Episteme Memaafkan [3]
Pada tulisan ke [3] ini dibahas tentang Pengampunan ["memaafkan"] Politik. Kekuatan pengampunan yang dinikmati oleh otoritas politik mapan mungkin paling unik, tetapi ini tidak berarti bahwa semua analogi hukum atau politik dengan pengampunan  ["memaafkan"]  adalah tidak masuk akal atau memungkinkan dapat terjadi. Beberapa pemikir bidang ini mengemukakan pendapat yang mendukung konsepsi pengampunan politik yang sangat tajam dengan catatan filosofis standar tentang pengampunan ["memaafkan"]   melibatkan upaya mengatasi kebencian atau keadaan emosi negatif lainnya oleh para korban bersalah.
Alih-alih  berusaha untuk melepaskan pengampunan  ["memaafkan"] politik pada setiap perasaan pribadi apa pun yang mendukung gagasan performatif di mana perilaku terbuka seperti mengampuni penjahat atau mengesampingkan kewajiban menandakan pengampunan. Digeser mengklaim bahwa memisahkan tindakan memaafkan pada motif yang mendasarinya dan pada konstelasi perasaan sering dianggap menyertai pengampunan antarpribadi yang lebih baik sesuai dengan konsepsi keadilan sebagai salah satu di mana orang mendapatkan haknya. Pada konsepsi performatif ini, pengampunan terdiri pada  aktor atau lembaga politik yang memilih untuk tidak mendapatkan haknya, dengan alasan apa pun.
Mengklaim telah menciptakan gagasan politik tentang pengampunan  ["memaafkan"] yang dapat diperbaiki pada  beban psikologisnya yang biasa. Dan tentu saja, seperti yang disebutkan sebelumnya, ada perasaan pengampunan di mana tindakan seperti melepaskan kewwajiban atau ucapan seperti "Aku memaafkanmu" kadang-kadang hanya tentang pengampunan. Sejauh ini dan dalam pengertian ini, pengampunan kewajiban dan pengampunan politik dapat secara wajar dianggap sebagai bentuk pengampunan politik, dan  mengidentifikasi empat bentuk pengampunan politik.Â
Pertama [1], pengampunan politik mengambil bentuk banyak-ke-satu ketika sebuah kelompok memaafkan seorang individu. Misalkan, misalnya, orang Indonesia dapat memaafkan mantan Presiden Soeharo atas tuduhan pelanggaran HAM, atau  komunitas kampus dapat memaafkan seorang Rektor yang menggelapkan dana universitas.Â
Kedua [2], kita dapat mengenali pengampunan politik satu-ke-banyak , di mana seseorang memaafkan kelompok lain. Seseorang dapat membayangkan, misalnya, tahanan yang dibebaskan  pada  hukuman memaafkan pasukan polisi atau sistem peradilan karena salah menangkap atau menghukum mereka (karena bahkan jika tidak ada satu pun anggota polisi atau sistem peradilan yang menyalahkan tahanan yang dibebaskan itu, tindakan bersama mereka mungkin telah melakukannya).Â
Ketiga [3], pada kasus pengampunan politik banyak-ke-banyak , kelompok atau kolektif masuk ke dalam hubungan pengampunan dengan kelompok atau kolektif lain. Contohnya termasuk kasus-kasus hubungan Indonesia dengan Belanda yang telah menjajah Negara Indonesia 250 tahun lamanya.Â
Akhirnya, [4] Kondisi ["memaafkan"] satu-ke-satu pengampunan politik melibatkan individu memaafkan individu lain. Presiden Gerald Ford, misalnya, terkenal mengeluarkan pengampunan eksekutif kepada mantan Presiden Richard Nixon setelah pengunduran dirinya di tengah tuduhan bahwa ia melanggar hukum.
Selama 100 tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan pesat di pihak para pemimpin politik yang meminta maaf dan mencari rekonsiliasi antara pelaku dan korban kekejaman moral. Tujuan nyata  pada  upaya-upaya semacam itu tidak hanya untuk memperbaiki kesalahan masa lalu dan memberi mereka yang telah dianiaya karena kesalahan mereka, tetapi juga  menyembuhkan luka yang dalam dan kadang-kadang berkepanjangan yang disebabkan oleh kesalahan seperti itu telah terjadi. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan (TRC) pada pertengahan 1990-an mungkin merupakan contoh paling terkenal  pada  upaya semacam itu untuk mencapai rekonsiliasi antara pelaku dan korban kesalahan kolektif intra-nasional.
Contoh-contoh lain pada permintaan maaf politik, yang sebagian bertujuan untuk memberikan semacam bentuk pengampunan atau rekonsiliasi, termasuk "buku maaf" di Australia, yang mencatat penyesalan warga atas sebuah kebijakan pemerintah yang mengamanatkan pemindahan paksa anak-anak Aborigin pada orang tua kandung mereka atas nama asimilasi budaya, permintaan maaf mantan Presiden Clinton kepada orang-orang Afrika-Amerika dan usulan-usulan selanjutnya oleh pembuat kebijakan atas perbudakan, dan Perjanjian Jumat Agung Irlandia Utara 1998 serta proses perdamaian wujud rekonsiliasi.Â
Memahami pengampunan  ["memaafkan"] yang secara umum identik dengan rekonsiliasi mendukung gagasan bahwa upaya kolektif ini merupakan bentuk pengampunan institusional adalah wujud kebaikan untuk generasi mendatang bahwa siapapun bisa berbuat salah, dan pada kondisi yang sama sikap  ["memaafkan"] adalah wujud hasrat manusia pada peradabannya.