Pada bagian tulisan ke [3], sebagai sambungan tulisan sebelumnya  membahas tentang hasil riset filologi dan pembentukan Culture  Indonesia Lama ataua Jawa Kuna, dengan mengambil pada kata "Ndherek".Â
Ke [6] Pada  tradisi sering dipakai khususnya Solo dan Jogja atau Jawa Tengah disebut dalam metafora Tradisi "Ndherek Mangayubagyo" berarti ikut dalam kebahagiaan orang yang sedang merayakan. Maka kata Ndherek berarti "mengikuti atau ikut batin sebagai [Geisteswissenschaften], sebagai suatu kategori kehidupan (lebenskategorie).
Kata "Ndherek" adalah  ["makna"] sebagai kebermaknaan bersifat kontekstual bagian dari situasi factual kehidupan manusia universal. Kata "Ndherek" atau diartikan secara harafiah, "mengikuti". Maka pertanyaannya  siapa yang manusia "ikuti". Jawaban yang paling mudah pada kata "Ndherek" adalah apa yang dikuti itu disebut "Tauladan" atau "menjadi panutan" atau menjadi "contoh". Maka perjalanan umat manusia supaya bisa bahagia dan selamat memerlukan  "Tauladan" atau "menjadi panutan" atau menjadi "contoh".
Ke [7] Kata "Ndherek",  dalam dokrin Indonesia lama, berarti sama  dengan "Tauladan" atau "Meniru" atau menjadi "Tiruan" atau [KW istilah sekarang]. Dan persis pada kata ini secara filologi bermakna bahwa Kata "Ndherek" adalah wujud hadirnya "Filsafat Seni Mimesis (Aesthetics)".  atau {"Imitasi, replikasi, salinan, fotocopy, tiruan, inspirasi, keindahan, lukisan, puisi, foto, mimpi, bayangan, menyalin, refleksi], atau maka kata "Ndherek", sama dengan (Meniru atau Memesis);
Ke [8] dengan memahami kriteria pada gagasan  [7] ini; kata "Ndherek"  sama dengan "meniru penampilan atau imitator" maka hakekat manusia Jawa Kuna atau Indonesia Kuna sama dengan perjalanan hidup adalah memiliki dua makna (me atau subjek), dan (di atau objek) antara meniru dan di tiru.
Manusia Jawa Kuna pada dokrin kehidupan relasinya mengedepankan pada pengembangan Fakultas "Ndherek"  atau manusia adalah siklis meniru [ mimtikon ]" memungkinkan untuk contoh (mencari contoh, atau dijadikan contoh) di mana wali meniru karakter berbudi luhur, atau terjebak dalam karakter meniru penyimpangan hidup. Maka Fakultas "Ndherek " Jawa Kuna adalah cara pendidikan manusia  menjadi bentuk "Tradisi Wayang".  Atau Dokrin Fakultas "Ndherek " Jawa Kuna adalah seni memahami dengan cara meniru [mimesis] adalah presentasi atau representasi karakter  mengikuti pada dokrin mental bersifat dialektis antara Antagonis dan  Protagonis atau dialektia ["mental Pandawa, vs Korawa"].
Kaum antagonis adalah roh mental pada manusia kekinian yang mengambil pilihan pada representasi kaum Korawa atau Kaurawa atau Duryodana representasi kejahatan, sementara  Kaum Pandawa terdiri  : Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa adalah representasi dokrin kebaikan.
Maka dialektia ["mental Pandawa, vs Korawa"] wujud dialektia antara roh batin manusia pada mental Pandawa vs Korawa menghasilkan sintesis apa yang disebut sejarah dan kebudayaan Jawa Kuna. Kemudian bergeser menjadi proses rekonsiliasi pada sejarah peradaban manusia atau ada dalam metafora wayang dan narasi teks perang Baratayuda.
Narasi ini sudah saya pahami dan teliti sesuai pada narasi Kakawin  Baratayud diadaptasi ke dalam bahasa Jawa dengan judul Serat Baratayud oleh pujangga  Yasadipura I era Kasunan Surakarta.
Ke [9] dengan memahami kriteria pada gagasan  [7], gagasan [8] muncul apa yang disebut sintesis antara dialektia ["mental Pandawa, vs Korawa"] menjadi manusia paripurna atau menjadi manusiapada takdirnya apa yang disebut  menjadi manusia seperti: Togog, Semar, atau campuran keduanya. Jawa dan Indonesia Kuna dan saat ini sebenarnya memiliki cara hidup yang baik dengan meniru pola rasa dan keutamaan pada roh mental  "Semar"  wujud kesadaran diri (awareness), imajinasi, suara hati, dan kehendak bebas (independent will) hanya demi meniru kebaikan keutamaan utama manusia universal.
Ke [8] Dokrin Fakultas "Ndherek" Jawa Kuna adalah meniru [mimesis] adalah presentasi atau representasi karakter  mengikuti pada dokrin mental bersifat dialektis antara Antagonis dan  Protagonis mimesis adalah presentasi atau representasi karakter pada "paidea" berbentuk Wayang. Wayang adalah wujud pengetahuan [1] visible world meliputi Eikasia, Pistis; menuju tahap ke (2) pengetahuan intelligible world meliputi Dianoia, Noesis. Maka seluruh kebudayaan Dokrin Fakultas "Ndherek"  adalah wujud pendidikan Peidea mirip seperti dalam Gagasan Homeric, atau Republic Platon atau Plato. Pada tahap ini maka riset filologi ini menemukan paradigm episteme "Anamnesis" yakni  mengembalikan manusia dari sifat buruk jelek menjadi menumbuhkan perilaku yang ditemukan pada orang-orang yang ditiru; imitasi (lebih khusus, peniruan alam sebagai objek, fenomena, atau proses) dan representasi artistic atau cara, gerakan, ucapan, atau mode tindakan dan orang, atau karakteristik Protagonis".  Dokrin Fakultas "Ndherek"  atau mimesis adalah istilah yang sangat luas dan secara teoritis sulit dipahami [metafora wayang] yang mencakup berbagai kemungkinan bagaimana dunia yang dibuat sendiri dan dibuat secara simbolis yang diciptakan oleh orang dapat berhubungan dengan dunia "nyata", fundamental, patut diteladani, atau signifikan apa pun, dan bolak balik.