Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Presiden dan Gunungan Wayang

19 Mei 2018   17:24 Diperbarui: 27 Mei 2018   02:44 3172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image result for Gunungan Wayang


Dalam berbagai kesempatan rapat, pertemuan, penerimaan tamu di Istana Negara Pak Presiden ke 7 lebih banyak memakai latar belakang Gunungan Wayang. Berbeda dengan Pak Harto selalu mengidiolakan "Semar". Misalnya saat pada 15 Januari 1998. Michel Camdessus, managing director IMF, dan Presiden Indonesia Soeharto beserta sejumlah menteri dan pejabat lainnya di satu ruangan.

Soeharto menunduk ke arah meja, dan di belakangnya ada pergola bermotif wayang Semar. Pak Harto tahu bahwa dunia wayang adalah identic dengan model melakukan destabilisasi Indonesia dan menjatuhkan Presiden Soeharto dengan model ekonomi, artinya dengan cara apa tema dimulai, lalu dengan tema apa akan diakhiri sama seperi siklis dunia Jawi Kuna Kejawen.

Kebijakan Currency Board System (CBS) saat krisis ekonomi 1998, dan resep IMF saling beranti tesis akhirnya sengaja menggunakan keruntuhan ekonomi Indonesia sebagai sarana untuk menghasilkan sintesis (semacam pengakuan dosa ala Hegelian) bagi Presiden Soeharto dengan argumentasi logis untuk mengatur nilai tukar rupiah pada tingkat overvalue.

Wajar jika dalam buku 1 Republic Platon (Plato) sebagai akhli waris argument akal sehat, menulis (dialog di antara: Socrates, Glaucon, Adeimantus, Polemarchus, Cephulus, Thrasymachus, dan Cleitophon), menyatakan bahwa "utang bukan definisi yang tepat untuk menciptakan keadilan". {"Bukankah dokter ekonomi atau akhli ekonomi paling terampil dalam membuat diagnosis, dan meracik resep-resep untuk mencegah atau menghindari jenis penyakit ekonomi adalah manusia yang dengan sangat mudah menciptakan penyakit ekonomi"}.

Baik Pak Harto, atau Pak Jokowi dua-duanya memaknai batiniah atau worldview (cara padang) dengan mengadopsi atau trans-substansi pada "ilmu wayang" dalam tradisi Jawa Kuna. Ada waktu awal akhir, lahir, tumbuh, dewasa, menurun, dan akhirnya bubar atau dilikuidasi, pailit, dan di akusisi. Bayi lahir, dibesarkan, didik orang tua, tamat sekolah bekerja, dan menikah, pergi meninggalkan orang tuanya, dan membentuk masyarakat.

Ini saya sebut sebagai "Ngelmu Otak Atik Gathuk" pada Budaya Jawi Kuna. Pada beberapa penelitian yang pernah saya disebut sebagai wujud "ngelmu titen" atau belajar dari "ilmu titen" atau berdasarkan hal hal yang sudah pernah terjadi atau induksi semacam (posmatum) model filsafat Sir Francis Bacon. Bahwa "ilmu titen" adalah episteme mengenali, memahami, kemudian menghasilkan kepekaan atau lebih peka terhadap sesuatu (semacam sembah roso Jawi Kuna).

"Ilmu titen" akan menghasilkan pencirian tanda aba-aba, kode atau "sasmita" dalam episode wayang. Dalam "ilmu titen" memiiliki (3T) yakni sebagai Tatanan, Tuntunan, dan Tontonan. Pada tatanan, yaitu pendasaran kesadaran (ego), sebagai Tuntunan yaitu aspek moral atau cara manusia melakukan tindakan, dan aspek tontonan sebagai seni (science of aesthetics), aspek keindahan, kebaikan, dan keutamaan.

Tiga unsur ini saya sebut sebagai aspek kehidupan manusia (momor, momot, momong). "Momor" dalam dasanama Jawa lainnya disebut "amor" artinya menyatu. "Momot" artinya "memuat" atau menghimpun, mengakomodasi, atau kesatuan tatanan dan tindakan sehingga pantas menjadi contoh dalam masyarakat. Manusia ideal harus bisa menjadi "Momong" adalah menjaga, membimbing dan mengasuh. "Momong" adalah menjaga, membimbing dan mengasuh dengan cinta kasih tulus.

Makna Gunungan (Kayon) di lihat bentuknya meruncing menyerupai tumpeng sangga langit, Arga Dumilah, Tumpeng Megono, dan Tumpeng Robyong. Hargo Dumilah mempunyai makna yaitu Hargo (Gunung) sedangkan Dumilah memiliki arti (Penerangan). Tumpeng megono disebut bogana, simbol syukuran kenaikan pangkat, kedudukan, jabatan, dan  tumpeng robyong simbol pada musim panen, mengusir penyakit, atau meminta hujan, untuk acara siraman, upacara pernikahan atau pemberkatan, dan syukuran. Adapula tiga macam kembang, yakni mawar, melati, dan kenanga. Atau makna Gunungan (Kayon) menyerupai gunung (dibatinkan "gunung Merapi"), atau gambar pohon besar berdaun lebat (dibatinkan dengan Pohon Beringin). Inilah prinsip penamaan gunungan.

Gunungan disebut Kayon karena unsur utama ada dalam gunungan adalah gambar pohon (wit, atau kayu). Kata "wit" artinya ["wiwitan"] atau timur atau asal permulaan "kekayon tegese wit-witan". Ada beda di antara "Gunungan" dan "wayang Gunungan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun