Tafsir Filologi  Kata "Inggih"
Seringkali kesalahan dalam komunikasi antara manusia akibat kurangnya pengertian pada apa yang ingin disampaikan. Kata, dan bahasa adalah wujud kebudayaan [pengolahan] manusia dalam aspek raga [bahasa tubuh], aspek cipta [rasionalitas], aspek jiwa, dan aspek rasa. Maka sebuah kata dipastikan tidak hanya berisi secara lahiriah [formal] semata-mata tetapi melibatkan batiniah, aspek pengolahan diri kematangan emosional, dan tatanan sosial dalam hirarki masyarakat;
Pertanyaannya adalah mengapa dalam dialog atau komunikasi gaya bahasa Jawa, selalu dipakai kata ("Inggih"). Catatan kata Jawa disini tidak bisa dipahami dengan otak dangkal, tetapi kata "Jawi atau Jawa" bukan dimaknai sebagai suku atau etnis semata-mata, atau aliran darah. Itu bisa saja demikian, tetapi diskursus ini tidak mengambil cara itu.
Maka kata "Jawa" adalah makna cara memandang kehidupan [life choice] dalam internaliasi batin, dan lelaku hidup. Maka orang Kamboja, Orang Jerman, Orang Italia, orang Amerika bisa menjadi "Jawani" jika mampu menginternalisasi cara hidup, cara komunikasi dengan mengikuti suluh Jawa, demikian sebaliknya. Jadi kata "Jawa" adalah mengandung nilai-nilai universal dapat dipahami dan bukan dalam artian licik, picik, dan akal pendek;
Kembali kepada uraian sebelumnya kata ("Inggih"), memiliki makna dalam struktur sosial masyarakat pada nilai dalam cara bahasa {"Ngoko, Krama, Krama Inggil}. Hal ini menunjukkan rasa {"Jawa mementingkan Roso"] dalam hubungan dengan orang tua, punya posisi sosial, dengan sederajat, dan dengan bawahan atau anak lebih muda. Ini adalah symbol tatanan rasa hormat, menghormati agar hidup "Rukun" non konflik;
Makna hidup "Rukun" non konflik; berarti tidak ada konflik batin ["absennya"] perselisihan dengan sesama, dengan alam, dengan roh-roh termasuk alam gaib. Maka semua bahasa menunjukkan harmoni atau kemanggalan manusia tahu diri, bisa menempatkan diri, tahu malu, dan takut salah [hidup harus hat-hati]. Maka ada istilah "Wedi, dan Isin" kata takut dan malu sebagai symbol tidak boleh menempatkan segala sesuatu yang tidak pada tempatnya;
Bagimana supaya tercipta harmoni, maka kata ("Inggih"), dinyatakan dokrin mental yang disebut ("eling atau " iling"). Posisi diri kita harus menjadi memiliki "sopan santun" mendahului sebelum tindakan, ucapan, gerak tubuh, dan mental pada ("eling atau " iling").
Personifikasinya adalah ingat atau kemampuan mengingatkan apapun pada diri kita {kematangan olah batin}. Ingat usiamu, ingat statusmu, ingat dosamu, ingat agamamu, ingat orang tuamu, ingat matimu, ingat asal usulmu, {semacam mengarah pada ajaran uwur-uwur: "Bibit, Bebet, dan Bobot"]. Dengan cara repleksi menjadi "pembisaan" maka baru disebut dia sebagai manusia yang tegak atau Ugahari;
Dengan latar belakang penjelasan ini, maka kata "Inggih" harus dipahami, secara "subtil" ["halus"]. Kata "Inggih" bukan berarti setuju, (meng- iya -kan). Kata "Inggih" artinya saya hormati kamu, saya hargai kamu, bukan berarti setuju, (meng- iya -kan). Hanya orang "bodoh {maaf}" yang menyatakan "Inggih" artinya setuju, (meng- iya -kan);
Maka pahami lebih dalam secara "subtil" ["halus"] kata "Inggih" itu benar benar setuju atau tidak. Misalnya perhatikan gerak tubuh, sikap duduk berdiri lawan bicara kita, mimik muka, gerak mata, tangan kaki, tarikan nafas, bahkan posisi ruang, tempat, dan situasinya;
Maka bahasa dan kata "Inggih" bermakna dipahami dengan pendekatan "seni", bukan harafiah [formal semata-mata]. Seni kata "Inggih" saya sebut "Mulur-mungkret" merupakan sikap pribadi yang mencoba membuka terhadap pelbagai probabilitas atau kemungkinan tanpa batasan apapun;