Tulisan ini adalah kajian metafora, yang berkaitan dengan makna Mataram, dalam artian universal tidak mempertanyakan soal tempat, waktu, dengan pasti. Maka kata Mataram lebih banyak kepada makna hermeneutika, semiotika, sampai mitos berubah menjadi logos sebagai pitutur (dalam artian moral atau etika).
Kata "Mataram" secara umum dimaknai sebagai "ibu", atau kemudian digeser menjadi "Demeter" sebutan ibu pertiwi (Indonesia),  untuk  (mother land), atau (mater), atau Bunda Alam Semesta) atau diubah menjadi wangsa Sanjaya, atau diubah menjadi Wangsa Tanah, dan Wangsa Air dalam kebudayaan kemudian dikenal dengan "Tanah Air". Ada dua wangsa yang memerintah (wangsa) dan memelihara yakni Wangsa Air, dan  Wangsa Tanah. Dua wangsa ini dalam wujud nyata menjadi dibekukan oleh manusia dalam kebudayaan sebagai tatanan (order) menjadi pusat wangsa disebut "ibu" dan "kota" atau ibu kota.
"Demeter" adalah pada Mataram Kuna (Jawa) disebut wangsa tanah, dan wangsa air kemudian di sebut dalam metafora simbol ide cita-cita untuk dimensi makna kesuburan, kekayaan mineral, kemakmuran, pertanian (pengolahan tanah). Maka kata kebudayaan berasal dari kata pengolahan tanah  atau mengelola tanah, dan air ("Colere", dari bahasa Latin, di menjadi bahasa Inggris "Culture"). Maka Transubstansi "Mataram" sebenarnya berarti "kebudayaan" dikaitkan dengan semua keputusan tindakan (etika) harus memiliki pendasaran jiwa rasional pada  "fakultas akal, budi manusia".  Maka dalam bahasa Jawa dan Sasak ada istilah (Lombo, (k) atau Lomboq) artinya "lurus" atau berarti "kejujuran" manusia. Tetapi bisa juga tegangan dibalik makna kata atau antimakna (Lombo, (k) atau Lomboq) adalah berbohong, munafik, busuk, penderitaan, kekecewan, dan ada 10 nama lain yang dapat dimaknai.
Filsuf Pra Sokratis di Yunani Kuna bernama Thales (624-546SM) dari Miletos menyatakan "Air adalah prinsip awal", yang menghidupkan dan memunculkan segala sesuatu. Air tanpa sebab dari luar dirinya, mampu tampil dalam berbagai bentuk, Â Air bersifat abadi, dan tak dapat dibinasakan. Di atas manusia (air awan), di bawah manusia (tanah ada air) dan dalam manusia adalah berasal dari air (sperma). Â Lalu apa makna kata "Mataram" dihubungkan dengan "wangsa air, tersebut.
Makna trans substansinya bisa banyak dan bermacam-macam. Misalnya:
Ke (1) semua sungai terpanjang di Indonesia, Sungai Kapus, Sungai Barito, Sungai Mahakam, Sungai Batang Hari, Sungai  Musi. Sungai Mamberamo, Sungai Bengawan Solo, dan sungai lainnya tidak pernah berbentuk lurus, tetapi berkelok-kelok tetapi sampai juga pada tujuannya. Maka maknanya bahwa Jiwa Rasional Mataram adalah dapat memahami celah, peluang, jalan keluar, bersikap lentur (seperti air) dapat menembus sampai tujuannya, tanpa memaksa kondisi, tetapi bersikap lentur (fleksibel) dalam artian seni memahami kehidupan ini. Maka dalam Budaya Yunani Kuna "Amfittrit" atau "Salacia" bersikap lentur, tidak pernah marah, memaksa kehendak, dan tidak ada rasa cemburu sakit hati difungsikan apa saja. Air bisa dipakai apa saja, mulai masak, cuci, mandi, siram kotoran, fungsi  ibadah,  fungsi ritual, memandikan mayat, cuci kenderaan, dan seterusnya.
Ke (2) semua air hujan turun dari atas (langit) memberitahukan sebelum airnya turun ke tanah atau bumi. Air sebelum turun izin atau pamit  dengan simbol petir, angin, Guntur geledek.  Maka sifat air adalah sikap tindakan membutuhkan restu izin dalam etika kerja, cita-cita dan tindakan. Maknanya izin disini bisa macam-macam izin (restu), dari semua aspek rasional jiwa berkeutamaan.
Ke (3) memahami waktu, dan tempat, (atau paham Ruang, dan Waktu).  Indonesia luas dengan lautan 3,25 juta Km2, dan Zona Ekonomi Eksklusif  2,55 juta Km2.  Yang tampak dalam simbol alam ini (wangsa air laut) atau Yunani Kuna di kuasai oleh "Dewa Poseidon" adalah memiliki ketepatan dan pemahaman waktu yang tepat kapan air laut harus pasang, dan kapan air laut surut, yang membentuk sikap tindakan manusia sebagai referensi (mental)  atau dokrin Mataram pada sitausi berada, konteks isi, dan siapa apa yang dihadapi menjadi ["Papan, Empan, Adepan"]. Atau (banyak bacot bicara) seperti pepatah "air berikah tanda tak dalam", supaya manusia tidak seperti "air di daun talas". Atau Filsuf  Nietzsche membedakan "di antara kedalaman, dan permukaan" atau pada fakta empirik data di Luweng Grubug di Gunung Kidul Jogja, atau Luweng Ombo di Pacitan.
Lalu apa makna kata "Mataram" dihubungkan dengan wangsa tanah tersebut. Makna trans substansinya bisa banyak dan bermacam-macam. Misalnya:
Ke (1) tanah adalah dunia dikuasai dalam metafora Dewa Hades,  atau dunia gelap dalam tanah. Pohon duren, pohon mangga, pohon pinang, pohon kepala, tidak pernah lupa mengembalikan utang (kewajibannya) pada tanah. Maka semua pohon akan mengembalikan unsur tanah dan humus dengan pembusukan terurai kembali pada tanah. Filsuf  Nietzsche  menyatakan "kekembalian hal yang sama secara abadi". Maka trans-substansi wangsa tanah adalah "tidak boleh lupa kewajiban" semacam etika deontologis Kant, bersifat mutlak tanpa syarat. Kewajiban atau ingat ("eling" Jawa Kuna) pada apa saja, pada usia, pada asal usul, pada kematian, pada penderitan, pada keterbatasan,  pada suara hati,  pada negara, pada belajar, pada orang tua, pada kantor, pada keluarga, pada jabatan, pada tugas, bahkan pada Tuhan. Manusia adalah makluk mortal maka wajib bertanggungjawab pada kewajiban mutlak.
Maka alam semesta dikuasi oleh hukum yang bersifat tetap seperti wangsa air, dan tanah sebagai kosmos, menjadi lebih teratur baik, dan indah. Alam semesta adalah satu kesatuan. Bahkan Platon pun membuat dokrin antara alam sensible, dan intelligible saling berkaitan, atau ada persilangan antara empat anasir (Empedokles) unsur api, air, tanah, dan udara disebut sebagai "Khora". Dan berkat "nous" atau logos (fakultas akal budi "Mataram") maka unsur anasir ini dapat disatukan atau disebut daya rasional logos dan kebijaksanaan.***