Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tiga Metafora Filsafat pada Pemindahan Ibu Kota NKRI (1)

11 Juli 2019   00:09 Diperbarui: 11 Juli 2019   00:20 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kondisi manusia pemimpin    dicirikan oleh suatu penyakit, dan hanya dengan mengalami hal ini di kedalaman jiwa pemimpin itu sendiri.

Secara  singkat prinsip liberalisme yang saya singgung di awal tulisan ini, terutama karena sejalan dengan visi Platon di Republik. Hubungan antara dominasi kekayaan, pelepasan gairah, dan "manusia demokratis,".

Pria yang hidup dalam masyarakat demokratis memiliki banyak gairah; tetapi sebagian besar gairah mereka berakhir dengan cinta kekayaan atau masalah uang jawabatan dan ketidakjujuran. Itu datang dari kenyataan bukan jiwa mereka lebih kecil, tetapi pentingnya uang benar-benar lebih besar daripada apapun.

Perbedaan mendasar antara manusia aristokrat dan demokratis: Yang pertama mengandung berbagai ekonomi, sedangkan yang terakhir hanya dapat melihat ekonomi tunggal kekayaan. Kesetaraan kondisi sosial berarti penggantian stabilitas secara bertahap dan bentuk kehidupan asosiasional yang pernah ada yang menjadi ciri zaman aristokratis.

Prestise yang melekat pada hal-hal lama telah lenyap, lahir, kondisi, dan profesi tidak lagi membedakan  atau hampir tidak membedakan umat manusia; hampir tidak ada yang tersisa kecuali uang yang menciptakan perbedaan yang sangat nyata di antara mereka. Perbedaan yang muncul dari kekayaan meningkat karena hilangnya dan berkurangnya unsur  lainnya.

Namun pemimpin  dapat mencoba untuk mendefinisikan atau mengkarakterisasi pemikiran liberal, tetang kekayaan menjadi salah satu prinsip utama masyarakat demokratis tidak boleh diabaikan. Dapat dipastikan  kota Platon yang demam bersesuaian dengan liberalisme, di mana nafsu dilepaskan dari batas-batas mereka, dan kekayaan datang untuk mengambil alih kendali. Demikianlah bila NKRI pindah ibu kota.

Penilaian seperti itu tentu saja sangat meresahkan. Namun, nuansa dan penilaian yang lebih dalam berperan di sini. Seperti yang dihakimi Platon, hanya melalui kota yang penuh demam,  ditemukan dalam jiwa pemimpin, di mana selera dan kekayaan berusaha menguasai jiwa pemimpin itu, pada akhirnya pemimpin yang  dapat naik dan merindukan "keabadian kebijaksanaan."

Obatnya datang ketika pemimpin  mengakui   yang  sakit, dan karena itu membutuhkan dokter. Kebenaran ini akan selalu menjadi masalah, tidak peduli di rezim era siapa pemimpin yang  hidup, apalagi di masa demokrasi liberal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun