Buku  "Truth And Method", atau ["Kebenaran, Dan Metode"] atau  (Wahrheit und Methode) Bahasan ke (8) ini saya menggunakan kata kunci adalah filologi kata, dan konsep tentang ["sensus cummunis"] pada bab Buku Hans Georg Gadamer pada halaman 19 sampai 30. Penjelasan ini bersifat deskripsi dan tafsir ulang memahami konsep komunitarian ["sensus cummunis"], termasuk pada tulisan (7) sebelumnya.
Historisme adalah kebenaran yang berbeda dengan theoria  atau Cicero menyebut nafsu manusia tidak bisa diatur dengan resep fakultas akal budi universal.
Giovan Battista Vico tentang komunitarian ["sensus cummunis"] dan pembelaannya tentan retorika humanis melawan ilmu modern, dan percaya pada konsistensi kebudayaan retorika sebagaimana tradisi umum Italia dapat mempengaruhi pada mahzab sejarah di Jerman.
Tokoh lain yang memiliki ide tetang komunitarian ["sensus cummunis"] adalah dokrin pemikiran Shaftesbury (1671-1713) atau Anthony Ashley Cooper dikenal The Third of Shaftesbury.  Dokrin  pemikiran Shaftesbury tentang perasaan umum pada masyarakat, cinta pada komunitas, kasih sayang alamiah,  humaniora, dan kesediaan untuk menolong membantu sama dengan konsep kaum Stoik atau keutamaan social  kerendahan hati lebih dari isi kepala.
Atau sekaligus "savoir vivre" (ability life well and with intelligent enjoyment, meeting every  situation with poise, good manners and elegance) atau suatu dasar moral umum (deontologis) sampai metafisik estetika ikut terlibat. Didalamnya ada simpati social, simpati intelektual dalam dokrin pemikiran Shaftesbury.
Ide pemikiran Shaftesbury juga dipengaruhi Aristotelian tentang konsep tentang ["sensus cummunis"] dalam hubungan akal sehat dengan mayarakat komunitas dipertahankan atau nalar juga sekaligus mengantarkan pada ketidak adan pada gelepan, dan sifat moral berlaku adil terhadap kehidupan masyarakat.
Disamping pemikiran Shaftesbury, Gadamer juga menjelaskan pentingnya konsep Henry Bergson (1859-1941). Bergson tentang ["le bon sens"] atau common sense (kemampuan memahami dengan akal sehat) atau energi batin pada intelegensia  yang masing-masing peritistiwa  kembali pada dirinya, menyingkirkan semua ide-ide yang sudah ada untuk memberi tempat pada proses.
Atau ada proses penyesuian terus menerus  dengan situasi baru melalui "elan vital" (daya dorong hidup, daya cipta) dalam mewujudkan  sember pemikiran dan kehendak umum, kepekaan social, dan pencariah hukum-hukumnya bagi kehidupan. Komunitarian  ["sensus cummunis"] dipahami sebagai sebuah kemampuan teoritis murni, pertimbangan teoritis, setingkat dengan kesadaran suara hati (otonomi) dan selera atau wujud etetika historisme.
Ada satu pengecualian dengan kaum pietisme atau manusia kesalehan (Pietisme), atau "Geschicte des Pietismus" yang berusah mencapai hati ordonya(Jesuit, OFM, MSF) pada komunitarian  ["sensus cummunis"] atau pengembaraan "isi hati" dan mewujudkan menjadi pengetahuan pada keteguhan. Demikian argumentasi yang dipahami oleh Friedrich Christoph Oetinger (1702-1782).
Oetinger mengatakan komunitarian  ["sensus cummunis"] adalah ide tentang vita  ["sensus cummunis vita gaudens"]. Adalah menggabungkan makna humanistic, politik kata pada konsep  paripatetik tentang ["sensus cummunis"]. Atau mengulang kembali apa yang dikatakan Aristotle  tentang ["nous"] untuk menjelaskan kehidupan factual. Konsep  paripatetik adalah pasca (post) Aristotles yang berusaha menurunkan dan mempertahakan makna dan dokrin ilmu Aristotle, atau disebut keberlangsungan tradisi academia Platon.
Oetinger bahwa misteri kehidupan ilahi adalah kesederhannya, meskipun manusia jatuh tapi dia dapat menemukan kembali melalui karunia Tuhan, menuju kesatuan dan kesederhanaan. Dengan rangsangan insting batin manusia masih dapat menemukan jejak Tuhan dan mengakui sesuatu yang mempunyai hubungan terbesar degan kebahagian dan kehidupan manusia sebagai kecendrungan permanen dan mempunyai kekuatan tak terelakkan.