Lebih jauh, kaum Sinis mengklaim bahwa hidup seperti itu adalah hidup yang layak dijalani. Sebagai seorang tunawisma dan pengasingan yang tidak punya uang, Diogenes mengalami kemalangan terbesar yang ditulis oleh para tragedi, namun dia bersikeras menjalani kehidupan yang baik: "Dia mengklaim bahwa untuk keberuntungan dia dapat menentang dengan keberanian, untuk konvensi alam, untuk alasan gairah"
Dengan meminjam Perjumpaan atau Dialog antara Diogenes dari Sinope dengan Alexander Agung, maka kata ["blusukan"], dapat saya artikan "cara pemimpin mencari dan menemukan kebenaran, kebaikan "Res Publica" melalui fakta "kosmopolites ('warga dunia')".
Artinya ["blusukan"] adalah: (a) sikap mental mau melakukan kritik diri sendiri, (b) cara memandang yang tak berubah, mencari kebenaran pada fakta data realitas (symbol matahari), (c) melalui kebenaran menghadirkan kejujujuran, (d) dengan kejujuran menghasilkan keadilan, (e) keutamaan manusia adalah hidup outentik, dengan "kebijaksanaan/virtue, akal sehat" (f) memperluas cara pandang terhadap kosmopolites ('warga dunia') tanpa ada yang di sebut "Ide tunggal yang bersifat fixed", (g), memastikan bahwa antara pikiran dan tindakan adalah sama [pikiran representasi pimpinan, sedangkan tindakan berupa gerak tangan representasi tindakan bawahan; (h) akhirnya ["blusukan"], berfungsi sebagai aktivitas "Res Publica" (1) menemukan kekeliruan/"ignorance", dan (2) menjadi cita-cita positif untuk dikembangkan demi mutu martabat manusia; Â
Inti  ["blusukan"], adalah identic dengan kata "kosmo" atau menata keteraturan, dalam konteks memastikan "kosmopolites ('warga dunia') hidup sesuai dengan kosmos sebagai warga yang (berbudi luhur), atau dalam Rousseau para warga dunia membanggakan diri bahwa mereka  mencintai semua orang. Dan ["blusukan"] tidak akan mendapatkan tempat makna apapun tanpa syarat utama pada "Kejujuran".Â
Jika saya meminjam rerangka pemikiran St. Aurelius Augustinus Hipponensis (354-430), maka ["blusukan"],  mematikan apakah polis atau tatanan Negara dan kekusaannya adalah perwakilan City of God ("De civitate Dei") atau kota Tuhan, atau membuat kota di bumi atau dunia (civitas terrena) adalah representasi  milik Tuhan ("civitas Dei"), dengan tanggungjawab moral kategoris imperative Kantian. Atau ["blusukan"], justru menacari fakta jangan-janan dia adalah tipe kota berhala atau "Civitas Diaboli" (city of the devil= kota iblis) atau dikuasi oleh kekeliruan/"ignorance". Maka ["blusukan"] adalah wujud praktik moral;
Kaum Stoa percaya melayani semua manusia dengan sama baiknya adalah tidak mungkin, dan layanan terbaik yang dapat diberikan seseorang biasanya membutuhkan keterlibatan politik pencitraan, dan apakah perisis disini makna versi ["blusukan"] di Indonesia?.
Simpulannya Pertama (I)Â
Jika saya meminjam rerangka persuasi "Aristotle" dimaknai lebih dalam lagi ontologis ["blusukan"] adalah ilmu dan seni strategi gaya kepemimpian "leader members exchange"  dengan menggunakan persuasion pada Ethos, Pathos, Logos, dan Kairos. Melalui cara ini akan dapat mengetahui "Jiwa khas suatu bangsa". Dalam artian strategi gaya kepemimpian  harus memenuhi aspek (a) pathos atau simpati, empati,  (b) Logos atau logika, rasionalitas, masuk akal, (c)  memiliki Kairos atau kondisi, waktu, untuk menghasilkan praktik "moralitas" terbaik;
Simpulan ke (II) Â jika dimaknai dalam ontologis Jawa Kuna atau Indonesia lama maka ontologis ["blusukan"] berarti:
(1)  kemampuan dunia lahir batin secara bakat alami oleh pemimpin untuk "menyatukan" semua unsur manusia, alam, Gusti Allah untuk menciptakan "harmonisasi" demi kepentingan stakeholders. Model ini saya adopsi dengan metafora "sadulur papat lima pancer", misalnya pernah saya tulis di Kompasiana alegori (a) timur, barat, utara, selatan, (b) neptu Jawa pasaran Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi, disatukan dengan model hari hitungan Wewaran: Redite/Minggu, Soma/Senen, Anggara/ Selasa, Buda/Rebo,  Wrespati/Kemis, Sukra/jumaat/ Jemuwah, Saniscara/sabtu / Setu, (c)  model wayang pandawa lima gaya leadership Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, (d) penyatuan diri leadership dengan data indrawi 4 sadulur (data Indrawi : hidung, mata, telinga, dan mulut), (e) model perjumpaan dengan  di trans substansikan; Sang Hyang Wening _Wisnu, Sang Hyang Wenang _ Brahma,  Wiwitan Sang Hyang Guring Tunggal_ Sang Hyang Guru Siwa,  Sang Hyang Tunggal_ Mandala Agung, dan disatukan dengan Sang Hyang Batara Kala" atau "Waktu" (f) Aesthetics Gamelan "Nang, Ning, Nung Neng, Gong"; dan seterusnya. Maka gaya kepemimpinan ["blusukan"] adalah tidak mudah seperti yang di katakan. Gaya kepemimpinan  ["blusukan"] Jawa jelas membutuhkan "presisi ketepatan waktu, dan ruang.  Kesalahan "ruang dan waktu" pada ["blusukan"] bisa menimbulkan malapetaka bahkan kehancuran;
(2) Jika saya meminjam rerangka mental MKG ("Manunggaling Kawulo Gusti"), maka gaya kepemimpinan ["blusukan"] dapat saya trans substansikan sumbu imajiner "Gunung Merapi, Kraton Jogja, dan Pantai Selatan, di ubah dalam tindakan seni [mimesis) pada Tugu Jogjakarta atau dikenal dengan nama "Tugu Golong-Gilig" atau kesatuan dan keharominsan antara rakyat, raja/pemimpin dan Tuhan.  Jadi gaya kepemimpinan ["blusukan"] memiliki nilai moral tertinggi sebagai panggilan keutamaan Jiwa Roso manusia sehingga memungkinkan adanya pengalaman mistik, dan empirik.  Seni Leader member pada "Blusukan' diandaikan seperti "perjumapaan"  seperti symbol alam  Laut Selatan-Panggung Krapyak-Keraton-Tugu Golong Gilig/Tugu Pal Putih-Gunung Merapi. Gaya "Leader member" melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya (Habluminallah), manusia dengan manusia (Habluminanas).