Tulisan [2]: Platon Symposium
Pada tulisan (2) ini saya membahas tentan tema  Simposium Platon. Tema ini adalah hasil riset saya,  kajian pustaka untuk merehabilitasi pada episteme bidang auditing melalui cara metode elenchus dialektika Platon dan Socrates. Suatu metode auditing sebuah kontradiksi, dan memungkinkan pemikiran valid dan tidak valid antara subjek (auditor), dengan objek (auditte) melalui proses auditing.
 Pada Platon Symposium ini membahas dan mencari "pengertian" apa itu cinta, dalam debat pidato yang panjang, saling memvalidasi pengetahuan, sehingga mampu membuat pengertian "cinta" secara benar, baik, indah, dan adil. Akhirnya dialog Agathon mengakui Socrates benar  dan Agathon salah. Socrates melanjutkan dengan menunjukkan jika hal-hal baik itu indah, maka Cinta pasti kurang dalam hal-hal yang baik, dan tidak dapat menjadi baik.Â
menyerah, mengatakan  tidak bisa berdebat melawan Socrates. Socrates menjawab cara mudah untuk berdebat melawan Socrates, tetapi Agathon tidak dapat berdebat dengan kebenaran. Maka metode elenchus sebagai wujud berdebat dengan kebenaran.
Bagian ini adalah satu-satunya contoh yang di temukan dalam Simposium metode elenchus, atau pemeriksaan silang, mendefinisikan metode dialektika Platon, dan Socrates. Dalam dialog yang khas, Socrates mempertanyakan seseorang yang mengklaim pengetahuan ahli tentang subjek tertentu.Â
Seharusnya tanpa menyela pengetahuan atau pemikirannya sendiri, Socrates mengarahkan lawan bicaranya menjadi sebuah kontradiksi, menunjukkan kepadanya pengetahuan yang dia duga tidak berdasar. Di sini Socrates mengambil klaim Agathon untuk mengetahui sifat dan pentingnya Cinta, dan memimpin Agathon, melalui interogasi, untuk mengakui dia tidak mengetahui pengertian subjek dengan baik.
Platon Symposium pada text, Â 198a-201c. Metode dialektik mendorong untuk mempertanyakan klaim dan dasar di mana membuat pengertian yang benar. Pemeriksaan silang Socrates menggali asumsi dan alasan yang mendasari klaim-klaim tertentu dan memaparkannya pada pemeriksaan. Ini menekankan penalaran yang cermat, pemikiran logis, dan perlunya mencapai kesepakatan di setiap tahap dialektika.Â
Maka tidak heran, Socrates tidak percaya dengan retorika yang dibuat dengan hati-hati yang udah dapat menjamin kebenaran. Bagi Socrates, adanya ungkapan frase dan sejenisnya, berarti menutupi penalaran jelek dan asumsi tidak berdasar.Â
Sentimen ini sangat dibenarkan dalam pidato Agathon, yang retorikanya berkembang melakukan yang terbaik untuk melindungi apa yang sangat jelas beberapa klaim yang tidak didukung dengan fakta yang bertanggungjawab pada kebenaran.
Socrates membuka dengan pernyataan tidak dapat berbicara dengan baik jika berbicara dengan baik berarti membentuk kalimat yang dibuat dengan baik, tetapi sayang kondisi ini menunjukkan tidak dapat berbicara kebenaran yang jelas. Pernyataan ini menggemakan pembukaan Apology, di mana Socrates mengolok-olok retorika lawan-lawannya dan mempersiapkan audiensi untuk pidato sederhananya.Â
Dalam kedua kasus, kita mungkin bertanya sejauh mana Socrates berpura-pura kenaifan. Meskipun Platon, dan gaya pidato Sokrates, tidak ditandai oleh teknik unggul para orator (meskipun kadang-kadang dalam Apology ), namun tetap memiliki tingkat tinggi dalam kehati-hatian.