Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Apakah Arti "Blusukan"?

6 Januari 2021   12:28 Diperbarui: 6 Januari 2021   22:49 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah Arti  "Blusukan"?

Menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan   Kata blusukan secara etimologi berasal dari bahasa Jawa, dari kata dasar blusuk 'masuk' dan akhiran --an (afiks verba) yang berarti 'masuk-masuk ke tempat tertentu untuk mengetahui sesuatu'. Dalam bahasa Jawa blusukan merupakan verba, seperti dolanan 'bermain', sarungan 'memakai sarung', dan oyak-oyakan 'kejar-kejaran'. Kalau dibandingkan dengan bahasa Indonesia, afiks --an pada umumnya membentuk kata benda dan berarti 'hasil' atau yang di-', misalnya, arahan 'hasil mengarahkan atau yang dijadikan arah', rujukan 'yang dirujuk', pimpinan 'hasil memimpin', dan suruhan 'yang disuruh'. Jadi, kata blusukan diserap ke dalam bahasa Indonesia secara utuh.__ (Sumber Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan);

Pertanyaannya apakah jawaban seperti di susun oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dianggap memadai?. Jawabannya saya tidak tahu, tetapi menurut saya mungkin tidak cukup atau perlu diberikan warna diskursus lain supaya ada kedalaman dalam pemahaman pada {"Apa Arti  "Blusukan"}; Mengapa perlu perluasan tafsir hermeneutika?, karena kata {"Blusukan"} menjadi  tema penting dalam kontelasi politik Indonesia khususnya narasi pada proses, kemudian menjadi hadirnya Presiden Indonesia ke 7 saat ini. Tindakan {"Blusukan"}  semenjak beliau memegang jabatan sebagai Wali Kota Solo, berlanjut menjadi Gubernur DKI Jakarta. Dan kini tema {"Blusukan"} serupa diulangi kembali dalam tindakan dan gaya kepemimpinan Menteri Sosial ke 32, mantan Wali kota Surabaya. Beliau melakukan ["blusukan" ] pada hari pertama tugasnya sebagai Menteri Sosial diberbagai tempat di Jakarta.  

Merujuk pada sejarah ["blusukan" ]  dalam tradisi theoria atau filsafat, maka yang di catat dalam sejarah peradaban dunia adalah ketika Tuan Raja Agung Alexander (atau Alexander the Great) melakukan  ["blusukan" ] kepada Diogenes dari Sinope.  Maka narasi Diogenes dari Sinope berfungsi sebagai contoh bagi orang bijak Sinis di zaman kuno, akan saya pakai untuk melakukan trans subtansi pemikirannya guna menghadirkan makna semiotika hermeneutika bahkan melampaui pada makna Arti ("Blusukan"). Berikut ini makna trans literasi beyond perjumpaan ("Blusukan") antara Alexander muda dari Makedonia (kemudian dikenal sebagai "Agung") dan Diogenes dari Sinope.

Diogenes "terus mengatakan untuk menjalankan kehidupan manusia membutuhkan alasan yang benar". Untuk Diogenes, setiap individu harus memberikan alasan untuk memandu perilakunya, atau, seperti seekor binatang, dia harus dipimpin dengan tali; akal membimbing seseorang menjauh dari kesalahan dan menuju cara terbaik untuk menjalani hidup. Diogenes, kemudian, tidak memandang rendah pengetahuan seperti itu, tetapi membenci pretensi terhadap pengetahuan yang tidak memiliki tujuan.

Diogenes mencemooh kaum Sofisme. Bahwa semua pertumbuhan masyarakat bersifat artifisial, seperti status dan kekayaan, kekusaan, uang, jabatan, dan pada kenyataannya, dapat merusak jiwa manusia. Diogenes secara terbuka menghina cita-cita abstrak manusia seperti kinerja, prestasi, reputasi, hak milik, atau patriotisme ke negara-kota mana pun.  Apalagi jika tidak ada sikap alami manusia otentik dengan kejujuran  (metafora Diogenes "menyalakan lampu di siang hari bolong dan berkata, "Aku sedang mencari seorang manusia jujur").

Diogenes melakukannya demi mempromosikan akal dan kebajikan. Dan akal dan kebajikan pada akhirnya, bagi manusia untuk selaras dengan alam adalah menjadi rasional, karena sudah menjadi sifat manusia untuk bertindak sesuai dengan akal. Diogenes kesulitan menemukan manusia seperti itu, dan mengungkapkan perasaannya tentang kesulitannya secara teatrikal. Diogenes dalam pertunjukan wayangnya "menyalakan lampu di siang hari bolong dan berkata, "Saya sedang mencari seorang manusia".

Alexander berdiri di depan filsuf Diogenes dan berkata, "Saya Alexander sang raja agung." Yang ditanggapi Diogenes, "Saya Diogenes si anjing." Ketika Alexander bertanya apa yang telah dia lakukan untuk disebut anjing, dia berkata, "Saya menyukai mereka yang memberi saya apa pun, saya berteriak pada mereka yang menolak, dan saya mengatur gigi saya dalam bajingan. Pada pertemuan yang paling terkenal itu, Alexander bertanya kepada Diogenes apakah ada yang bisa dibantu dan dilakukan untuk anda Diogenes. Pada sat itu Diogenes,  sedang menikmati hangatnya matahari musim gugur, menjawab, silakan Anda "Minggir jangan berhenti menghalangi sinar cahaya matahari". Tanggapan yang tiba-tiba ini, menunjukkan penghinaan Diogenes terhadap kekuatan punggawa dan prestise pada diri Alexander. Meskipun pengawal pasukan Alexander tersinggung atas kekasaran Diogenes kepada raja mereka, Alexander sendiri malahan senang. Alexander pergi dengan berkomentar, "Jika saya bukan Alexander, saya ingin menjadi Diogenes".

Sindiran metafora semotika menyatakan "Saya Diogenes si anjing". Sebuah isi pesan moral adalah Diogenes sangat memuji nilai-nilai anjing dan menghargai fakta secara naluriah membedakan siapa teman dan siapa musuh. Mereka mengenali teman-teman dan mereka dengan ramah, sementara mereka yang tidak pantas diusir dengan digigit atau menggonggong. Anjing tidak peduli dengan status sosial atau harta benda; anjing tidak menjadikan dirinya budak dari keinginan dangkal yang begitu mengganggu hati manusia. Anjing menjalani kehidupan di masa sekarang dan tidak menyibukkan dirinya dengan gagasan abstrak yang dapat merusak harmoni tatanan; untuk mencari kebahagiaan sejati.

Memang gaya hidup Diogenes secara original dianggap sebagai bagian kaum Sinis atau skeptisisme, bahwa hidup yang selaras dengan nalar dihayati sesuai dengan alam, dan karenanya hidup selaras dengan nalar lebih besar dari batas-batas konvensi Negara dan tatanan  polis. Kritik yang ada dalam jiwa Diogenes adalah menunjukkan penghinaannya terhadap konvensi masyarakat dalam struktur Negara akibat sering membuat dokrin aturan yang bertentangan dengan "kebijaksanaan dan akal sehat".

Misalnya, bertentangan dengan kebiasaan orang Athena untuk makan di pasar masyarakat jelata, karena, seperti yang dijelaskannya ketika dicela, di pasar itulah dia merasa lapar. Jenis kegiatan yang paling memalukan melibatkan perilaku tidak senonohnya di pasar, adalah bentuk kritik pada kekuasaan yang arogan para punggawa negara dan tidak bermartabat, sekalipun mereka dibungkus dengan protokoler, bersama sekelompok negarawan, tentara, dan komandan kerajaan yang dibayar dari pajak rakyat.  Hal ini bertentangan dengan rumah huniannya  di bak mandi di antara pasar, mengemis untuk mencari nafkah, pindah dan bergerak dengan  lampu di siang hari bolong untuk mencari orang yang jujur di pasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun