Ada seorang ibu katanya sangat mencintai suaminya, tetapi dia tidak ikut sama-sama suaminya meninggal. Ada seorang mahasiswi cantik menangis disamping pacarnya di rumah duka Jelambar tetapi dia tidak ikut mati sama-sama pacarnya. Ada seorang pasien rumah sakit Grogol seperti sayur bayem tidak bisa membedakan apa apa, tetapi suaminya tidak ikut gila bersama-sama. Â Ada seorang anak kecil menangis malam hari ketakutan tidur karena mimpi dikejar dedemit, tetapi pengasuhnya tidak ikut mimpi tersebut. Ada sesama seperjuangan teman kerja ketika ibunya meninggal di kampung, dia malah asik nonton bioskop film "Rooftop Prince" tertawa lepas tanpa beban. Ada seseorang kakinya patah, dan disambung lempengan logam baja tahan karat atau Titanium, tetapi ibunya kawin lagi dua hari kemudian. Ada saudara ade kakak laki perempuan satu Rahim tetapi nasib berbeda satu jadi pengusaha, dan satu dipenjara.
Chaos, pluralitas, paradoks, campur aduk tanpa cause, dan tanpa finalitas, itulah realitas senyatanya. Itulah realitas dihadapan kita, dan itulah diri kita.
Hidup tidak memiliki keutuhan makna, dan begitulah hidup, seperti roda berputar, ada hidup dalam perjumpaan, dan perpisahan, bahkan di tanah yang diinjak tidak pernah stabil, dan sampai hidup tanpa tanah air. Hidup sebagai manusia soliter (menyendiri), dan pengembara serba tak pasti. Pengalam sakit, gagal, ditinggal orang orang tercinta memang bukanlah yang diinginkan, tetapi pada akhirnya hanya diri sendiri yang merasakan (subyek Soliter), bergumul dengan apa yang dialami dengan penyakit yang paling intim. Dari pergumulan dan penyakit sedih susuah tak bertepi, terserak serak, itu muncullah pemikiran yang khas dan unik, tak mudah untuk dipahami. Manusia adalah apatis tanpa simpati atau tidak mau menderita bersama-sama apa yang aku alami.
Filsuf  Nietzsche, pada teks "beyond evil and good"  atau melampaui baik dan jahat menyatakan: "semua pemikir yang dalam lebih takut dipahami daripada disalahpahami. Pada kasus terakhir mungkin harga diri si pemikir akan menderita; tetapi pada kasus pertama, hati dan rasa simpatinya akan mengatakan tak henti-hentinya menyatakan; "Ya ampun, kenapa sih kamu ingin hidup sekeras yang ku alami".
Mungkin pengalaman yang paling dalam, sekali lagi yang paling dalam kita semua maka tindakan yang efektif adalah menutup mulut, dan membungkam kata-kata. Tidak bisa diupdate dalam status whatsapp icons, line icons, atau Facebook free icon, bahkan Instagram Logo free icon.
Manusia soliter (dalam kesendiriannya), akan terus bergelut dengan keintiman dirinya siang malam berdebat dengan batinnya didalam gua labirin paling dalam, bertemu dengan harta karun, dan penjaga gua labirin. Manusia soliter akan mulai menemukan  jurang dan jamur layu, aroma senja, tidak mampu dikomunikasikan, dan berdiam diri dan beku dalam jangkuannya. Sebuah pengalaman yang dapat diceritakan hanyalah permukan, jauh dari dasar paling dalam ditempat persembunyian, dan semua kata hanyalah "topeng".
Manusia soliter menyatakan verbalisasi (kata-kata) hanyalah selubung, penyamaran dari apa yang mau diungkapkan. Keterbatasan kata-kata membuat manusia memalsukan, menyamar, seuatu strategi yang sewenang-wenang karena kedalaman pengalaman dalam kesendirian menghendaki komunikasi yang terbatas. Ia menolak dipahami dengan gampang karena tidak semua memiliki kesemaaan telinga, dan belum tahu rasanya pahitnya pengalaman, sesak nafas dakam kolam air yang dingin. Itulah singularitas subyek manusia particular, sebuah pengalaman unik dan khas. Manusia adalah pengembara soliter.
Sebagaimana rasa sakit adalah datang begitu saja, sebagaimana kehidupan, dan hidup maka semua masalah penyakit, cacat, dan rasa penolakan, sekaligus memuja padanya. Bagi Filsuf  Nietzsche, rasa sakit dan penyakit tidak untuk diminati, dan dinikmati, tidak diiyai secara naif, tidak ditolak dan dihindari. Sakit adalah kesempatan, kans untuk dihadapi dan ditanyai dengan seluruh keingintahuan.
Ada hal-hal yang dijumpai datang begitu saja dan terjadi begitu saja tidak minta penjelasan apa-apa. Manusia soliter mencari kejelasan sebab, dan sulit menemukan jawabannya. Memang rasa pegal dan masuk angin dipunggung diteliti, diraba, dicari pusatnya justru tidak ditemukan pusatnya. Tetapi hanya memperoleh jawaban sakit itu ada dan dirasakan.  Dan rasa sakit hadir tanpa ada titik seperti itu menakutkan dalam diri sang soliter. Sakit adalah apa yang dihadapi secara personal, dan wujud bentuk wajah kehidupan. Pada  akhirnya pengalaman soliter akan melahirkan sesuatu yang baru (bertransformasi) dan menghasilkan transfigurasi dalam kehidupan.***
Work citied: Friedrich Nietzsche (Stanford Encyclopedia of Philosophy)
Nietzsche, Friedrich Wilhelm, 1844-1900. [Friihliche Wissenschaft. English] The gay science: with a prelude in German rhymes and an appendix of songs IÂ Friedrich Nietzsche; edited by Bernard Williams; translated by Josefine Nauckhoff; poems translated by Adrian Del Caro. 1952