Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kant: Critique of Practical Reason [7]

30 Oktober 2018   23:58 Diperbarui: 31 Oktober 2018   01:18 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kant: Critique of Practical Reason [7]

Tafsir  pada teks Kritik Akal Budi Praktis (KABP) atau  ["Critique of Practical Reason"]  pada tulisan ke [7];  bab III (tiga) buku Kant, dengan pendekatan tafsir dan interprestasi dan catatan kritis.

Kant menyatakan  apa yang penting untuk bertindak secara moral tidak memenuhi beberapa aturan tentang penampilan luar, tetapi termotivasi dengan cara isi batin manusia. Argumen Kant  manusia harus bertindak dalam ketaatan  moralitas dan bukan karena kecintaan pada moralitas atau mengandung materi apa pun di luar bentuknya.

Dalam kedua kasus itu, masalah dengan alternatif yang ditolak adalah  kepatuhan terhadap hukum moral bergantung pada keinginan kontingen seseorang. Dalam kedua kasus, argumen itu sendiri bermasalah. Memang benar  dalam bertindak secara moral karena cinta, tindakan moral seseorang akan berhenti jika cinta seseorang berhenti. Tetapi kemudian jika seseorang bertindak secara moral karena tugasnya;, tindakan moral berhenti jika pemberkatan seseorang berhenti. Kant hanya ditinggalkan dengan keluhan  jika seseorang bertindak karena cinta, ini pada akhirnya terletak pada kemampuan mencintai diri dan mengejar kesenangan memuaskan kecintaan seseorang terhadap moralitas.

Idenya adalah  kesenangan dan cinta diri selalu terbukti dengan sendirinya anti-moralitas dan tidak serius atau kekonyolan praktik moral. Tapi itu tidak bisa diterima begitu saja. Maka manusia lihat oleh Kant tentang bagaimana rasanya bertindak secara moral. Tentu saja ada butir kebenaran dalam gagasan  perasaan yang menyertainya adalah, di satu sisi, kekecewaan pada keinginan yang tidak puas yang tidak terpenuhi hasratnya, apalagi harus mengesampingkan niatnya, dan rasa malu. Jelasa ada paradoks  karena tidak dapat menyingkirkan  persaan batin,  dan, di sisi lain perasaan  ditarik kepada kebaikan lebih tinggi.

Namun, akan terlalu jauh mengatakan  manusia selalu merasa seperti ini, atau bahkan ini adalah cara yang berlaku secara moral pada umumnya dianggap biasa. Untuk satu hal, ini kelihatannya  menggambarkan seseorang bertindak secara moral dengan keengganan yang besar. Keinginannya bertentangan dengan tugasnya dan terus merengek padanya, membuat dia merasa tidak hanya berkonflik tetapi bisa dipermalukan. Kant menjelaskan penghinaan ini  berasal dari kombinasi dorongan manusia untuk melihat diri sendiri sebagai pusat alam semesta dan kepakuman wawasan moral tidak dimiliki seseorang.

Terkadang, tampaknya tindakan moral sangat berbeda. Seseorang melihat situasi yang menuntut tindakan. Perasaan seseorang lebih terfokus pada situasi dihadapi dan tidak begitu banyak   penghormatan moral seseorang terhadap gagasan abstrak sesuai hukum moral. Seseorang mungkin tidak merasa berkonflik batin dengan hasrat non-moral tidak terpenuhi. Keinginan yang sering bertentangan hanya disisihkan untuk saat ini. Orang-orang yang bermoral  tidak perlu merasa diisi dengan kebencian terhadap diri sendiri karena memiliki keinginan yang bertentangan.

Teori kebebasan Kant adalah original tetapi mengalami kesulitan pada kondisi kongkrit. Begitu manusia terjebak dalam menjelaskan bagaimana manusia bisa bebas ditentukan oleh serangkaian sebab-akibat masa lalu. Maka sulit untuk memahami bagaimana "aku" bisa menjadi orang yang pengalamannya tepat waktu dan tindakannya serta orang tidak dikenal yang menciptakan seluruh urutan penampilan. Ada kemungkinan  Kant membayangkan penciptaan alam semesta temporal sebagai proyek kolaborasi antara diri-diri noumal, masing-masing yang kebebasannya mutlak dan sekaligus menjadi kendala bagi proyek secara keseluruhan.

Apa yang penting untuk bertindak secara moral tidak memenuhi beberapa aturan tentang penampilan luar, tetapi termotivasi dengan cara yang benar, yaitu dengan motif kewajiban tugas (denontologis). Tidak mungkin manusia dapat menjelaskan motif ini lebih lanjut, karena itu setara dengan penyebab pada dunia nomenal, dan tidak ada konsep manusia yang berlaku untuk dunia nomena itu. Manusia  secara alami cenderung untuk mengikuti cinta-diri, yaitu berusaha  memuaskan diri dan memuaskan hasrat manusia. Manusia cenderung mementingkan diri sendiri, untuk berpikir  hanya dengan menjadi diri sendiri, seseorang berada di pusat alam semesta dan layak melakukan apa pun yang menyenangkan.

Hukum moral memecah perasaan-perasaan ini, membuat manusia sadar  manusia tidak dapat melakukan apa pun yang manusia sukai. Maka ada paradoks antara perasaan sakit ketika hukum moral memaksa untuk melepaskanan keinginan, dan sisi lain, kekuatan hukum moral untuk mengatasi keinginan manusia membangkitkan rasa hormat terhadapnya. Kombinasi penghinaan pribadi dan penghormatan terhadap hukum adalah ciri khas perasaan moral.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun