Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Wisanggeni Paideia Indonesia

2 September 2019   15:36 Diperbarui: 2 September 2019   15:35 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Pada riset saya tentang dokrin mental Jawa Kuna, khususnya filologi dalam struktur bahasa Jawa Kuna, saya menemukan episteme Paideia. Dalam kerangka  Platon atau Plato, atau Platone  menawarkan pendidikan (Paideia) dijadikan dasar untuk melahirkan pemimpian atau negarawan ("kaloskagathos") untuk menstranfromasikan masyarakatnya. Tugas negarawan ("kaloskagathos") atau leadership adalah mendidik warga negaranya. Maka jati diri pendidikan adalah (Paideia) atau pembudayan. Pendidikan adalah seleksi bakat mencarinya supaya dapat meneruskan keberlangsungan bangsa dan negara. Model yang dijadikan (Paideia) adalah sekolah kader atau mendidik dengan seleksi ketat dan memberikan kurikulum terstruktur baik supaya kelak menjadi pemimpin yang memiliki jiwa rasional agathon.

Maka Paideia sebenarnya adalah membahas proses pendidikan, bertujuan melahirkan manusia-manusia yang 'par excellent".  Paideia) adalah proses turun naik dalam mefafora turun naik gua, atau  pembalikan seluruh diri manusia (jiwa rasional) sekaligus proses pembudayaan. Secara rinci dokrin   (Paideia) mengolah anak-anak bangsa, atau warga negara dalam bentuk (atau percetakan bentuk manusia) dari bodoh, tolol, terbelakang,  tidak terdidik, tidak berbudaya menjadi manusia ("kaloskagathos") atau elok dan baik berkeutamaan pencinta kebaikan seluruh martabat umat manusia.

Pertanyaannya adalah bagimana model Paideia Indonesia Lama Jawa Kuna. Pada tulisan ini saya mengutib gagasan singkat saya pada penelitian dengan trans substansi pada Wisanggeni.

Secara sederhana nama Wisanggeni,  dua imbuhan Wisa artinya racun, dan Geni artinya api. Jadi secara Wisa Geni adalah melalui racun ["penderitaan" proses diri memperoleh api. Api dalam metafora ini adalah  cahaya api atau nilai kebeneranan. Api adalah symbol mitos  Prometheus,  dikenal karena kecerdasan  mencuri api dari pada dewa demi emansipasi manusia di dunia. Maka api [Geni] adalah symbol keterampilan logam, dari bengkel api para dewa untuk menjadikan kebudayaan umat manusia mirip dalam mitologi Pegasus;

Pada proses alienasi diri melalui laku prihatin [bergerak dari laku raga jasmani menuju rohani atau disebut manusia  tegak ("jiwa") telah memiliki wican (kawicaksanaan) dan weruh (pengetahuan). Maka dokrin Wisanggeni adalah model Paideia Indonesia.

Manusia berbudi luhur melaui Wisanggeni  upaya perjalanan ("jiwa") tentang hidup merupakan sebuah gerakan dari dan kembali ke dari, (b) mengatakan  hidup merupakan sebuah perjalanan dari dan kembali kepada. Kata dari adalah identik dengan mengatakan hidup manusia Jawa bersifat siklis, (c) jikalau hidup bersifat siklis, (d) alam pandangan masyarakat Jawa 'jiwa/ roh' mendapatkan tempat.

Persatuan dengan Tuhan terjadi di dunia karena dunia merupakan pengejawantaanNya, (e) walau demikian, pandangan masyarakat Jawa Kuna atau Indonesia lama sangat logis rasional. Selain sangat kuat didasarkan pada hubungan kausal, didasarkan pada kebijaksanaan dan pengertian pengetahuan (wican weruh) sama seperti proses pembatikan Jawa dilakukan malam hari penjelmaan pendidikan halus-baik secara moral.

Contoh paling mudah adalah pendidikan atau pembelajaran Wayang, dan Dalang; bertujuan dan berusaha untuk mengenal dirinya sendiri. Misalnya latihan duduk bersila sampai tahan 12 jam tidak buang air kecil disertai Pernapasan Diafragma,  mengenal warna dan harmoni, mengenal gerak, arah angin, harmoni suara, cahaya,  percakapan-percakapan  sampai akhirnya bisa melahirkan kehendak dalam pesan yang dipentaskan. Proses individu menjadi system social adalah upaya Wisanggeni pada elemen [a] Tubuh, manusia sebagai unsur utama [b] Gerak, sebagai unsur penunjang [c]  Suara, sebagai unsur penunjang, [d] Bunyi, sebagai unsur penunjang (e] unsur rupa sebagai unsur penunjang (cahaya, rias dan kostum), dan [f] Lakon sebagai unsur penjalin (cerita,non cerita,fiksi dan narasi).

Tahap berikutnya adalah menghasilkan resonansi kesamaan  semacam proses organisasi atau seni organisasi (bentuk kerja kolektif; di mana segala macam orang, benda-benda,  dengan segala macam fungsinya tergabung dalam suatu koordinasi yang rapi, dan mencakup pengertian sampai batas-batas yang sentimental seni paling indah. //bersambung//

Daftar Pustaka: Apollo Daito [2015]., Laporan Hasil Penelitian Mandiri, Episteme Wisanggeni., FEB Universitas Tarumanagara Jakarta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun