekarang disebut naluri dan kemudian dapat sangat diperhalus dengan permulaan usia mimesis (tauladan) masa kanak-kanak dan seterusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun