Kebungkaman Para Golput Pilpres
Data yang diperoleh selama pemilu [pilpres] sejak tahun 1955-2019 memperlihatkan ada fenomena yang lepas dari pengamatan dan jarang dibahas. Yang dimaksud fenomena adalah data warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih, tetapi tidak menggunakan hal pilihnya atau disebut "Golput" Golput sering disebut sebagai ukuran partisipasi warga Negara yang memiliki hak pilih, tetapi mengambil sikap tidak menggunakan hak pilih tersebut pada tanggal pemunguktan suara.
Berdasarkan data pilpres 2014 dan 2019 jumlah angka Angka Golput masih berada pada dua digit, sekalipun mengalami penurunan dalam angka hamper 10%. Demikian juga data selama 2004 sampai 2019 angka di atas dua digit artinya memiliki makna yang signifikan atau ada sesuatu yang perlu diperhatian sebagai fenomena yang perlu dikaji lebih dalam. Beberapa makna penting dapat saya jelaskan alasan naiknya angka golput  dimaknai sebagai berikut:
Ke [1] Hasil penelitian saya, bahwa keberhasilan individu tidak memiliki pengaruh pada peran kepemimpinan artinya fungsi pemimpin tidak punya pengaruh nyata pada keberhasilan individu. Sesorang dinyatakan sukses  tergantung {factor internal} diri. Artinya fungsi kepala Negara atau kepala pemerintahan atau sampai pada kekuasan dibawahnya memiliki fungsi [a]  pertahanan keamanan, [b] penegakan hukum, [c] fungsi moneter fiscal. Dan menjaga tatanan Negara merwat dan menjaganya agar adanya keadilan [makro]. Maka kesuksesan individu ada pada diri nya sendiri [motivasi diri].Â
Maka kalaupun ada pengaruh presiden terpilih atau tidak maka non signifikan. Kira-kira inilah mungkin persepsi para Angka Golput terus terjadi. Misalnya contoh siapapun presidennya orang Dayak di hutan Kalimantan yang sudah mau 79 tahun Indonesia mereka tetap susah, dan tidak mengalami perubahan nasib apa-apa, atau dihargai sebagai suku bangsa Indonesia. Tidak pernah satu kali pun atas menduduki jabatan Menteri atau selevelnya. Lalu di balik itu ada alasan demi Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika, atas nama  Indonesia. Tetapi itu memiliki potensi untuk dipelesetkan demi kepentingan tertentu dan bisa memiliki makna ditafsir ganda;
Ke [2] Adanya skeptisisme.  Besaran angka di atas 2 digit ini menunjukan adanya kemungkinan sikap skeptisisme anggota masyarakat atau warga Negara pada kondisi sekarang ini selama era demokrasi.  Sikap skeptic ini memiliki pendasaran bahwa siapapun  berkuasa akan mementingkan kelompok diri atau orang sekelilingnya [inner cycle] yang menguntungkan pihak mereka sendiri. Mungkin saja pemimpin terpilih adalah orang baik jujur, tetapi oleh system yang terbentuk mereka tidak bisa bergerak bebas karena factor utang budi, atau tersandra kondisi politik yang memungkinkan buruk dan tidak berbudaya.Â
Pada sisi lain angka OTT KPK terus mengalami penajaman terjadi, bahkan kementerian agama sebagai pusat moral justru menjadi lumbung korupsi dengan menjual beli jabatan. Artinya keadilan dan kemakmuran hanya ada disekeling yang memiliki kekuasan kemudian didistribusikan [atau disebut mengecilnya pengaruh tetasan kebawah "trick down effect"] bagi rakyat yang tidak punya. Persepsi skeptisisme ini terjadi hanya ketika dalam kampanye "semua mengatas namakan "rakyat" [cuma omong 'retorika kosong belaka} tetapi faktanya berbeda dalam tindakan. Para pemimpin terpilih hanya bagi kelompoknya, dan sekitarnya, para partai politik, dan akhirnya berkhiat pada masyarakat. Masyarakat pada pemilu hanya dijadikan objek instrumental kekuasan belaka. Atau mencerminkan skeptic pada politik berbasis uang, dan transaksi ekonomi;
Ke [3] Dengan meminjam teks Ha Na Ca Ra Ka, atau teks Dora dan Sambada. Maka dua-dua presiden ini siapapun yang terpilih sama-sama baik, tetapi juga dalam waktu yang sama memiliki sama-sama buruk. Maka paradox ini memunculkan sikap keyakinan bahwa yang merubah nasib saya tidak tidak ada kaitan dengan system demokrasi yang mendasari pada kondisi alienasi dominasi atau suara terbanyak sebagai pemenang apalagi suara pemilu pilpres 2019 sangat kental dengan politik Identitas.Â
Kebenaran itu tidak bisa di voting demikian pendasaran seluruh filsafat. Artinya memang demokrasi bukan menjadikan Indonsia menjadi lebih baik. Tetapi upaya menjadikan mental setiap warga Negara menjadi individu yang baik tidak ada dalam implementasi Negara. Bagaimana mungkin maaf saja [misalkan maaf pemulung, pengamen cacat mental tidak ada pendidikan politik] bisa menghina presiden. Apakah itu benar' dalam nilai kebangsan yang besar.Â
Semua orang boleh bicara, boleh kritik tanpa data tanpa fakta, sementara pemerintah hanya mencegah, dan tidak memiliki road map untuk menjadi kan tidakan [paidea] semacam pendidikan kebaikan warga Negara menjadi lebih baik. Apalagi dengan atas nama ekspansi berlebihan membangun infrastruktur material tanpa keseimbangan membangun mental warga Negara. Maka dalam demokrasi semacam ini yang lebih didengar adalah mereka yang punya uang, punya materi untuk menghasilkan merawatnya. Kaum budayawan, seniman, Â terdidik dan pemikir orginal kurang mendapat perhatian dalam diskursus publik.
Ke  [4] Golput adalah bentuk "kebungkaman". Kata Bungkam artinya memiliki makna yang berbahaya secara episteme. Pada dokrin suku Dayak atau Indonesia Lama manusia bungkam adalah berbahaya. Seorang pembunuh atau tukang santet yang asli pembunuh tidak akan berkata apa apa, merka bungkam, dan kebungkaman adalah symbol kejengkelan ke tidakan aktif dalam demokrasi. Kalau masih bersuara, atau memilih dalam demokrasi berarti mereka aktif. Sementara bungkam adalah sikap pasiv dialog. Â